Zzzztt ....
Derren memandang Marsha yang terlelap dengan tatapan sendu.Sudah 3 hari ia tidak melihat wajah Marsha seleluasa ini. Ia cukup rindu dan bersyukur sekarang ia bisa melihatnya sebentar.Tok ... tok ....Derren mendongak dan melihat Gama berdiri di depan pintu masuk kamar tempat Marsha beristirahat.“Kita harus pergi.”Derren mengangguk dan meninggalkan ruangan dengan langkah berat.“Selamat istirahat, Istri ....”Klek ....Marsha membuka matanya. Ia melihat ke arah pintu ruangan itu telah tertutup rapat.Marsha bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati sofa di dekat pintu untuk mengambil ponselnya.[Hallo. Lama tidak mendengar panggilan dari Anda, Tuanku.]Suara seorang lelaki terdengar cukup gembira dari seberang sana.Namun Marsha hanya menghela napas panjang dan melihat ke arah sekitar dengan pandangan lelah.“Sudah lama“Masuk!” Beberapa lelaki mendorong Marsha masuk ke dalam mobil sport kuning dan membawanya pergi. Untuk menculik seseorang, bukannya kendaraan yang di tumpanginya terlalu tidak masuk akal? “Siapa yang meminta kalian?” Marsha menatap 4 orang lelaki yang berada di sekelilingnya dengan saksama. Lalu ia baru ingat wajah-wajah itu. “Tunggu, wajah kalian tidak asing. Apa kita pernah bertemu?” tanya Marsha. Lelaki berkulit sawo matang yang duduk tepat di sebelah kanannya, tersenyum singkat dan mengulurkan tangannya. “Kami teman suami Anda. Nama saya Abri,” ucapnya. Marsha menjabat tangan itu dan melihat ke sisi kirinya. “Saya Andika. Saya salah satu teman tentara dan kampus suami Anda. Dan 2 orang yang ada di depan Anda adalah Abdul yang menyetir dan di sebelahnya ada Orlan,” jelas Andika. Marsha mengangguk singkat dan menatap keempatnya dengan saksama. “Lalu yang kalian lakukan? M
“Hari ini kamu akan melihat lelaki itu lagi?” Syam mengikuti langkah Marsha memasuki salah satu ruangan dan mereka bertemu dengan seorang lelaki yang hanya di kenal oleh Marsha. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Marsha, berjalan mendekati ranjang dan memeriksa kondisi Gion. Sementara Syam hanya berhenti di depan pintu yang telah ia tutup dan terus mengawasi Gion—lelaki mencurigakan yang akhir-akhir ini selalu berada di dekat Marsha. “Pak?” Marsha melirik Gion yang bertukar pandangan dengan Syam. Kedua lelaki itu terlihat seperti macan dan harimau yang ingin bertengkar, jika Marsha tidak ada bersama mereka. “Kamu tidak perlu menghiraukannya. Anggap saja ia hanya kerikil yang mencoba menjaga pintu!” celetuk Marsha. Kini Gion menatap Marsha. Namun tatapan lelaki berusia 27 tahun itu terlihat memiliki makna mendalam. “Inilah yang aku khawatirkan,” batin Syam, menghela napas kasar beberapa kali.
“Aku akan pulang beberapa jam lagi.” Marsha melihat beberapa orang telah memilih mengemas barang dan pergi meninggalkan rumah sakit. Beberapa dokter telah kembali karena jadwal shift mereka telah usai. Namun Marsha memilih untuk tinggal karena ada sesuatu yang ingin ia kerjakan. “Anda tidak pulang?” Valerie masuk ke dalam ruangan Marsha dengan pintu yang terbuka lebar. Marsha mendongak—melepaskan sejenak pandangannya dari komputer miliknya dan menatap tamu tak di undang. “Apa yang kamu inginkan? Aku sibuk. Jangan meminta bantuan padaku hari ini!” Valerie menatap Marsha dengan tatapan curiga. “Tidak biasanya Anda lembur, Wakil Direktur. Sebanyak apa pun pekerjaan Anda, Anda akan pulang tepat waktu. Tapi ... ada apa dengan hari ini?” Valeria meletakkan kedua tangan di bibir meja dan mencondongkan diri ke arah Marsha. “Jangan bilang Anda bertengkar dengan suami Anda!” Marsha memelototkan matanya. Ia menatap Valerie yang sok tahu dengan tatapan intens. “Jangan mengada-ada. Mema
