“Apa yang ingin Kakak katakan padaku?” tanya Naya.
Ia menatap wajah Marsha yang terlihat santai sambil melihat pemandangan di depan jalan raya.Mereka berdua sedang duduk di salah satu Cafe yang ada di dekat pertigaan kompleks. Bahkan mereka pergi dengan jalan kaki—mengingat Naya harus banyak belajar berjalan paska mengalami cedera. Ya, udara segar memang sangat baik untuknya.“Begini.” Marsha terlihat ragu. “Em ... alih-alih belajar di sekolah. Bagaimana kalau pergi ke tempat kursus?”Naya memiringkan kepalanya. “Maksud Kakak bagaimana? Aku tidak perlu berangkat ke sekolah??”Marsha mengangguk. “Kalau kamu mau. Aku bisa meminta izin sekolah untuk menghentikan studimu.”Naya terdiam. Ia tak melihat kebohongan dalam sorot mata Marsha yang lembut dan sendu. Wanita yang telah 4 bulan menjadi Kakak Ipar baginya itu, terlihat sangat tulus saat mengatakan hal gila baginya.“Tapi, bukannya Kakak sudah membayar uang sekolMarsha menghentikan mobilnya di depan sekolah Yana dan Naya. Khusus hari ini, ia akan menemai keduanya masuk ke gedung sekolah—sekalian memastikan bagaimana kondisi rumor yang menimpa Naya. Baru masuk gerbang pertama, banyak anak yang melirik pada Naya dan berbisik sambil terus tersenyum dengan wajah jahat. “Apa separah ini?” batin Marsha, menatap sekeliling dengan teliti. “Kakak bisa pulang sekarang.” Naya menatap wajah Marsha. Wanita itu terlihat tegang dan cemas. Namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengurus anak-anak di sekitarnya. Ia terlihat tak berdaya secara langsung. “Kamu yakin dengan ini?” Marsha menatap Naya dengan tak percaya diri. Ia ragu untuk melepaskannya di dalam situasi kacau yang bisa kembali menekan kembali mentalnya. “Sekarang aku baik-baik saja.” Naya menjawab dengan keteguhan hati. “Aku akan pulang dengan tersenyum hari ini. Dan ... terima kasih untuk sarannya kemari
Marsha mengerutkan keningnya. Kini wajahnya kembali terlihat dingin dan acuh. Sama seperti Marsha yang selalu tegas dan penurut di depan kedua orang tuanya. Sosok anak bungsu yang pendiam dan pandai menilai situasi. “Jangan bercanda.” Wanita itu menatap wajah wanita yang selalu ia sebut dengan panggilan “Mama” sepanjang hidupnya. “Mama saja yang tidak tahu jika aku juga memiliki kepribadian menyebalkan dan kekanak-kanakan. Huff ... aku di depan Mama atau Ayah Bima, memang terlalu pendiam dan dewasa. Anak cantik yang penurut!” Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Tapi sekarang aku bukan bagian dari rumah itu. Aku tak perlu bersikap sangat dewasa karena orang-orang itu menerimaku yang baik dengan sikap menyebalkan atau tegas!” Dena tersenyum miring seakan menertawakan kebahagiaan tabu yang dielu-elukan Marsha. “Sampai kapan itu akan bertahan? Suamimu akan goyah sebentar lagi.” Dena mengejek. “Lelaki y
Gama tak berhenti tersenyum sepanjang waktu. Ia terus mengingat apa yang di katakan Marsha, bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ekspresinya. "Bibir Anda bisa sobek jika Anda terus tersenyum seperti itu, Tuan." Hafiz berucap. Ia menatap Tuannya yang tak berhenti mengulas senyum manis sejak kehadiran Marsha 2 hari yang lalu dengan pandangan lelah. “Apa masalahmu?” Gama menatap tajam. “Aku tersenyum di kantorku. Bangunanku dan kamu hanya seorang pelayanku! Jadi jangan banyak bicara!” Hafiz memutar bola matanya malas dan berjalan keluar dari kantor Gama. Ia bertemu Indira, seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris bersama dengannya. “Bagaimana? Tuan Gama masih seperti kemarin?” Hafiz mengangguk dan duduk di samping Indira, di mana tempat sekretaris berkumpul untuk bekerja. "Masih sama.” Hafiz menghela napas kasar. “Ini baru pertama kalinya aku melihat Tuan Gama sangat bersemangat dengan pasangannya. Dulu saat
