"Bapak baik-baik aja?"
Azri panik di tambah istri bapak Rahman yang lebih panik lagi darinya.Napas tak teratur bapak Rahman seolah sedang sakaratul maut membuat istrunya seolah tidak siap untuk kehilangan. Sementara Azri yang sejak tadi di penuhi pikiran tentang Ayra yang batal menikah, ikutan panik hingga bingung harus bagaimana.Bapak tampak tidak baik-baik saja sejak kembali. Usai mengantar Ayra perkara lamaran yang kacau, mereka kembali pulang.Tentunya dengan perasaan marah dan kecewa pada orang yang telah mempermainkan Ayra.Tadi istri Bapak Rahman menggedor pintu rumahnya karena keadaan bapak Rahman yang tiba-tiba setengah sadar."Minum dulu, Pak." Azri membawa teh hangat dari dapur karena istri Bapak Rahman tampak tidak bisa bergerak melihat suaminya yang seperti orang sekarat.Konon katanya teh hangat obat segala penyakit.Tapi penyakit suka ngutang dan suka susah bayar tuh gak bisa di sembuhkan dengan teh hangat.Seolah manjur, Bapak Rahman nampak bisa membuka mata setelah minum."Ayra," rucau bapak dengan nafas yang berat."Kita re rumah sakit aja, Pak?" tawar Azri.Bapak menggeleng. Ia menatap Azri."Nak. Kau pernah bilang padaku dulu. Kalau kau mencintai Ayra. Benarkan?"Azri terdiam.Itu bilang begitu sudah cukup lama. Saat pertama kali melihat Ayra. Sepertinya gadis itu juga masih kuliah. Namun kelihatannya Bapak Rahman masih mengingat itu.Walau hari itu bapak Rahman hanya menanggapi ungkapan suka Azri pada anak gadisnya dengan tawa."Memang kenapa, Pak?""Kau masih merasakan hal yang sama?"Sejujurnya hati Azri tak berubah. Namun, ia sendiri tidak tau apa mungkin perasaannya pada Ayra sedalam itu.Dirinya memang pernah mengungkapkan pada Bapak Rahman tentang perasaannya sata pertama kali melihat Ayra. Cuma waktu itu pas ngobrol ngalur ngidul. Bapak Rahman juga menanggapinya dengan candaan waktu itu."Pak. Kalaupun masih sama, saya gak yakin Ayra mau. Bapak tau sendiri saya gimana. Dan Ayra, dia juga baru patah hati.""Azri. Kalau kau memang menyukai Ayra, buktikan dengan melamarnya bersamaku. Tapi aku tidak memaksa. Ayra akan kucarikan laki-laki lain kalau kau tidak mau. Karena kau pernah bilang suka padanya, mau aku menawarkan putriku padamu lebih dulu. Bagaimana? Kalau kamu tidak mau, aku akan mencarikan orang lain."Tidak akan pernah Azri biarkan laki-laki lain.Ia paham Bapak Rahman tak kuasa melihat putrinya di sepelekan. Di buat layaknya seperti mainan. Bapak mana yang akan bisa merasa baik-baik saja putrinya dibuat seperti itu.Azri memutuskan akan melamar Ayra setelah berfikir singkat. Meyakinkan dirinya tentang perasaan yang selama ini ia pendam. Sudah bertahun-tahun lamanya.****Keadaan Ibunya tampak tidak semakin membaik. Walau saat melihat Azri menjenguk beliau kelihatan gembira. Tapi setelah kepulangan Azri, ibunya menjadi sakit kembali."Ayra," panggil ibunya dengan suara yang tak selantang dulu."Kenapa, Bu? Ibu mau minum?"Ia seorang diri menunggui ibunya di rumah sakit. Sementara suami ibunya dan Alia sudah pulang."Ayra. Menikahlah dengan Azri," rucaunya dengan mata yang setengah tertutup."Kenapa, Bu? Ayra sedang ingin sendiri. Ibu tau hatiku saat ini terluka.""Tapi dia bersedia melamarmu 200 juta, Ay. Menikahlah dengan dia, Ayra."Ayra memejamkan mata. Dirinya diam sambil mendengarkan rucauan ibunya yang semakin keras.Ia tak bergeming hingga,ibunya tak mengatakan apa-apa lagi.Pukul 01 malam, ia keluar dari kamar inap. Seolah tidak peduli dengan yang namanya hantu yang biasanya identik dengan rumah sakit, dirinnya duduk di bangku taman. Seolah kehilangan akal."Jangan