Share

7. Masalah Lagi

"Bapak baik-baik aja?"

Azri panik di tambah istri bapak Rahman yang lebih panik lagi darinya.

Napas tak teratur bapak Rahman seolah sedang sakaratul maut membuat istrunya seolah tidak siap untuk kehilangan. Sementara Azri yang sejak tadi di penuhi pikiran tentang Ayra yang batal menikah, ikutan panik hingga bingung harus bagaimana.

Bapak tampak tidak baik-baik saja sejak kembali. Usai mengantar Ayra perkara lamaran yang kacau, mereka kembali pulang.

Tentunya dengan perasaan marah dan kecewa pada orang yang telah mempermainkan Ayra.

Tadi istri Bapak Rahman menggedor pintu rumahnya karena keadaan bapak Rahman yang tiba-tiba setengah sadar.

"Minum dulu, Pak." Azri membawa teh hangat dari dapur karena istri Bapak Rahman tampak tidak bisa bergerak melihat suaminya yang seperti orang sekarat.

Konon katanya teh hangat obat segala penyakit.

Tapi penyakit suka ngutang dan suka susah bayar tuh gak bisa di sembuhkan dengan teh hangat.

Seolah manjur, Bapak Rahman nampak bisa membuka mata setelah minum.

"Ayra," rucau bapak dengan nafas yang berat.

"Kita re rumah sakit aja, Pak?" tawar Azri.

Bapak menggeleng. Ia menatap Azri.

"Nak. Kau pernah bilang padaku dulu. Kalau kau mencintai Ayra. Benarkan?"

Azri terdiam.

Itu bilang begitu sudah cukup lama. Saat pertama kali melihat Ayra. Sepertinya gadis itu juga masih kuliah. Namun kelihatannya Bapak Rahman masih mengingat itu.

Walau hari itu bapak Rahman hanya menanggapi ungkapan suka Azri pada anak gadisnya dengan tawa.

"Memang kenapa, Pak?"

"Kau masih merasakan hal yang sama?"

Sejujurnya hati Azri tak berubah. Namun, ia sendiri tidak tau apa mungkin perasaannya pada Ayra sedalam itu.

Dirinya memang pernah mengungkapkan pada Bapak Rahman tentang perasaannya sata pertama kali melihat Ayra. Cuma waktu itu pas ngobrol ngalur ngidul. Bapak Rahman juga menanggapinya dengan candaan waktu itu.

"Pak. Kalaupun masih sama, saya gak yakin Ayra mau. Bapak tau sendiri saya gimana. Dan Ayra, dia juga baru patah hati."

"Azri. Kalau kau memang menyukai Ayra, buktikan dengan melamarnya bersamaku. Tapi aku tidak memaksa. Ayra akan kucarikan laki-laki lain kalau kau tidak mau. Karena kau pernah bilang suka padanya, mau aku menawarkan putriku padamu lebih dulu. Bagaimana? Kalau kamu tidak mau, aku akan mencarikan orang lain."

Tidak akan pernah Azri biarkan laki-laki lain.

Ia paham Bapak Rahman tak kuasa melihat putrinya di sepelekan. Di buat layaknya seperti mainan. Bapak mana yang akan bisa merasa baik-baik saja putrinya dibuat seperti itu.

Azri memutuskan akan melamar Ayra setelah berfikir singkat. Meyakinkan dirinya tentang perasaan yang selama ini ia pendam. Sudah bertahun-tahun lamanya.

****

Keadaan Ibunya tampak tidak semakin membaik. Walau saat melihat Azri menjenguk beliau kelihatan gembira. Tapi setelah kepulangan Azri, ibunya menjadi sakit kembali.

"Ayra," panggil ibunya dengan suara yang tak selantang dulu.

"Kenapa, Bu? Ibu mau minum?"

Ia seorang diri menunggui ibunya di rumah sakit. Sementara suami ibunya dan Alia sudah pulang.

"Ayra. Menikahlah dengan Azri," rucaunya dengan mata yang setengah tertutup.

"Kenapa, Bu? Ayra sedang ingin sendiri. Ibu tau hatiku saat ini terluka."

"Tapi dia bersedia melamarmu 200 juta, Ay. Menikahlah dengan dia, Ayra."

Ayra memejamkan mata. Dirinya diam sambil mendengarkan rucauan ibunya yang semakin keras.

Ia tak bergeming hingga,ibunya tak mengatakan apa-apa lagi.

Pukul 01 malam, ia keluar dari kamar inap. Seolah tidak peduli dengan yang namanya hantu yang biasanya identik dengan rumah sakit, dirinnya duduk di bangku taman. Seolah kehilangan akal.

