Arka kebingungan di kantor polisi karena tidak memiliki pengacara. Dirinya juga tidak ada yang menjamin sehingga harus ditahan, mengingat bukti juga sudah kuat. Berkali-kali Arka teriak-teriak memanggil petugas polisi dari balik jeruji besi, tetapi tidak satu pun yang memedulikannya.Akhirnya Arka memilih duduk di lantai penjara yang dingin dan lembab itu. Baru saat itu ia menoleh dan menyadari kalau di ruangan itu, ia tidak sendiri. Melainkan ada beberapa orang yang juga berwajah frustasi sama seperti dirinya.Beberapa di antara orang itu bertanya kepada Arka, tentang kasus yang membawa Arka harus meringkuk di jeruji besi itu. Namun, Arka tidak mau menjawab. Ia merasa tidak selevel dengan orang-orang itu. Ia merasa dirinya masih seorang manager, meski sebenarnya sudah dipecat. Namun, dalam diri Arka tetap mengakui kalau dirinya adalah seorang manager. Jadi, tidak level untuk berbicara dengan para napi yang lain.Seharian Arka merasa sangat tersiksa. Pada saat diberi makan malam, Arka
"Yah, beri aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki pernikahanku dengan Nabila. Aku mohon, Yah!" pinta Arka. Ia sangat takut kalau ayah mertuanya itu akan memaksa. "Aku janji akan berubah, enggak akan menyakiti Nabila lagi.""Tidak. Sudah cukup kesempatan yang aku beri sama kamu. Aku besarkan Nabila dengan segenap cinta, aku tidak akan melepas Nabila pada laki-laki seperti kamu," tegas Pak Handoko. "Sudah, jatuhkan talakmu sekarang juga. Setelah itu, aku akan cabut laporan ini.""Enggak, Yah. Enggak! Aku enggak mau cerai sama Nabila!" kekeh Arka."Terserah! Yang jelas kalau kamu keras kepala, kamu akan rugi sendiri. Kamu akan dipenjara, bahkan mungkin harus bayar denda, dan juga tetap bercerai dengan Nabila," ucap Pak Handoko. Arka melongo mendengar itu.Sementara Pak Handoko langsung mengajak Nabila meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu respon Arka."Yah! Tunggu, Yah!" seru Arka. Ia tidak mau rugi kanan, kiri, depan, belakang. Jadi, ia tidak mau membuang kesempatan yang diberi
Proses perceraian Nabila dan Arka berjalan dengan lancar. Setelah proses mediasi dan beberapa kali persidangan, akhirnya akta cerai bisa Nabila bawa pulang. Begitu juga dengan Arka. Bahkan tak sampai seminggu setelah mengantongi akta cerai, Arka langsung menikah dengan Salma karena tak mau kandungan Salma semakin besar dan status mereka belum menikah.Apartemen telah Arka juga telah dijual untuk membayar tuntutan-tuntutan dari pihak Nabila. Sehingga dengan terpaksa Arka dan Salma tinggal di sebuah kos-kosan yang diperuntukkan untuk sebuah keluarga kecil. Kos-kosan itu terdiri dari satu ruangan berukuran 3x3 dan terdapat kamar mandi di dalam kamar. Karena Arka dan Salma masih sama-sama pengangguran, untuk menghemat, mereka membeli kompor dan peralatan masak dan ditaruh di pojok ruangan tersebut dan mereka hidup dari uang sisa penjualan apartemen dan juga sisa tabungan Salma."Mas, aku mau periksa kandungan ke dokter." Salma membangunkan Arka yang masih tertidur. Padahal jam di dinding
"Kenapa? Kamu belum siap ketemu mereka?" tanya Hanan setelah pandangannya mengikuti tatapan mata Nabila. Ia bisa melihat Arka berjalan bersisian dengan Salma yang tengah hamil besar.Nabila tersenyum getir. "Bukan gitu, cuma ... gimana, ya, aku ngomongnya."Hanan menatap hangat mata Nabila. Membiarkan perempuan di depannya itu mengungkapkan perasaannya."Aku udah ikhlas dengan semua yang terjadi. Perpisahanku dengan Mas Arka, juga pernikahan mereka. Hanya saja, tetap ada sesuatu yang aku enggak tahu apa namanya di dalam sini." Nabila menunjuk dadanya. "Mungkin aku iri dengan Salma, karena dia hamil dan akan segera punya anak. Sementara aku, dalam lima tahun pernikahan, aku enggak punya kesempatan itu."Hanan tersenyum hangat. "Kamu percaya kalau setiap hal itu sudah ada titik takdirnya masing-masing?"Nabila menatap Hanan penuh tanya."Sekarang ini, kita sedang berjalan, meniti garis takdir yang sudah Tuhan tetapkan. Di garis itu Tuhan juga sudah tetapkan, titik-titik di mana kita aka
