“Ayah. Ayah!”
Lea berlari masuk ke dalam ruang kerja Sean dengan senyum mengembang sempurna.Di tangan wanita itu telah ada sebuah kotak besar yang baru saja di kirim oleh kantor pos.“Ayah sungguh membelikan aku benda itu?"Lea duduk di sofa single dan mulai membuka bingkisannya dengan semangat.“Karena putri Ayah yang meminta, bagaimana Ayah tidak menurutnya?” jawab Sean, bergabung dengan Lea di tengah-tengah ruangan.“Kamu baru saja pulang dari bekerja. Apakah tidak mau istirahat dulu baru membuka benda itu?”Lea menggeleng antusias.“Aku akan mencobanya terlebih dahulu baru pergi istirahat!”Sean mengusap lembut puncak kepala putrinya dan melihat Lea mengeluarkan beberapa senapan dan pisau lipat.“Ini sesuai yang aku mau. Terima kasih, Ayah!”Sean hanya mengangguk dan melihat Lea mulai memasang peluru dan menodongkannya ke sebuah pigura.DOR!Pigura iSesuai janji, Derren mengantarkan Marsha pergi ke Rumah Sakit. Mereka mengendarai mobil Marsha karena Derren akan meminjam kendaraan itu hari ini. “Kamu pulang jam berapa?” Derren berhenti di pinggir trotoar dan melihat Marsha melepaskan sabuk pengamannya dengan tenang. “Em ... entahlah. Sepertinya aku tidak akan menginap.” Marsha hendak turun dari dalam mobil, namun Derren menahan pergerakannya dengan menggenggam tangan. “Ada apa?” Marsha membulatkan kedua matanya saat melihat Derren mengecup punggung tangannya dengan santun dan di akhiri senyuman menawan. “Terima kasih untuk yang tadi. Dan selamat bekerja,” ucapnya, dengan suara selembut kapas. Marsha kembali di buat malu. Tapi ia tidak ingin malu sendiri di sini. Ia membalas perlakuan Derren dengan mengecup pipinya, baru berlari keluar untuk melarikan diri. Derren tersenyum lembut dan memegang pipi yang mendapat kecupan dari sang
Klek .... Marsha menatap wajah bantal Lea dengan tatapan datar. “Apa lihat-lihat?” Marsha menggeleng singkat dan pergi meninggalkan Lea yang masih berusaha menghilangkan rasa kantuknya. “Cutiku.” Marsha menoleh dan melihat Lea yang menahannya dengan kata-kata. “Kenapa dengan cutimu? Ingin membatalkannya?” Lea mengangguk singkat. “Bisakah? Jika tidak, tolong ganti harinya saja.” Marsha diam beberapa saat. “Kenapa? Ada yang mengganggumu?” Lea menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Dan jika ada, itu bukan urusanmu.” Marsha menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap Lea dengan tatapan mengejek. “Apakah aku terlihat ingin ikut campur dalam urusanmu? Tidak, kan?!” “Aku juga orang yang sibuk. Aku tidak punya waktu untuk ikut campur urusan orang. Bahkan mengkhawatirkan kamu saja, aku tidak memiliki waktu!” Setelah menegaskan hal tersebut, Marsha berjalan pergi
Tuan Karsten menatap Marsha dengan tatapan marah. Ia segera menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung dan mundur selangkah dari mereka. “Anda sudah merencanakan hal buruk sejak lama.” Marsha mengambil langkah maju. Ia mendekati Karsten dengan lantang. Tatapan berani dari dokter wanita itu tampaknya berhasil menyudutkan Tuan Karsten yang dingin dan keras kepala. “Berikan benda itu pada saya.” Marsha mengulurkan tangan dengan jemari terbuka. “Setelah itu saya tidak akan memperpanjang masalah ini.” Tuan Karsten menatap Derren dengan tajam. Ia mengintimidasi lelaki itu. Namun tampaknya Derren tetap akan berdiri di pihak wanita ini apa pun yang terjadi. Tak peduli dengan status Karsten yang masih merupakan atasannya. “Berikan!” ucap Marsha, penuh penekanan. Karsten memberikan tablet obat itu pada Marsha dan mendengus kasar beberapa kali. “Pegang ucapanmu.” “Kamu sudah berjanji tidak
Srak .... Halaman demi Halaman Derren telah membacanya dengan saksama. Namun tidak ada informasi yang lebih penting seperti yang telah di berikan oleh Marsha. Derren memijit pelipisnya yang berdenyut sakit. “Orang-orang itu terlalu bersih menghilangkan jejaknya. Aku yang berpengalaman mengetahui apa yang terjadi di lapangan, bahkan sampai kepayahan.” “Kalau begitu, haruskah aku tanya Marsha bagaimana ia mencari bukti-bukti yang selama ini ia kumpulkan?” Derren mengambil beberapa lembar kertas berisikan biodata para pelaku yang menjerumus pada masalah yang terjadi. 3 orang ini adalah tersangka utama. Derren masih ingat dengan jelas bagaimana wajah penculik dirinya. Walau saat itu ia benar-benar di buat tertidur, Derren masih mengingat jelas wajah orang yang hanya ia lihat dengan sekilas. Tok ... tok .... “Marsha, kamu ada di kamar?” ketuk Derren, di depan pintu kamar pribadi Marsha yang ada di seberang kamarnya. Tak ada jawaban. Tampaknya wanita itu telah tertidur. Karena ini
