Share

Bertahanlah Untuk Dirimu Sendiri

'Perempuan Berbisa," umpat Abdi saat Alleta pergi meninggalkan ruangan Sassi.

 

 

Dari dulu, Abdi memang selalu waspada dengan keberadaan Alleta. Bukan karena Alleta yang tak pernah dapat menerima keberadaannya dalam keluarga Darma. Namun karena Abdi bisa merasakan sifat licik yang dimiliki Alleta.

 

Abdi menatap ke arah Sassi yang masih berada di atas ranjang rumah sakit. Ia sangat menyesal kenapa Darma harus memberinya tugas keluar negeri sendiri selama dua minggu.

 

Sekarang saat kembali, ia merasakan kehilangan yang sangat besar. Kepergian Darma dan juga keadaan Sassi yang terluka.

 

"Kau sudah bisa membuka matamu, Sas," ucap Abdi saat semua orang telah pergi.

 

Sassi menurut walau ia sedikit malu karena ulahnya yang pura-pura tidur diketahui oleh Abdi. Abdi duduk di sebuah kursi yang ada di samping ranjang. Ia menghadap ke arah Sassi. 

 

"Untuk saat ini, utamakan saja dirimu. Tak usah pikirkan yang lain. Kau harus bisa melewatinya, Sas. Bertahanlah," ujar Abdi.

 

"Untuk apa, Di? Untuk siapa aku bertahan?" tanya Sassi sambil menatap Abdi.

 

Mata Sassi berkaca-kaca dan Abdi tidak suka melihatnya. Inikah gadis kecil yang selalu ia jaga setiap saat? 

 

Sassi kini hampir terlihat kembali keadaannya seperti saat awal mereka bertemu, saat gadis kecil itu baru saja kehilangan ibunya. Wajah pucat dengan mata cekung. 

 

Dulu, Darma menugaskan dia untuk menjaga Sassi dalam hal apapun, termasuk mencegah Sassi menangis.

 

Pekerjaan yang sulit memang. Ditambah lagi, Abdi bukanlah orang yang banyak bicara. Saat itu yang ia lakukan hanyalah menemani Sassi. Baik di rumah atau pun di sekolah. Namun, Abdi selalu mengetahui norma batasan-batasan mana yang tak boleh ia langgar.

 

"Kau nggak perlu alasan untuk siapa kau bertahan, Sas. Karena sebagai manusia, kita dilarang untuk berputus asa," ucap Abdi.

 

Sassi memandang Abdi. Hanya pemuda inilah yang memahami dirinya. Abdi hanya sering berbicara saat dia berada dalam keterpurukan. Abdi jugalah yang selalu ada saat dirinya membutuhkan teman.

 

'Papa, terima kasih telah memberikan Abdi untuk menjadi temanku," batin Sassi.

 

Sassi memalingkan pandangannya dari Abdi, pikirannya melayang. Apakah Abdi telah mengetahui perselingkuhan Ganendra dengan Alleta. Apakah orang-orang lain juga banyak yang telah mengetahuinya? Apa hanya dirinya yang baru saja mengetahui hal ini?

 

Sungguh, dirinya merasa menjadi wanita paling bodoh sedunia.

 

"Di, apa kau tahu tentang ...?" ucap Sassi terpotong. Ia ragu untuk melanjutkan pertanyaannya.

 

Abdi menaikkan kedua alisnya, mencoba menyimak apa yang Sassi ucapkan. Namun, Sassi tidak melanjutkan ucapannya.

 

"Istirahatlah dulu. Jangan memikirkan masalah lain. Nanti kalau kau sudah sehat, kau bisa memikirkan apa pun yang kau mau."

 

Itulah Abdi. Ia selalu mengucapkan hal yang intinya sama saja kepada Sassi. Mungkin akan terdengar membosankan bagi orang lain, tetapi tidak bagi Sassi. Kalimat-kalimat Abdi yang seperti itu selalu berhasil membuat Sassi bertahan. 

 

Sassi perlu seseorang yang tidak menggurui. Namun, bukan juga seseorang yang terlalu membebaskannya melakukan apa pun yang ia mau. Abdi selalu berhasil mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang membuat hatinya gembira dan juga berhasil mencegahnya melakukan perbuatan yang merugikan.

 

'Menikahlah, maka kau akan berbahagia.' Itulah ucapan Abdi saat Sassi bertanya apakah ia harus menerima laki-laki yang melamarnya melalui Darma.

 

'Kali ini, kau salah, Di. Pernikahan ini tidak membuatku bahagia. Aku telah menikahi seorang pengkhianat, Di. Apakah aku harus memintamu bertanggung jawab karena ucapanmu waktu itulah yang telah menjerumuskanku dalam keadaan ini?'

Batin Sassi terus menangis.

 

Ingin sekali ia mengumpat, menyumpah bahkan meludahi wajah Ganendra. Namun, ia tak akan pernah bisa melakukan hal yang seperti itu. Darma tak pernah mengizinkan dirinya melakukan sesuatu yang melanggar tata krama pada siapapun.