Sepulang dari kondangan, Arka masih sangat marah. Ia sampai mendiamkan Salma yang sebenarnya tidak salah apa-apa. Begitu memasuki kamar kos, Arka langsung berbaring di tempat tidur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Ia bahkan tidak melepas kemeja dan juga celana kainnya. Pikirannya masih penuh dengan Hanan dan Nabila. Terlebih tadi ia melihat Hanan mengendarai sebuah mobil."Sok kaya sekali Hanan!" umpat Arka di dalam hati. Dadanya benar-benar mendidih. Ingin ia menghancurkan karir Hanan, agar adiknya itu sama hancurnya seperti dirinya. Namun, Arka tidak tahu harus berbuat apa. Otaknya saat ini benar-benar tumpul."Kamu kenapa, sih, Mas?" protes Salma yang tidak suka didiamkan oleh Arka. "Gara-gara ketemu Nabila?"Arka tidak menyahut. Tentu Salma semakin geram. Wanita itu lantas menyingkap selimut yang menutupi tubuh suaminya. "Kamu kenapa, sih?""Apa, sih, Sal?" Arka malas meladeni Salma. "Kamu nyesal cerai sama istri yang dulu kamu bilang udik itu?"Lagi-lagi Arka tidak menanggap
[Na, kenapa dari pagi pesanku belum dibaca? Kamu sehat, kan? Kamu baik-baik saja, kan?]Setelah pulang kerja, Hanan kembali mengirim pesan pada Nabila. Tidak biasanya Nabila mengabaikan pesannya. Ia takut kalau ternyata Nabila tidak baik-baik saja.Hanan sampai melupakan makan malamnya. Berkali-kali ia hanya mengecek ponsel sembari mengedit hasil jepretannya tadi. Rasa lapar yang tadi menyerangnya seperti tsunami, lenyap begitu saja saat tidak mendapati satu pesan pun dari Nabila. Jangankan pesan dari Nabila, pesan yang sejak tadi dikirimnya pun tidak kunjung Nabila baca."Apa Nabila sakit?" gumam Hanan lalu melepas mouse-nya. Tangan lelaki itu kini bertaut di belakang kepalanya diikuti tubuhnya yang bersandar pada sandaran kursi kerja. Pikirannya tak bisa lepas dari Nabila membuat otaknya tidak fokus mengedit foto dan video di layar komputernya. Tak biasanya Nabila bersikap seperti ini. Padahal semalam semua biasa saja. Ia masih berkirim pesan dengan Nabila membahas novel Nabila yan
[Han, kamu yakin mau sama bekas istriku?]Hanan mengernyit saat membuka pesan dari Arka. Kata-kata yang dipilih Arka terasa menusuk dadanya. Jika Arka bukan kakaknya, Hanan pasti akan membalas dengan kata-kata tak kalah menusuk.Tak lama sebuah foto juga Arka kirim pada Hanan. Melihat orang yang ada di foto itu, rasa panas menjalar di rongga dada Hanan. Tenggorokan Hanan sampai tercekat melihat Nabila tampak sedang berjalan bersisian dalam posisi cukup dekat dengan seorang laki-laki. Hanan memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia tidak mau terpancing oleh Arka. Hanan berusaha berpikir positif meski perasaannya tidak baik-baik saja."Dia pasti saudara Nabila. Enggak mungkin Nabila jalan sama laki-laki lain," gumam Hanan meyakinkan dirinya sendiri.Hanan yang hari itu sedang tidak ada jadwal kerja di siang hari, kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Niatnya untuk keluar makan siang pun ia lupakan karena pikirannya terganggu dengan pesan Arka.Berkali-kali Hanan menarik nap
Hanan menatap Nabila dengan sorot mata terluka. Tumpukan pikiran positif yang sejak tadi ia susun di tengah berbagai prasangka yang menyerang pikirannya, runtuh seketika. Bahu Hanan terkulai lemas, kemudian bibirnya tersenyum getir. "Selamat ya, Na, semoga semuanya dilancarkan."Nabila ingin sekali membantah. Berkata kalau itu semua tidak benar. Namun, sorot mata ayahnya membuatnya menjadi pecundang. Mulutnya terkunci dan matanya berkaca-kaca, sampai akhirnya genangan itu tumpah dan Nabila membuang muka. Ia tidak ingin menjual kesedihannya."Ayo, masuk, Han!" ajak Pak Handoko dengan ramah. "Biar sekalian kenal dan ngobrol sama calon suami Nabila. Radit itu dokter, loh. Kamu bisa tanya-tanya tentang kesehatan sama dia," ucap Pak Handoko dengan bangga. Pak Handoko melakukan itu karena ingin Hanan tidak lagi mendekati Nabila. Meski sebenarnya ia suka pada Hanan, tetapi ia tidak bisa menerimanya karena Hanan adalah adik Arka dan juga anak Pak Danang. Pak Handoko sudah terlanjur kecewa pa