Yana telah siap dengan seragamnya. Ia turun untuk sarapan. Namun begitu melihat Marsha, ia segera membatalkan niatnya untuk pergi sarapan walau perutnya sangat keroncongan.
Derren yang melihat itu langsung mengerutkan kening dan menatap pada Marsha yang makan dengan tenang tanpa bertanya pada Yana apakah ia butuh sarapan atau tidak.Sikap Marsha pada Yana—tidak sama seperti biasanya.“Kalian bertengkar?” tanya Derren.Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh dan melahap makanan terakhirnya.“Aku pergi. Selamat bekerja.”Marsha berjalan pergi meninggalkan Derren. Ia keluar rumah dan melihat Yana berdiri di depan teras—seakan tengah menunggunya.Namun Marsha hanya berlalu melewatinya dengan mudah tanpa mengkhawatirkan dirinya.“Kak—“Marsha menahan langkah dan menoleh pada gadis kecil yang baru saja memanggilnya.Bahkan dari lantai dua, Marsha bisa melihat Naya tengah mengawasi mereka daSruk .... Marsha meletakkan beberapa dokumen yang tengah ia baca untuk meneliti sel kanker pada kasus salah satu pasiennya. Berita yang di sampaikan Valerie dengan wajah gelisah sekarang ini—membuat Marsha membulatkan matanya dengan sempurna. “Kamu serius?” Marsha tidak mendapatkan jawaban. Wanita berusia 3 tahun lebih muda darinya itu hanya diam dan menatapnya dengan gelisah. Ia bangun dari tempat duduknya dan mengambil jas putih yang ia gantung pada gantungan jas di samping mejanya. Valerie mengikuti ke mana Marsha pergi. Berusaha menyusul langkah jenjang dan cepat Marsha. “Ruang operasi berapa?” “Ruang 3, Prof.” “Siapa Dokter yang menanganinya?” “Dokter Dira, Prof. Karena Dokter Tomo juga sedang melakukan operasi, jadi—“ “Kalian membiarkan Dokter baru melakukan operasi? Gegabah sekali kalian!” bentak Marsha. Valerie hanya menundukkan kepalanya dan melihat bebera
“Kau baik-baik saja?” Abri memberikan segelas kopi panas pada Derren dan itu bergabung dengan mereka bertiga. Derren, Abri, Abdul dan Orlan, kini sedang berkumpul di salah satu meja yang ada di kafetaria rumah sakit setelah 3 teman Derren menjenguk Ayah kawan mereka. “Apa aku terlihat baik?” balas Derren, menunjuk ke arah mata Panda yang terlihat semakin parah saat ini. 3 orang teman lelaki yang tadinya hanya niat bergurau, kini malah menertawakan kemalangan temannya dengan sangat menikmatinya. “Tentang Ayahmu—“ Abri mengerutkan keningnya dalam. “Bukankah ada sesuatu yang aneh padanya?” Abdul dan Orlan mengangguk menyetujui hal tersebut. “Sepertinya kita memang harus curiga,” sahut Abdul, tampak memikirkannya dengan serius. “Kamu bilang ada lebam di sekitar tubuhnya, kan?” Derren mengangguk setelah mendengar pertanyaan dari Orlan. Ketiga lelaki di depan Derren terlihat berpikir setelah melihat
Derren mengusap dadanya. Ia bersyukur bisa lari dari amarah Marsha dan kini duduk menemani Ayahnya yang telah dipindahkan ke dalam kamar rawat inap. Perban putih menutup sebagian kepalanya. Tubuh kurus kering yang terlalu banyak mengonsumsi dan faktor kurang gizi, membuat Derren merasa miris melihatnya. “Apa yang terjadi?” Derren bergumam. Ia menatap wajah tenang lelaki tua yang terbaring lemah di depannya dengan kening berkerut samar. “Di mana Mama?” Tok ... tok .... Derren menoleh dan melihat 2 orang yang tak seharusnya datang menjenguk Ayahnya. Lea dan Gama yang tak ada urusannya, kini datang dengan wajah khawatir. Derren membuka pintu dan mempersilahkan masuk. “Bagaimana keadaan Ayahmu?” Lea menatap Dafa dengan tatapan khawatir. Murni karena ia cemas, bukan hanya sekedar akting belaka. “Kamu bisa melihatnya.” Derren menghela napas panjang. “Ia dalam kondisi tidak baik-ba
Gama meletakkan cangkir kopinya di atas piring kecil di meja. Ia menatap Marsha yang juga menikmati hal yang sama. Raut wajah wanita itu masih tenang dan cantik—bahkan semakin cantik karena Gama tidak melihatnya beberapa hari terakhir. “Bagaimana kambar—“ Marsha mengangkat tangannya. Ia menghentikan Gama dengan cara yang cukup dingin. “Aku mengajak bertemu denganmu bukan untuk bertukar kabar, Tuan Gama.” Marsha menatap tajam. “Saya kira Anda memahaminya dengan baik.” “Tapi apa ini? Saya sedikit kecewa karna orang peka seperti Anda tidak memahami maksud kedatangan saya dengan baik.” “Apa saya terlalu menyanjung Anda?” Gama mengerutkan kening. Bahasa formal yang mencuat dari dalam mulut Marsha membuatnya sedikit frustrasi. Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas lembut—mencoba bersabar dengan hal ini. “Baiklah. Mari bahas apa yang ingin Anda sampaikan.” Gama melihat jam tangan yang melingkar di