Tak ... tak .... Marsha melangkah masuk ke dalam area rumah sakit. Pakaian yang jauh berbeda dengan biasanya, membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Dari saat ia turun dari mobil dan berpapasan dengan satpam penjaga depan-sampai beberapa orang di balik meja resepsionis lantai satu—tak ada seorang pun yang bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Marsha. Wanita itu tampil dengan gaya berbeda dari biasanya. “Apa ini? Apa ada dokter baru yang seharusnya datang?” celetuk Syam. Lelaki tampan dengan tinggi hampir menyamai bingkai pintu itu, mencegat langkah Marsha tepat di depan pintu samping ruang UGD. Marsha memutar bola matanya malas. “Apa-apaan lagi? Kamu tak kenal dengan rang yang hampir 5 tahun bekerja bersamamu di sini?” Syam mengangkat bahunya dan menatap beberapa perawat di belakangnya yang tak kalah terkejut dengan dirinya melihat penampilan Marsha yang terlalu feminin dan memukau. Sep
Dua hidangan mie ramen telah tersaji di depan kedua orang yang tampak lelah setelah kencan pertama mereka. Berbeda dengan kencan yang lain, keduanya terlihat lebih senang dengan suasana riuh restoran lokal, bukannya resto mewah yang menyajikan hidangan mahal dengan jumlah sedikit. “Bagaimana? Aku mencari resto ini selama 2 hari. Aku harap kamu suka.” Derren telah berusaha sangat keras. Ia harap hari ini ia berhasil membuat Marsha yang lelah bekerja selama 1 bulan terakhir, merasa sedikit senang hari ini. “Tentu saja. Kamu sudah sangat-berusaha-keras untuk semua ini. Terima kasih. Baru kali ini aku merasa sangat senang saat berkencan. Kegiatan kencan bersamamu ternyata tidak monoton. Aku senang!” Marsha berucap dengan menunjukkan ketulusannya. Wajah yang sepanjang hari tersenyum lebar itu kini memperlihatkan senyum cantik dengan lembut di sertai tatapan sendu. Sungguh sosok yang lembut dan menawan. Derren
Bima diam dengan tatapan terkejut. Kedua manik matanya telah melebar dengan sempurna. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Bima berusaha menutupi aibnya. Tentu saja ia tidak bisa mengaku jika ia membenci menantunya. Bahkan setiap kedatangannya ke rumah ini hanyalah sebuah misi dari istrinya, Dena. Naya tersenyum masam. Ia menatap kebingungan dan keraguan di mata lelaki tua yang masih terlihat cukup di usia tuanya. “Kenapa? Apakah pertanyaanku sulit untuk di jawab?” Bima kembali diam. Ia masih terlihat kebingungan—tak tahu harus menjawab seperti apa. Karena tampaknya kedua anak itu terlihat cukup peka. Ring ... ring .... Bima menatap ponsel yang berdering di atas meja dengan antusias--itu menyelamatkannya dari pertanyaan maut. “Kakek akan menjawab telepon ini dulu. Kalian lanjutkan saja belajarnya,” ucap Bima, segera keluar dari dalam rumah dan menjaga jarak dari keduanya. “Lihat.”
Yana telah siap dengan seragamnya. Ia turun untuk sarapan. Namun begitu melihat Marsha, ia segera membatalkan niatnya untuk pergi sarapan walau perutnya sangat keroncongan. Derren yang melihat itu langsung mengerutkan kening dan menatap pada Marsha yang makan dengan tenang tanpa bertanya pada Yana apakah ia butuh sarapan atau tidak. Sikap Marsha pada Yana—tidak sama seperti biasanya. “Kalian bertengkar?” tanya Derren. Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh dan melahap makanan terakhirnya. “Aku pergi. Selamat bekerja.” Marsha berjalan pergi meninggalkan Derren. Ia keluar rumah dan melihat Yana berdiri di depan teras—seakan tengah menunggunya. Namun Marsha hanya berlalu melewatinya dengan mudah tanpa mengkhawatirkan dirinya. “Kak—“ Marsha menahan langkah dan menoleh pada gadis kecil yang baru saja memanggilnya. Bahkan dari lantai dua, Marsha bisa melihat Naya tengah mengawasi mereka da
Sruk .... Marsha meletakkan beberapa dokumen yang tengah ia baca untuk meneliti sel kanker pada kasus salah satu pasiennya. Berita yang di sampaikan Valerie dengan wajah gelisah sekarang ini—membuat Marsha membulatkan matanya dengan sempurna. “Kamu serius?” Marsha tidak mendapatkan jawaban. Wanita berusia 3 tahun lebih muda darinya itu hanya diam dan menatapnya dengan gelisah. Ia bangun dari tempat duduknya dan mengambil jas putih yang ia gantung pada gantungan jas di samping mejanya. Valerie mengikuti ke mana Marsha pergi. Berusaha menyusul langkah jenjang dan cepat Marsha. “Ruang operasi berapa?” “Ruang 3, Prof.” “Siapa Dokter yang menanganinya?” “Dokter Dira, Prof. Karena Dokter Tomo juga sedang melakukan operasi, jadi—“ “Kalian membiarkan Dokter baru melakukan operasi? Gegabah sekali kalian!” bentak Marsha. Valerie hanya menundukkan kepalanya dan melihat bebera