duduk di sini, Ay. Bahaya."Tak jauh darinya, Azri berdiri."Belum pulang?" tanya Ayra dengan nada lemah. Bahkan ia tak mau repot-repot heran dengan keberadaan Azri."Hatiku tidak tenang di rumah. Aku perlu melihat kamu baik-baik saja."Azri duduk di sampingnya. Tak mengatakan apa-apa di saat Ayra memejamkan mata merasakan seperkian detik beban hidupnya."Ternyata aku sudah sehancur ini," gumam Ayra."Tidak, Ay. Semua baik-baik saja. Kamu cuma perlu menata hati dan pikiran.""Bagaimana cara menata hati dan pikiran di tengah kekacauan? Semua orang menyalahkan aku kau tau?!"Dengan tetesan air mata Ayra mengungkapkan rasa nyeri dan beban hati.****"Kenapa harus jual rumah?"Ayra terperangah saat bapak tirinya mengeluarkan sertifikat rumah yang hendak di jualnya."Buat ibumu itulah! Mau biaya rumah sakit pakai apa selain dengan jual rumah?"Bapak tirinya dan Alia kompak hendak menjual rumah mereka."Tapi masih banyak cara lain. Rumah ini satu-satunya tempat tinggal kita. Kalau di jual mau tinggal di mana?"Ayra kesal dengan pikiran pendek bapak tirinya yang apa-apa jual. Kalau tidak punya uang, jual! Apa tidak ada pikiran lain?"Ya terus mau bayar pakai apa? Kalau gak punya solusi gak usah ngelarang orang!""Cari pinjaman aja!""Kemana?! Kau mau cari pinjaman pada siapa?!" bentak bapak tirinya"Kakak udah diam aja deh. Kakak yang bikin masalah ini. Kalau aja kakak jadi anak yang nurutan sama orang tua! Ibu gak akan jadi kayak gini. Udah ada masalah aja! Gak mikirin gimana solusi malah nentang orang tua!"Alia menimpali dengan jurusnya yang masih saja mengatakan dirinya yang menjadi penyebab ibu mereka stroke.Ayra sebisa mungkin tidak membahas soal itu. Ia tak mau merasa bersalah hingga hilang kendali lalu menyalahkan diri sendiri."Apa jual rumah solusi? Kamu dan aku sama-sama punya tabungankan, Alia? Kita pakai itu aja dulu.""Enak aja. Tabunganku buat aku lahiran!" tolak Alia telak."Udahlah! Jual aja rumah ini!" Bapak tirinya menyahut.TokTokPintu rumah terbuka namun seseorang mengetuknya.Mereka pikir orang yang mau membeli rumah ini. Tapi itu adalah bapak Rahman dan Azri."Apa lagi datang ke sini?" tanya Bapak tiri Ayra dengan nads suara tidak suka."Ada yang mau Azri katakan." ujar bapak Rahman nampak malas."Boleh saya masuk?" Orang-orang di dalam diam namun Azri tetap masuk.Ia duduk tanpa di persilahkan. Dan menaruh kotak hitam lalu membuka isinya."Saya berikan ini pada Ayra. Untuk biaya rumah sakit Bu Riri. Jangan salahkan Ayra lagi. Dan, tolong beri dia ruang agar dia bisa menenangkan hati."Alia dan bapaknya tampak kaget. Mereka langsung berbinar melihat uang itu. Berkata terima kasih tanpa sungkan.Bahkan tak ada basa basi untuk menolak.Azri dan bapak rahman segera pamit pulang setelahnya. Dan bahkan mereka tidak di tahan sementara uangnya di ambil.Keduanya melintas begitu saja. Bahkan bapak kandungnya tak menyapanya atau bertanya keadaannya.Ayra masih terdiam di tempat. Dirinya, seolah mematung lantaran bingung harus berkata apa.Namun di bawa oleh rasa tidak bisa menerima begitu dalam hatinya, ia menyusul Azri dan Bapak Rahman yang sudah naik motor.Karena melihat dirinya, Azri urung membawa motornya yang sudah menyala itu pergi."Ada apa, Ay?" tanya Azri melihat dirinya terdiam di teras rumah.Ayra tak mungkin membiarkan uang itu di berikan padanya begitu saja. Juga tidak mungkin mengembalikannya."Maaf. Aku belum bersihkan rumah."Azri tampak tidak enak saat Ayra akan memasuki rumahnya. Rumah yang tidak bisa lagi di bilang berantakan. Ini sih lebih parah dari kandang kambing."Ya. Rumah bujangan," balas