Akhh .... Derren menatap Marsha dengan tatapan terkejut. Wanita itu baru saja menjerit tanpa sebab yang jelas. “Kamu kenapa Marsha?” Derren mencekal kedua bahu istrinya. Ia menatap lekat pada kedua manik mata gelap yang terlihat frustrasi. “Aku mau pulang!” Wanita itu membentak. Tubuhnya mendadak lemas dan ia tidak bisa berdiri dengan benar sampai Derren harus menopangnya. Derren mengembus napas lelah. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Iparnya. Setelah menyampaikan perihal kondisi istrinya, Derren segera membawanya ke mobil setelah membantu Marsha membereskan barangnya di kantor. “Aku tidak mau pulang.” Oh apa lagi sekarang? Derren memasangkan sabuk pengaman dan masuk ke dalam ruang pengemudi—tepat di sebelah Marsha. “Lalu, jika kamu tidak mau pulang. Kamu mau ke mana?” Lelaki berusia 21 tahun itu mulai menjalankan mobil dan meninggalkan rumah sakit. Ia
Derren melihat kertas pesanan yang menggunung di depannya. Ia terus menghela napas lelah dan melihat anak buahnya mulai lelah dan performa kecepatan memasak mereka mulai menurun. “Kita punya 30 pesanan lagi! Jangan mengantuk ... brak!” teriak Derren, menggebrak pantry tempatnya berdiri. Semua koki yang terlihat lelah, kini mulai takut dan mempertahankan kecepatan mereka sebisa mungkin. Dapur sangat gaduh dan ponselnya terus berdering. Tampaknya, Marsha sedang dalam masalah di atas sana. Namun ia tetap tak bisa meninggalkan pekerjaannya di waktu penting. “Maafkan aku, Marsha. Aku sedang sibuk!” Derren menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. “Tunggu satu jam—“ Brak! “Pak!” Seorang pramusaji berlari ke arah Derren dengan panik. Ia datang dengan seorang pengawal dari lantai 6. Lantas lelaki bertubuh bongsor itu adalah penjaga Bar yang sempat ia tugaskan untuk mengawasi M
Marsha membuka mata. Ia bangun sangat pagi dengan rasa sakit di kepala yang cukup parah. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Derren—suaminya yang tertidur pulas di sampingnya. Beberapa bercak merah di bagian leher dan permukaan dada lelaki itu menjadi bukti malam panas yang telah terjadi di antara keduanya. Kedua manik mata Marsha membulat dengan hebat. Ia tertegun dan segera bangun dari posisi memeluk Derren. “Jangan bangun tiba-tiba.” Derren menahan pergerakan Marsha yang terlalu cepat dan membuat dirinya hampir jatuh ke samping tempat tidur. “Kamu pasti pusing. Jangan guncang dirimu dengan gerakan gegabah.” Marsha menahan napas. Ia sudah cukup malu melihat dirinya yang tidur tanpa busana sambil melakukan hal buruk pada lelaki muda ini. Owh ... shit! “Wa-walau sudah menikah. Apakah boleh kamu tidur seperti ini di kamarku? Kenapa tidak pergi ke kamarmu sendiri setelah meletakkan aku
“Apa yang ingin Kakak katakan padaku?” tanya Naya. Ia menatap wajah Marsha yang terlihat santai sambil melihat pemandangan di depan jalan raya. Mereka berdua sedang duduk di salah satu Cafe yang ada di dekat pertigaan kompleks. Bahkan mereka pergi dengan jalan kaki—mengingat Naya harus banyak belajar berjalan paska mengalami cedera. Ya, udara segar memang sangat baik untuknya. “Begini.” Marsha terlihat ragu. “Em ... alih-alih belajar di sekolah. Bagaimana kalau pergi ke tempat kursus?” Naya memiringkan kepalanya. “Maksud Kakak bagaimana? Aku tidak perlu berangkat ke sekolah??” Marsha mengangguk. “Kalau kamu mau. Aku bisa meminta izin sekolah untuk menghentikan studimu.” Naya terdiam. Ia tak melihat kebohongan dalam sorot mata Marsha yang lembut dan sendu. Wanita yang telah 4 bulan menjadi Kakak Ipar baginya itu, terlihat sangat tulus saat mengatakan hal gila baginya. “Tapi, bukannya Kakak sudah membayar uang sekol