"Jangan duduk di sini, Ay. Bahaya."

Tak jauh darinya, Azri berdiri.

"Belum pulang?" tanya Ayra dengan nada lemah. Bahkan ia tak mau repot-repot heran dengan keberadaan Azri.

"Hatiku tidak tenang di rumah. Aku perlu melihat kamu baik-baik saja."

Azri duduk di sampingnya. Tak mengatakan apa-apa di saat Ayra memejamkan mata merasakan seperkian detik beban hidupnya.

"Ternyata aku sudah sehancur ini," gumam Ayra.

"Tidak, Ay. Semua baik-baik saja. Kamu cuma perlu menata hati dan pikiran."

"Bagaimana cara menata hati dan pikiran di tengah kekacauan? Semua orang menyalahkan aku kau tau?!"

Dengan tetesan air mata Ayra mengungkapkan rasa nyeri dan beban hati.

****

"Kenapa harus jual rumah?"

Ayra terperangah saat bapak tirinya mengeluarkan sertifikat rumah yang hendak di jualnya.

"Buat ibumu itulah! Mau biaya rumah sakit pakai apa selain dengan jual rumah?"

Bapak tirinya dan Alia kompak hendak menjual rumah mereka.

"Tapi masih banyak cara lain. Rumah ini satu-satunya tempat tinggal kita. Kalau di jual mau tinggal di mana?"

Ayra kesal dengan pikiran pendek bapak tirinya yang apa-apa jual. Kalau tidak punya uang, jual! Apa tidak ada pikiran lain?

"Ya terus mau bayar pakai apa? Kalau gak punya solusi gak usah ngelarang orang!"

"Cari pinjaman aja!"

"Kemana?! Kau mau cari pinjaman pada siapa?!" bentak bapak tirinya

"Kakak udah diam aja deh. Kakak yang bikin masalah ini. Kalau aja kakak jadi anak yang nurutan sama orang tua! Ibu gak akan jadi kayak gini. Udah ada masalah aja! Gak mikirin gimana solusi malah nentang orang tua!"

Alia menimpali dengan jurusnya yang masih saja mengatakan dirinya yang menjadi penyebab ibu mereka stroke.

Ayra sebisa mungkin tidak membahas soal itu. Ia tak mau merasa bersalah hingga hilang kendali lalu menyalahkan diri sendiri.

"Apa jual rumah solusi? Kamu dan aku sama-sama punya tabungankan, Alia? Kita pakai itu aja dulu."

"Enak aja. Tabunganku buat aku lahiran!" tolak Alia telak.

"Udahlah! Jual aja rumah ini!" Bapak tirinya menyahut.

Tok

Tok

Pintu rumah terbuka namun seseorang mengetuknya.

Mereka pikir orang yang mau membeli rumah ini. Tapi itu adalah bapak Rahman dan Azri.

"Apa lagi datang ke sini?" tanya Bapak tiri Ayra dengan nads suara tidak suka.

"Ada yang mau Azri katakan." ujar bapak Rahman nampak malas.

"Boleh saya masuk?" Orang-orang di dalam diam namun Azri tetap masuk.

Ia duduk tanpa di persilahkan. Dan menaruh kotak hitam lalu membuka isinya.

"Saya berikan ini pada Ayra. Untuk biaya rumah sakit Bu Riri. Jangan salahkan Ayra lagi. Dan, tolong beri dia ruang agar dia bisa menenangkan hati."

Alia dan bapaknya tampak kaget. Mereka langsung berbinar melihat uang itu. Berkata terima kasih tanpa sungkan.

Bahkan tak ada basa basi untuk menolak.

Azri dan bapak rahman segera pamit pulang setelahnya. Dan bahkan mereka tidak di tahan sementara uangnya di ambil.

Keduanya melintas begitu saja. Bahkan bapak kandungnya tak menyapanya atau bertanya keadaannya.

Ayra masih terdiam di tempat. Dirinya, seolah mematung lantaran bingung harus berkata apa.

Namun di bawa oleh rasa tidak bisa menerima begitu dalam hatinya, ia menyusul Azri dan Bapak Rahman yang sudah naik motor.

Karena melihat dirinya, Azri urung membawa motornya yang sudah menyala itu pergi.

"Ada apa, Ay?" tanya Azri melihat dirinya terdiam di teras rumah.

Ayra tak mungkin membiarkan uang itu di berikan padanya begitu saja. Juga tidak mungkin mengembalikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status