Tok ... tok .... “Nyonya, bolehkah saya masuk?” “Masuk saja, Pak Mahen.” Dena mempersilahkan. Ia melihat wajah lelaki berusia 27 tahun itu saat menatap pintu masuk kantornya. “Apa yang ingin kamu sampaikan?” Pak Mahen mendekati meja Dena lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah depan, ia pun berbisik. “Nyonya, lelaki itu telah tiba. Beliau ada di lantai satu sekarang. Tampaknya beliau mampir untuk bertemu dengan Anda.” Dena mengerutkan keningnya dalam. Ia tampak tak senang dengan kehadiran tamu tak di undang itu. “Jangan biarkan dia masuk sampai ke lantai ini.” Pak Mahen menundukkan kepalanya mengerti. Ia pun berjalan keluar untuk menjalankan perintah Tuannya. “Tuan Mahen, tamu itu sudah sampai di lantai 5.” Seorang lelaki berkari menghampiri Mahen yang baru keluar dari ruangan Direktur mereka. Mahen menatap bawahannya dengan tegas. “Jangan biarkan ia sampai di
“Apa yang ingin kamu katakan?” Dena melirik tajam. Ia tak membiarkan menantu lelakinya ini semakin berani terhadap dirinya. Dena menunjukkan wajah penentangan yang kuat. “Bagaimana jika saya mampu menyelaraskan status saya dengan Anda? Bahkan lebih.” Derren tak mau mengalah. Ia menatap lawannya tanpa tahu takut. “Apa yang akan Anda lakukan saat itu? Saya harap Anda bisa memberi restu kami berdua.” Dena tersenyum miring. “Kamu berkata begitu percaya diri. Jika kamu mampu menyelaraskan statusmu dengan kami, tentu saja aku akan menerima kamu dengan senang hati. Tapi ....” Dena menunjukkan tatapan licik. “Bagaimana dengan Marsha? Apakah anak itu bisa menerima dirimu dengan jati diri yang sebenarnya?” Derren diam beberapa saat. Ia menatap dingin pada Ibu Mertua yang tak pernah mau memberikan dirinya kelonggaran. “Marsha juga menyembunyikan banyak hal dari saya. Saya kira, status saya yang sebenarnya
“Mereka bicara lebih lama dari yang aku kira,” gumam Derren, masih setia menunggu keluarnya Sean dari dalam kantor Ibu Mertuanya. Hafiz yang menunggu di ruangan yang sama dengan Derren, hanya bisa melihat kening dan alis lelaki itu terus berkerut sepanjang waktu. “Anda bisa meninggalkannya, Tuan. Saya akan mengabari Anda jika terjadi sesuatu.” Hafiz menatap ke arah ruangan Direkturnya. “Beliau dan Tuan Sean selalu melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Tidak apa, Tuan. Anda bisa menunggunya di ruang tamu.” “Apanya yang bisa di tunggu di ruang tamu?” Marsha datang dengan tatapan sinis. Dengan tatapan matanya yang seperti itu, ia mampu membuat kedua sekretaris Dena merasa ciut dan terintimidasi. “Kolega yang seharusnya tidak bertemu Mamaku, kenapa di biarkan masuk sampai ke lantai ini?” “Bagaimana caramu bekerja, Tuan Hafiz? Apa sekarang aku tidak bisa percaya padamu?” Hafiz terdiam. Lelaki yang sedari tadi menen
Zahra bergegas turun ke lantai satu. Ia menuju ke UGD dan menemui Derren serta Marsha yang menunggu di salah satu bilik pasien. “Kenapa? Siapa yang terluka?” Zahra menatap Marsha dan Derren yang tampak baik. Namun Tomo tidak mungkin heboh jika tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi. “Kakak, kamu datang.” Derren bangun dari tempatnya duduk dan mengajak Zahra keluar ruangan. “Ada apa, Derren? Kenapa kamu terlihat gelisah? Baru ini aku melihatmu begini.”. Derren terlihat bingung. Di kejauhan ia melihat Bima dan Nada berjalan mendekati mereka dengan langkah cepat. “Apa yang terjadi pada anak dan istriku?” Bima langsung menembak dengan pertanyaan. Ia terlihat tidak sabaran dan tak tenang. “Marsha dalam kondisi baik. Tapi Ibu Mertua tidak, Ayah.” Bima mengerutkan keningnya. Begitu pula dengan kedua Kakak perempuan Marsha yang tampak gelisah hanya dengan mendengar perkataan itu. “Apa yang terjadi
Derren mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menatap Marsha yang duduk di sampingnya dengan tenang. Tampaknya wanita itu sibuk bertengkar dengan pikirannya. “Bahkan keadaan Ayah belum sepenuhnya baik. Sekarang giliran Ibu Mertua yang berurusan dengan lelaki itu.” Marsha menoleh. Ia sadar bagaimana buruknya ekspresi Derren saat ini. Yah, lelaki itu pasti tidak dalam kondisi baik setelah semua yang terjadi. Respons dirinya yang terlalu tenang seperti inilah yang seharusnya dipertanyakan. Padahal Ibunya sedang terluka. Namun ia sangat tenang. Malah terlihat seperti tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi. “Jangan terlalu memusingkannya.” Marsha menghela napas kasar. Ia menatap Derren dengan tatapan lelah. “Mama akan baik-baik saja di bawah pengawasan Kakakku. Kamu jangan terlalu membuatnya menjadi beban pikiran.” “Bukannya kamu aneh? Ibumu terluka dan kamu terlihat tidak peduli.” Derren mengepalkan tanganny