 

Obrolan mereka terputus saat telefon ruang rawat berbunyi. Dari seberang pesawat telefon, Abdi diminta datang ke ruang pos jaga perawat.

 

"Aku harus keluar sebentar. Kau tidurlah. Jangan memikirkan hal macam-macam," pinta Abdi.

 

Sassi hanya terdiam kemudian memalingkan wajahnya saat Abdi pergi meninggalkan ruangan.

Abdi berjalan ke ruang jaga perawat. Di sana telah menunggu dua orang asisten rumah tangga yang diminta menjaga Sassi.

 

"Pak Abdi. Saya disuruh Pak Ganendra menjaga Bu Sassi," ucap Lies asisten rumah keluarga Darma.

 

"Saya juga, Pak," Indri menimpali. Wanita ini lima tahun lebih muda dari Lies.

 

Abdi mengangguk mengerti.

 

"Saya sudah jelaskan pada mereka, Pak Abdi. Hanya satu orang yang boleh menemani di dalam ruangan. Seharusnya saat ini pun mereka nggak boleh masuk  ke sini karena melewati jam besuk," ucap salah satu perawat yang sedang berjaga.

 

"Tapi mereka nggak mau mengerti, Pak. Mereka memaksa untuk masuk ke ruangan Bu Sassi atau akan menetap di ruangan ini," lanjut perawat itu lagi.

 

"Kami nggak mungkin kembali ke rumah, Pak Abdi.

Pak Ganendra marah besar. Saya juga nggak mengerti ada apa. Mungkin Pak Ganendra pusing karena hari ini terlalu banyak musibah" ucap Indri.

 

"Pak Ganendra bilang akan memecat kami kalau kami nggak menjaga Bu Sassi malam ini," tambah Lies.

 

Abdi mengeryitkan keningnya. Ada masalah apa dengan Ganendra? Laki-laki itu mendadak bersikap seperti ini. Tadi Ganendra tidak keberatan jika Abdi menjaga Sassi.

 

"Pak Abdi, tolong jangan minta kami untuk pulang, kami masih ingin bekerja, Pak," ucap Lies memohon.

 

"Kalau mereka menjenguk sebentar saja, boleh 'kan, Sus?" tanya Abdi pada perawat yang berjaga.

 

"Ini sudah tengah malam, Pak Abdi. Pasien harus istirahat."

 

Abdi mengangguk. Kemudian ia meminta Lies dan Indri mengikutinya keluar dari lobby ruangan VVIP.

 

"Saya nggak paham dengan maksud kalian tentang Ganendra yang marah besar. Karena sebelum Ganendra pulang dari sini tadi, Ganendra sama sekali nggak menyetujui untuk memanggil kalian ke sini. Ganendra setuju jika saya yang menemani Sassi," ucap Abdi.

 

Lies dan Indri hanya menunduk mendengar ucapan Abdi. Mereka tidak tahu harus memberi jawaban apa kepada Abdi.

 

"Begini saja, kalian ikut saya. Di depan rumah sakit ini ada hotel kecil. Malam ini kalian beristirahatlah di sana. Kalian pasti letih sekali seharian ini," ucap Abdi membuat Lies dan Indri saling pandang.

 

"Tenang. Saya yang akan bayar. Kalian juga nggak perlu terlalu pagi jika mau menjenguk Sassi. Datanglah pukul sebelas, saat jam besuk," ucap Abdi yang mulai melangkah ke arah yang ia maksud.

 

Langkah Abdi terhenti saat menyadari ternyata Lies dan Indri tidak mengikuti dirinya.

 

"Lho? Kenapa? Kalian nggak setuju?" tanya Abdi.

 

"Em ... itu, Pak Abdi. Apa nggak boleh ya kalau salah satu dari kami yang menjaga Bu Sassi? Bagaimana kalau Pak Abdi saja yang beristirahat?" tanya Indri berhati-hati.

 

"Kenapa memangnya?" tanya Abdi.

 

"Itu, Pak. Em ...." 

 

"Kalau kalian nggak memberitahukan alasannya, bagaimana saya bisa menjawab?" 

 

"Itu perintah Pak Ganendra ..." ucap Indri, tangannya tak berhenti menyenggol-nyenggol tangan Lies.

 

"Pak Ganendra bilang, kami yang harus menunggu Bu Sassi. Bukan Pak Abdi," jawab Lies dengan kepala menunduk.

 

Abdi menarik napas panjang. Apalagi maunya Ganendra? Semakin aneh saja ulahnya.

 

"Nggak! Saya yang akan tetap menjaga Sassi. Kalian yang beristirahat. Saya tahu seharian ini kalian sangat lelah. Sedangkan saya, hanya duduk seharian menemani Sassi. Untuk masalah itu, kita bisa pikirkan besok!" ucap Abdi tegas.

 

Banyak hal yang mulai mengusik Abdi. Dari keadaan Sassi dan juga keanehan sikap Ganendra. Mulai saat ini hanya dirinya yang akan menjaga Sassi karena sekarang tak ada yang bisa mereka percaya.

 

________________

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status