Ayra.Kalau Ayra sih juga bukan orang yang bersih. tapi kalau sekotor ini, apa bisa di bilang habis di huni manusia."Aku sibuk sekali beberapa waktu ini. Jadinya tidak sempat membersihkan rumah."Yang benar saja. "Sibuk apa?" tanya Ayra sambil memunguti sampah kulit bekas snack."Sibuk. . . ."Kurang ngenes apa hidup Ayra. Sudah di selingkuhi, di tikung sahabat sendiri, lalu harus menikah dengan Azri karena ibunya.Cuma perkara tidak jadi dapat uang 200 juta, ibunya sampai stroke. Ini lagi lebih parah. Baru menikah bukannya senang-senang malah harus bersih-bersih rumah."Sibuk apa?" tanya Ayra yang sejak tadi menunggu jawaban Azri.Menerima menikah dengan
Ayra memperhatikan gerak gerik Azri. Setelah sarapan, lelaki itu duduk di teras dengan dengan sebungkus rokok. Dari ruang tamu, ia melihat kepulan asap yang dihasilkan oleh batang-batang rokok itu.Ia mulai membayangkan hal yang kemungkinan terjadi sekarang.Tentang ibu tirinya dan Azri.Lelaki itu bahkan tidak bekerja. Dari mana dapat uang untuk beli rokok. Sudah pasti dari ibu tirinya itu bukan?Sejujurnya Ayra tidak merasa perlu mencurigai keduanya jikalau perasaan Bapaknya tidak dipertaruhkan.Bahkan Ayra tidak peduli kalau lelaki pengangguran yang berstatus suaminya ini mau selingkuh atau bagaimanapun. Tidak ada gunanya juga.Dari sekian banyak kemungkinan yang muncul di otaknya, Ayra yakin ibu tirinya sedang berusaha memoroti uang bapaknya. Bisa saja suatu hari nanti Azri dan ibu tirinya pergi membawa semua harta bapaknya.Dan sebelum itu terlambat, ia harus menyelamatkan harta bapaknya dan memastikan
Ayra menatap Azri dengan kilat kemarahan."Oh, jadi kalian mau nyewa rumah depan itu ya?" tanya Azri dengan senyum terpaksa.Sembari ia menatap tatapan Ayra yang menghunus dirinya.Kalau itu sudah di luar prediksi BMKG. Azri awalnya hanya mau Ayra tampak berkelas dan terhormat depan sahabat dan mantan calon suaminya."Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik ya, Ay," ujar Jesika girang.'Semoga saja kalian ditemui mbak kunti penjaga rumah depan itu. Jadi kalian tidak betah dan pergi.' Ayra membatin.Mereka tinggal di tempat yang lumayan jauh dari kehidupan Ayra saja, ia sudah ngeri dengan ucapan Azri. Apalagi kalau sudah jadi tetangga. Apa gak kecium duluan bangkai rumah tangganya ini?Usai keduanya pergi, Ayra mematung di sofa. Pandangannya lurus dengan nafas yang tipis."Belum matikan, Ay?""Udah pulangkan mereka?""Iya. Udah di luar.""Udah jauh?"Az
"Udah semua barangnya, Nak?""Udah kayaknya, Ma."Ibu Muthiya, atau ibunya Ari ikut membantu pindahan anak menantunya."Posisi ruang tamunya jangan kayak gitu. Kayak gini dong biar kelihatan lebih bagus."Mungkin lebih tepatnya ikut mengatur."Kayaknya udah bagus deh gini, Ma," balas Jesika."Ck! Jangan gitu. Nanti kurang enak kalau ada tamu."Bu Muthiya tetap kuekeh ingin mengubah posisi sofa dan letak telivisi."Mas. Tapi aku maunya gitu," keluh Jesika."Ikutin aja apa kata mama, Jes. Jangan di bantah. Mama cuma mau kasih yang terbaik aja," balas Ari.Ia meninggalkan Jesika ke mamanya yang tampak kesulitan mengubah posisi sofa yang beliau inginkan.Sementara itu Jesika yang sejak tadi merasa semua yang di lakukannya pasti salah, hanya bisa menghela nafas lalu ikut seperti apa kata mertuanya."Kok kalian pindahnya ke sini sih. Kan lumayan jauh kalau dari rumah mama. Padahal mama udah kasih rekomendasi kalian tinggal di komplek dekat perumahan kita aja." Bu Muthiya mendumal.Rumah yan
