Tok ... tok ....
“Nyonya, bolehkah saya masuk?”“Masuk saja, Pak Mahen.”Dena mempersilahkan. Ia melihat wajah lelaki berusia 27 tahun itu saat menatap pintu masuk kantornya.“Apa yang ingin kamu sampaikan?”Pak Mahen mendekati meja Dena lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah depan, ia pun berbisik.“Nyonya, lelaki itu telah tiba. Beliau ada di lantai satu sekarang. Tampaknya beliau mampir untuk bertemu dengan Anda.”Dena mengerutkan keningnya dalam. Ia tampak tak senang dengan kehadiran tamu tak di undang itu.“Jangan biarkan dia masuk sampai ke lantai ini.”Pak Mahen menundukkan kepalanya mengerti. Ia pun berjalan keluar untuk menjalankan perintah Tuannya.“Tuan Mahen, tamu itu sudah sampai di lantai 5.”Seorang lelaki berkari menghampiri Mahen yang baru keluar dari ruangan Direktur mereka.Mahen menatap bawahannya dengan tegas. “Jangan biarkan ia sampai di“Apa yang ingin kamu katakan?” Dena melirik tajam. Ia tak membiarkan menantu lelakinya ini semakin berani terhadap dirinya. Dena menunjukkan wajah penentangan yang kuat. “Bagaimana jika saya mampu menyelaraskan status saya dengan Anda? Bahkan lebih.” Derren tak mau mengalah. Ia menatap lawannya tanpa tahu takut. “Apa yang akan Anda lakukan saat itu? Saya harap Anda bisa memberi restu kami berdua.” Dena tersenyum miring. “Kamu berkata begitu percaya diri. Jika kamu mampu menyelaraskan statusmu dengan kami, tentu saja aku akan menerima kamu dengan senang hati. Tapi ....” Dena menunjukkan tatapan licik. “Bagaimana dengan Marsha? Apakah anak itu bisa menerima dirimu dengan jati diri yang sebenarnya?” Derren diam beberapa saat. Ia menatap dingin pada Ibu Mertua yang tak pernah mau memberikan dirinya kelonggaran. “Marsha juga menyembunyikan banyak hal dari saya. Saya kira, status saya yang sebenarnya
“Mereka bicara lebih lama dari yang aku kira,” gumam Derren, masih setia menunggu keluarnya Sean dari dalam kantor Ibu Mertuanya. Hafiz yang menunggu di ruangan yang sama dengan Derren, hanya bisa melihat kening dan alis lelaki itu terus berkerut sepanjang waktu. “Anda bisa meninggalkannya, Tuan. Saya akan mengabari Anda jika terjadi sesuatu.” Hafiz menatap ke arah ruangan Direkturnya. “Beliau dan Tuan Sean selalu melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Tidak apa, Tuan. Anda bisa menunggunya di ruang tamu.” “Apanya yang bisa di tunggu di ruang tamu?” Marsha datang dengan tatapan sinis. Dengan tatapan matanya yang seperti itu, ia mampu membuat kedua sekretaris Dena merasa ciut dan terintimidasi. “Kolega yang seharusnya tidak bertemu Mamaku, kenapa di biarkan masuk sampai ke lantai ini?” “Bagaimana caramu bekerja, Tuan Hafiz? Apa sekarang aku tidak bisa percaya padamu?” Hafiz terdiam. Lelaki yang sedari tadi menen
Zahra bergegas turun ke lantai satu. Ia menuju ke UGD dan menemui Derren serta Marsha yang menunggu di salah satu bilik pasien. “Kenapa? Siapa yang terluka?” Zahra menatap Marsha dan Derren yang tampak baik. Namun Tomo tidak mungkin heboh jika tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi. “Kakak, kamu datang.” Derren bangun dari tempatnya duduk dan mengajak Zahra keluar ruangan. “Ada apa, Derren? Kenapa kamu terlihat gelisah? Baru ini aku melihatmu begini.”. Derren terlihat bingung. Di kejauhan ia melihat Bima dan Nada berjalan mendekati mereka dengan langkah cepat. “Apa yang terjadi pada anak dan istriku?” Bima langsung menembak dengan pertanyaan. Ia terlihat tidak sabaran dan tak tenang. “Marsha dalam kondisi baik. Tapi Ibu Mertua tidak, Ayah.” Bima mengerutkan keningnya. Begitu pula dengan kedua Kakak perempuan Marsha yang tampak gelisah hanya dengan mendengar perkataan itu. “Apa yang terjadi
