Share

4. Non-Pengertian

"Kamu izin dulu aja kerjanya hari ini, Ay."

Ayra yang sedang mempelajari bahan ajar untuk anak yang akan ia ajari hari ini, mengerut kening heran.

Ia bekerja sebagai guru bimbel. Jadi tiap harinya bisa dapat dapat murid yang berbeda-beda. Tergantung jadwal dan pelajaran murid yang cocok dengan keahliannya.

"Gak bisa gitu, Bu. Aku harus banget kerja hari ini."

"Alah. Kamu kerja kayak gitu berapa sih gajinya. Sebulan paling sejuta dua juta. Suaminya Alia mau datang hari ini sama temennya yang sama-sama kerja jadi supir di perusahaan tambang batu bara."

"Terus apa masalahnya sama aku?"

"Ya ampun. Dia mau ngenalin temennya itu. Siapa tau kamu sama dia bisa kenal terus nikah. Lumayan, Ay. Biar kamu bisa hidup enak kayak Alia."

"Apa sih, Bu!"

Ayra sudah kepalang kesal. Tidak Bapak, tidak Ibu, sama-sama gak ngerti anaknya lagi patah hati.

Ia maunya di support, di mengerti sama seluruh keluarganya biar bisa cepat move on dari masalah ini. Biar bisa hodup normal dan kembali ceria kayak dulu. Tapi malah sibuk mencarikannya jodoh.

"Pokoknya ibu mau kamu gak kerja hari ini. Siapa tau jodoh, Ay."

Ayra merasakan denyut yang sangat kuat di kepalanya. Ada-ada saja masalah yang membuat kepalanya pening.

Padahal di bimbel ia bekerja harus bilang satu hari lebih dulu baru boleh ambil izin. Tapi, kalau keadaannya kayak gini, mungkin pemilik bimbelnya mau mengerti.

****

"Jadi kamu gajinya 7 jutaan? Banyak banget itu."

Ayra mendungus pelan melihat mata ibu dan bapak tirinya yang ijo karena dengar uang 7 juta.

Padahal bisa aja laki-laki itu bohong.

"Ay. Mapan bangetkan? Lebih mapan dari Ari," bisik ibu dengan semburat kegirangan.

Kalau emang lebih mapan ya udah sih. Ayra gak mau peduli. Dirinya cuma mau sendiri. Kasih waktu biar bisa move on. Malah di jodohin ke sana sini.

"Tapi ya gitu, Bu. Namanya juga jadi istri karyawan tambang. Sering gak bisa ketemu tiap hari."

"Gak apa-apalah. Buat ibu yang penting biaya hidup Ayra tercukupi. Suaminya mapan dan bisa membahagiakan anak ibu."

Baru juga ketemu udah ngomong istri-istri. Belum tentu juga ia mau. Kalau mapan tapi gak cocok, gak bagus juga. Siapa tau lelaki ini gir4ng gonta ganti istri.

Ayra mengerutkan keningnya. Ia tak mau ikut campur dalam pembicaraan ini.

Dirinya tau pasti Bapak tidak akan mau begitu saja. Apalagi Bapak punya kandidat tersendiri. Jadi biarkan saja mereka berdebat sementara itu dirinya akan fokus mengobati luka menganga di hatinya ini.

"Alia sama suaminya juga sering gak ketemu. Apalagi sekarang Alia h4mil. Gak bisa ikut suaminya," ujar ibu.

"Tapi Alia seneng punya suami kayak mas Agung. Bertanggung jawab dan bisa memberikan kehidupan yang nyaman untukku dan calon anak kami."

"Memang laki-laki itu harus mapan dan memiliki pekerjaan tetap," ujar Bapak tiri Ayra.

Ayra tertawa dalam hati. Setaunya lelaki yang berstatus bapak tiri ini, kerjanya serabutan sekali. Pakai acara ngomong laki-laki harus punya kerjaan tetap.

"Tuh, Ay. Kalau kamu terima Syarif, kamu bisa hidup enak."

Ayra membalas dengan senyum tidak ikhlas. Terserahlah. Ia tidak mau buang tenaga untuk menolak.

Ia tak mau ikut dalam perbincangan tidak mutu keluarganya bersama laki-laki bernama Syarif yang menurutnya aneh. Kalau memang mapan harusnya banyak perempuan yang mau.

"Saya udah lama jomblo. Rencananya kalau ada perempuan yang mau menerima dengan segala kelebihan dan sedikitnnya kekurangan saya, akan langsung saya ajak nikah. Kalau rumah, mobil, dan kerjaan udah cukup buat berumah tangga."

Nah. biasanya yang mulutnya kemanisan gini, ujung-ujungnya nipu.

Lagian nyanyjung diri bener.

"Gak laku dong kalau udah lama jomblo," ujar Ayra.

Tentu ucapannya di sambut dengan toyoran ibu di kepalanya.