Ayra mengiyakan ajakan Azri untuk pergi piknik hari ini. Hitung-hitung refreshing. Mereka tengah menyiapkan makanan dalam rantang.Rencananya pun pikniknya hanya di pinggir danau dekat-dekat sini. Biasanya hari minggu begini di sana banyak yang duduk-duduk santai sambil makan-makan sekeluarga."Buah udah, cemilan sama minumannya juga udah. Mau bawa apa lagi?" tanya Azri setelah memastikan bawaan mereka lengkap."Cukup deh, Mas. Gak usah banyak-banyak. Nanti repot bawanya."Azri tersenyum lebar mendengar panggilan Ayra pada dirinya yang sudah mulai istrinya itu terapkan sejak tadi lagi.Panggilan "Mas" yang membuat Azri merasakan kehangatan di hatinya."Ya sudah. Aku siapin motor dulu."Ayra mengangguk lalu berjalan ke kamar untuk memberekan dandanannya.Sementara Azri membawa tiker yang akan jadi alas duduk mereka.Tak lama setelah memanaskan motor, Ayra keluar membawa rantang makanan
Ayra sibuk menyiapkan sarapan pagi. Rutinitas pagi yang akan ia jalani mulai sekarang. Tak bisa Ayra pungkiri. Jiwanya lebih tenang sekarang. Setelah memilih akan berdamai dengan segala sakit hatinya. Kini menerima segalanya dengan ikhlas membuat dirinya merasa begitu bahagia."Pagi Ay.""Pagi. Sarapannya masih belum. . . ."Ayra tertegun melihat Azri. Pria itu tampak lebih segar, dan penampilannya lebih rapi dari biasanya. Walau tidak serapi orang mau kerja kantoran."Mas mau kemana?" tanya Ayra.Tak mungkin Azri berpakaian serapi ini tapi ingin di rumah sajakan?Terus tumben sekali Azri sudah bangun sepagi ini. Biasanya pria itu paling cepat bangun jam 8 pagi."Kerja," ujarnya sambil melepas tas ransel lalu menaruhnya di atas meja makan.Pria itu berjalan ke dekatnya yang sedang memasak nasi goreng."Maksudnya mau cari kerja?" tanya Ayra memastikan."Persis. Bi
Di pagi harinya di halaman rumah tampak ramai orang-orang berbondong-bondong mendatangi rumah.Ayra yang kebingungan, ketakutan, hanya bisa berlindung di balik bapaknya. Sementara itu bapaknya yang kesulitan meredam amarah warga nampak memanggil seseorang lewat telpon.Ibu tirinya menarik Ayra untuk masuk ke dalam rumah. Beliau tampak yakin suaminya bisa menangani masa itu.Ambar memberikan Ayra air putih hangat."Tenangkan diri kamu, Ay."Ayra menggeleng. Ia tak bisa tenang kalau sudah sampai serunyam ini.Ambar meraih jemari Ayra yang gemetaran."Azri hanya ingin melihat kamu bahagia, Ay. Semua ini bukan berarti Azri ingin melihat kamu jadi depresi. Tolong percaya pada Azri. Dia akan pulang saat urusannya selesai.""Bagaimana aku bisa mempertahankan kepercayaan bahwa Azri bukan pembunuh? Aku saja bahkan tidak pernah sekalipun tau siapa dia. Begitu banyak keganjilan yang aku tidak tau persis apa
Rapat darurat akan di adakan dua jam lagi. Dan Azri masih kerepotan menyiapkan berkas-berkas dirinya yang akan masuk dalam rapat darurat ini. Tapi dering telpon menyadarkannya kalau Ayra sedang dalam perjalanan menemuinya. Panggilan sang istri itu menyela pekerjaannya yang padat.Sebelumnya bapak Rahman sudah bilang kalau Ayra akan datang menemuinya. Karena tak ingin melihat Ayra lebih menderita lagi gara-gara kesalah pahaman ini.Mau tak mau dirinya harus relakan semuanya. Padahal Azritak berniat untuk memberitahu Ayra tentang dirinya sedini ini. Tapi ya sudahlah. Ini sudah yang paling baik. Demi kewarasan Ayra juga. Kasian dia sudah cukup tertekan sejak awal.Tapi kedatangan Ayra tidak tepat waktu. Dirinya sedang di rundung banyak pekerjaan. Yang mengharuskannya mengirim orang untuk menjemput Ayra di bandara."Kau bilang istrimu di Bandara?" tanya tamannya.Azri menyahut sambil terus mengerjakan tugasnya."Iya. Tapi sudah kuminta seseorang membawanya ke tempat istirahat.""Jemputla