BOM! Gion membulatkan matanya. Ia membalik tubuh dan melihat kobaran api di dalam bangunan mewah yang sempat menjadi ancaman nyawa mereka beberapa saat yang lalu. “A-anda sudah gila? Bagaimana Anda bisa membereskan kekacauan yang telah Anda buat hari ini?” Marsha menggaruk pipinya yang sedikit gatal sambil tersenyum seperti orang bodoh. Kali ini—Marsha terlihat seperti manusia pada umumnya. “Mungkin kamu tidak tahu. Tapi Suamiku adalah orang yang berada di dalam dunia militer. Ayahku adalah sahabat Menteri pertahanan. Ibuku seseorang yang memiliki nama di dalam pasar gelap, jadi aku rasa ia memiliki banyak bawahan yang bisa di kerahkan untuk menghilangkan satu bangunan di dalam Maps!” Gion membuka mulutnya. Ternyata ia bukanlah seorang wanita yang bisa di sepelekan walau terlihat sangat sepele! “Dan jangan lupakan Tuanmu.” Marsha tersenyum dengan polosnya. Namun ia paling tahu jika banyak orang kuat yang siap membereskan kekacauan kanak-kanaknya ini. “Jadi jangan mengkhawati
Zzzztt .... Derren memandang Marsha yang terlelap dengan tatapan sendu. Sudah 3 hari ia tidak melihat wajah Marsha seleluasa ini. Ia cukup rindu dan bersyukur sekarang ia bisa melihatnya sebentar. Tok ... tok .... Derren mendongak dan melihat Gama berdiri di depan pintu masuk kamar tempat Marsha beristirahat. “Kita harus pergi.” Derren mengangguk dan meninggalkan ruangan dengan langkah berat. “Selamat istirahat, Istri ....” Klek .... Marsha membuka matanya. Ia melihat ke arah pintu ruangan itu telah tertutup rapat. Marsha bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati sofa di dekat pintu untuk mengambil ponselnya. [Hallo. Lama tidak mendengar panggilan dari Anda, Tuanku.] Suara seorang lelaki terdengar cukup gembira dari seberang sana. Namun Marsha hanya menghela napas panjang dan melihat ke arah sekitar dengan pandangan lelah. “Sudah lama
“Masuk!” Beberapa lelaki mendorong Marsha masuk ke dalam mobil sport kuning dan membawanya pergi. Untuk menculik seseorang, bukannya kendaraan yang di tumpanginya terlalu tidak masuk akal? “Siapa yang meminta kalian?” Marsha menatap 4 orang lelaki yang berada di sekelilingnya dengan saksama. Lalu ia baru ingat wajah-wajah itu. “Tunggu, wajah kalian tidak asing. Apa kita pernah bertemu?” tanya Marsha. Lelaki berkulit sawo matang yang duduk tepat di sebelah kanannya, tersenyum singkat dan mengulurkan tangannya. “Kami teman suami Anda. Nama saya Abri,” ucapnya. Marsha menjabat tangan itu dan melihat ke sisi kirinya. “Saya Andika. Saya salah satu teman tentara dan kampus suami Anda. Dan 2 orang yang ada di depan Anda adalah Abdul yang menyetir dan di sebelahnya ada Orlan,” jelas Andika. Marsha mengangguk singkat dan menatap keempatnya dengan saksama. “Lalu yang kalian lakukan? M
“Hari ini kamu akan melihat lelaki itu lagi?” Syam mengikuti langkah Marsha memasuki salah satu ruangan dan mereka bertemu dengan seorang lelaki yang hanya di kenal oleh Marsha. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Marsha, berjalan mendekati ranjang dan memeriksa kondisi Gion. Sementara Syam hanya berhenti di depan pintu yang telah ia tutup dan terus mengawasi Gion—lelaki mencurigakan yang akhir-akhir ini selalu berada di dekat Marsha. “Pak?” Marsha melirik Gion yang bertukar pandangan dengan Syam. Kedua lelaki itu terlihat seperti macan dan harimau yang ingin bertengkar, jika Marsha tidak ada bersama mereka. “Kamu tidak perlu menghiraukannya. Anggap saja ia hanya kerikil yang mencoba menjaga pintu!” celetuk Marsha. Kini Gion menatap Marsha. Namun tatapan lelaki berusia 27 tahun itu terlihat memiliki makna mendalam. “Inilah yang aku khawatirkan,” batin Syam, menghela napas kasar beberapa kali.