Derren mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menatap Marsha yang duduk di sampingnya dengan tenang. Tampaknya wanita itu sibuk bertengkar dengan pikirannya. “Bahkan keadaan Ayah belum sepenuhnya baik. Sekarang giliran Ibu Mertua yang berurusan dengan lelaki itu.” Marsha menoleh. Ia sadar bagaimana buruknya ekspresi Derren saat ini. Yah, lelaki itu pasti tidak dalam kondisi baik setelah semua yang terjadi. Respons dirinya yang terlalu tenang seperti inilah yang seharusnya dipertanyakan. Padahal Ibunya sedang terluka. Namun ia sangat tenang. Malah terlihat seperti tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi. “Jangan terlalu memusingkannya.” Marsha menghela napas kasar. Ia menatap Derren dengan tatapan lelah. “Mama akan baik-baik saja di bawah pengawasan Kakakku. Kamu jangan terlalu membuatnya menjadi beban pikiran.” “Bukannya kamu aneh? Ibumu terluka dan kamu terlihat tidak peduli.” Derren mengepalkan tanganny
Ugh .... Derren mengeluh. Ia merasa ada beban yang menekan di bawah tubuhnya. Yah, walau sudah bisa di tebak jika itu adalah kelakuan istrinya sendiri. Wanita itu kini telah berada di atas tubuhnya. Memuaskan diri dengan permainan panas tanpa memedulikan lawan mainnya yang masih tertidur pulas. “Sayang, ini masih pagi dan kamu melakukannya lagi?” Derren mengeluh. Pagi-pagi sudah di suguhkan makanan yang lebih enak dari steak daging premium tentu membuat hasratnya bergelora. “Eng? Apa aku tidak boleh melakukannya? Kamu juga tidak berhenti walau aku kelelahan kemarin malam.” Lelaki itu hanya tersenyum dan melihat wajah istrinya yang terus membuat ekspresi yang menggoda. Suara lirih yang bersemangat dan tubuh indah yang terus bergerak mencari kenikmatan. Marsha sangat cantik. Lebih cantik karena wanita itu terlihat sangat menikmati semua permainannya. “Sudah berapa lama kamu melakukannya?”
[Bagaimana kondisimu?] Derren menoleh pada wanita yang terlelap di sampingnya dengan pakaian tidur yang memperlihatkan sebagian dadanya. “Baik. Bagaimana investigasinya? Kau berhasil menemukan jejak lelaki itu?” [Ya. Ia langsung pulang ke rumah istrinya dengan pesawat. Aku kira ia akan segera kembali setelah pemulihan. Tapi ... aku melihat pergerakan anak buahnya baru-baru ini] Hng .... Marsha menggeliat. Ia membuat Derren membelai puncak kepalanya agar kembali tidur pulas dan nyaman. “Baguslah. Aku akan melihat pergerakannya dari alamat yang di kirimkan Abri tadi sore.” [Baiklah. Nikmati liburanmu.] Tut .... Telepon Derren mati. Kedua matanya berpindah fokus sepenuhnya ke arah Marsha yang memeluk pinggangnya dengan erat. “Marsha, aku harus pergi sebentar. Bisakah kamu tidur sendiri?” Marsha membuka matanya sejenak. Ia menatap wajah suaminya cukup lama sebelum ia ikut bangun
Andika mengembuskan napas kasar. Ia terlihat bosan dengan tugas pengintaian yang di berikan oleh Derren kepada ia dan 3 orang lainnya. “Aku bisa gila kalau terus melakukan ini selama 3 jam berturut-turut.” Arasy yang duduk di sebelahnya, memutar bola matanya malas dan melakukan pengintaian dengan baik. “Senior, sepertinya ada orang yang keluar dari gubuk itu.” Zahri menoleh ke arah Arasy menunjuk dan mereka bertiga melihat seorang perempuan yang seperti pelayan—keluar dari rumah kecil yang ada di belakang bangunan besar, lalu masuk ke dalam kediaman Sean yang tengah mereka intai. “Sepertinya bangunan itu milik Tuan Sean.” Zahri menatap mobil Derren yang terparkir di sisi depan rumah besar itu. “Tampaknya mereka juga mencurigai tempat itu.” Andika memasang topi dan masker putih untuk menutupi wajahnya. Karena ia berpakaian sangat kasual, ia adalah kandidat orang yang tidak mencurigakan di antara yang lain. “Aku aka
“A-anak apa?” Hngh!??? Marsha membulatkan matanya. Ada sesuatu yang menyembur di dalam tubuhnya dan itu hangat. Ia menatap Derren dengan tatapan bingung dan terkejut. Ia tahu apa yang terjadi, tapi bukannya itu terlalu tiba-tiba?? “A-aku belum mengiyakannya!” Marsha menyentak tubuh Derren ke belakang. Ia melepaskan diri dari lelaki itu dan keluar dari dalam air dengan cepat. Wanita itu berjalan masuk ke dalam ruangan dan mengunci diri di dalam kamar mandi. Ia tampak frustrasi karena hasratnya tidak kunjung mereda walau ia telah mengalami hal mengejutkan dari suaminya. “Apa yang harus aku lakukan?” Tubuh Marsha merosot. Ia duduk di belakang pintu sampil bersandar. Ia menatap furnitur kamar mandi dengan tatapan kosong. “Apa yang ia lakukan?!” Marsha menempelkan kedua tangannya di permukaan wajah. Ia berusaha menangkan pikirannya dan bersiap untuk menghadapi Derren. “Marsha?”