"Jomblo bukan berarti gak laku. Cuma lagi cari yang mau menerima apa adanya. Yang nyaman di hati."

Apa itu tadi barusan suara buaya?

Tetap saja. Masa iya cari istri begini caranya. Ia dan Ari yang pacaran bertahun-tahun saja masih bisa di serempet sahabat sendiri, gimana kalau laki-laki yang gak tau siapa dan gimana kehidupannya ini.

****

Esok harinya, ibu mengajak Ayra ke rumah si Bapak. Ayra yang malas menolak, ikut saja entah apa mau ibunya.

Biasanya kalau akan ke rumah Bapak, ibunya ini tidak akan suka. Karena ada istri bapak yang kata orang-orang lebih cantik dan lebih muda darinya.

"Ay?"

Ayra mendongak kala mendengar namanya di panggil.

"Bu."

Azri hendak menyalami ibu namun ibu menarik tangannya.

"Gak usah sok akrab," kata beliau.

Ibu membuang muka pada Azri yang lagi-lagi berpenampilan seperti kemarin.

Ayra melihatnya jadi kasian. Tidak punya baju, tidak pernah mandi, tidak pernah cuci baju, atau mungkin semuanya tidak pernah pria itu lakukan.

Celana trening dan baju kaos putih lusuh yang di padukan jaket abu-abu yang warnanya tak kalah lusuh lagi.

Di tambah rambut yang usang seperti orang yang terlalu bodo amat dengan dandanan. Ya walaupun pengangguran setidaknya mandi atau berpakaian lebih baik akan mengurangi kengenesan.

"Mana Rahman?" tanya ibu saat istri Bapak membuka pintu.

"Ada di belakang. Saya panggilkan dulu."

Memang tidak bisa di pungkiri. Suara lembut dan adem milik istri Bapaknya ini 180° berbeda dari ibunya.

Gimana orang-orang gak menilai kalau istri bapaknya yang sekarang lebih baik.

"Cepet!"

Ibu Riri duduk di ruang tamu walau tidak di persilahkan. Ayra yang sudah paham, dan di tambah toh ini rumah bapaknya.

"Aku mau menikahkan Ayra dengan laki-laki yang lebih mapan dari j0ngosmu itu. Enak aja mau menjodohkan anakku dengan pengangguran begitu."

"Tingkah apa lagi yang mau kau buat?" tanya Bapak.

Kelihatannya bapak sudah lelah dengan kelakuan mantan istrinya. Sejak dulu memang kelakuan ibu selalu ada saja.

"Tingkah apa? Kau yang membuat tingkah. Anakku yang cantik dan berpendidikan mau di jodohkan dengan pengangguran!"

"Azri laki-laki baik. Dia cocok menjadi suami Ayra."

"Baik aja gak cukup. Mapan juga penting!"

Ayra ingin tertawa ngakak dengan ucapan ibunya. Kalau mapan lebih penting kenapa ibunya jadi menikah dengan suaminya yang sekarang. Padahal bapak tergolong mapan karena bergelar juragan truk.

Walau truk bapak cuma lima unit. Tapi cukuplah untuk bapak ongkang kaki gak kerja tapi bisa ngasilin du1t.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Lagi debat panas dua orang yang pernah bersama namun kini berpisah dan harus saling mengobrolkan masa depan putri hasil buah cinta mereka. Azri masuk walau Ayra tau sejak tadi lelaki itu di teras sambil menguping.

"Maaf. Sepertinya saya kurang sopan karena sudah mencuri dengar pembicaraan ini. Tapi, sebagai orang yang lebih dulu melamar Ayra, saya minta agar ibu mempertimbangkan saya lebih dulu."

Wow. Seperti pengajuan kontrak projek miliaran rupiah ya. Rasanya Ayra sudah tidak lagi seperti wanita yang akan dinikahi lelakinya. Lebih ke proyek yang di perebutkan.

"Ngomong apa sih? Mempertimbangkan pengangguran kayak kamu itu cuma buang-buang waktu!"

Ibu berkata dengan ketus.

"Tapi ibu bilang saya boleh menikahi Ayra kalau saya bisa memberi mahar 200 jut4kan?"

Tidak salah. Mungkin benar ibu akan mempertimbangkan kalau saja Azri berani memberi mahar sebesar itu.

Tadi dirinya serasa proyek, sekarang serasa barang dagangan.

"Emangnya pengangguran kayak kamu bisa kasih mahar segede itu? Anak saya Alia aja yang suaminya gaji jutaan gak segede itu. Gak usah mimpi."

"Kalau saya datang lagi dengan mahar yang ibu mau, ibu merestui saya menikahi Ayra."

"Ck! Males banget nanggepin pengangguran banyak ngehalu kaya kamu."

Males banget ngadepin orang-orang non-pengertian seperti mereka semua. Padahal Ayra juga tidak bilang mau menikah dalam jangka waktu dekat ini. Dirinya masih terlalu terluka. Obatin dululah pelan-pelan setidaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status