Setelah bertengkar hebat untuk yang pertama kalinya, mereka jadi lebih banyak diam tapi saling berdekatan. Bahkan, mereka saling berpelukan di kasur sejak pertengkaran itu berakhir. Berkali-kali Alby mencium pucuk kepala Shafa dengan rasa bersalah yang masih dia rasakan.
"Maafin aku, ya, Shaf?""Iya, Mas. Udah, enggak usah minta maaf terus. Aku capek jawabnya.""Sebagai permintaan maaf aku yang terakhir, gimana kalau malam ini kita jalan-jalan?""Aku mau di rumah aja, Mas.""Katanya kamu mau jalan-jalan?""Enggak sekarang.""Terus kamu mau apa?"Tiba-tiba Shafa menangis. Tentu saja Alby terkejut. "Kenapa nangis? Tangan kamu sakit, ya?""Maafin aku, ya, Mas? Aku belum bisa kasih kamu anak lagi."Anak adalah karunia terbesar yang Tuhan berikan. Tuhan pasti memberikannya. Hanya saja kita tidak tau kapan waktunya, waktu terbaik menurut Tuhan. Sejujurnya, Alby memang sangat menantikan seorang anak s"Shafa!"Suara itu asalnya dari luar rumah. Saat berdiri, Shafa melihat seorang pria di depan pagar rumahnya dengan mengendarai sepeda. "Kevin?""Aku pikir, aku salah orang. Ternyata kamu beneran tinggal di sini?"Shafa mendekati pria itu. "Kamu ngapain di sini?""Rumah aku di komplek sebelah. Baru pindah beberapa hari lalu.""Oh, gitu. Yaudah, aku masuk dulu." Dengan spontan, Shafa menepis tangan Kevin yang mencoba menariknya. "Kevin, aku minta maaf sebelumnya. Aku udah menikah dan sekarang tinggal di sini bareng suami aku. Aku enggak bermaksud apa-apa, kok. Maaf, ya?""Iya, aku udah tau dari Jihan. Tapi kamu mau, 'kan, jadi teman aku? Setidaknya kita berteman, Shaf.""Iya, boleh.""Awalnya, aku seneng karena bisa ketemu kamu lagi. Tau-tau, Jihan bilang kamu udah nikah. Jadi pupus lagi harapan aku. Tapi, aku seneng bisa kenalan sama kamu secara langsung. Enggak diam-diam kayak dulu.""Maaf, k-kamu udah
Perempuan cantik yang dia kenal, terlihat sangat lusuh dan penuh luka di wajah dan tubuhnya. Kevin tidak bisa melihat Shafa lebih dekat karena ada Alby disamping wanita itu. Padahal dalam hati, dia ingin sekali memeluk Shafa. Iya, sebenarnya dia masih mencintai Shafa, cinta pertamanya."Kalau ada yang sakit, kasih tau aku, ya? Biar aku panggil dokter," seru Alby dengan tangan yang terus menggenggam jari Shafa penuh kelembutan."Mas, mama kamu gimana sekarang?" Suara Shafa terdengar sangat serak karena terus berteriak semalaman."Udah ditangani polisi. Dia pasti bakal dipenjara karena apa yang dia lakukan itu udah kriminal banget. Dia juga terancam pidana percobaan pembunuhan karena memaksa kamu untuk aborsi.""Sejahat apapun, dia tetap mama kamu. Dia udah dapat balasan dari apa yang dia lakukan. Jadi, kamu harus bisa maafin dia, ya?"Apa yang Shafa katakan, membuat Kevin semakin jatuh cinta. Dia tidak pernah mengenal Shafa lebih dekat, ha
Rendi langsung pergi ke Jakarta setelah mendapat kabar tentang Shafa. Setelah kehilangan Sonya, Rendi jadi sangat sensitif pada keadaan Shafa. Dia tidak mau kehilangan sahabatnya lagi."Aku bener-bener panik banget, Shaf. Tapi syukurlah kamu baik-baik aja.""Kamu enggak ajak Jasmin ke sini?""Nanti aku ceritain semuanya kalau kamu udah sembuh.""Ada apa, Ren? Rumah tangga kalian baik-baik aja, 'kan?""Makannya kamu cepet sembuh. Biar aku bisa ceritain semuanya."Mereka akhirnya dapat mengobrol lagi setelah sekian lama. Hanya membicarakan hal yang tidak membuat Shafa drop. Tapi, Shafa malah memulainya disaat mereka tidak ada lagi bahan obrolan."Kak Galih mana?" tanya Shafa."Tadi pas aku dateng, dia lagi di luar. Terus bilang katanya mau pulang dulu. Kenapa?""Aku mau ceritain soal Mas Alby. Tapi, jangan ada yang tau selain kamu, ya?""Kenapa lagi? Dia nyakitin kamu lagi?!" Benar, 'kan? Rendi jadi lebih sensitif tentang hal yang berkemungkinan membuat Shafa tersakiti. "Ren, tenang dul
Kevin adalah mahasiswa semester 3 Fakultas Teknik di salah satu universitas swasta. Setelah lulus SMA, dia langsung bekerja agar dapat kuliah. Dia bekerja sebagai barista sampai saat itu.Hari itu tidak ada jam kuliah pagi. Jadi, Kevin memutuskan untuk menjenguk Shafa dengan membawa buah-buahan yang dia beli semalam. Berkat Jihan, dia jadi tau banyak hal tentang Shafa.Sebenarnya, dari luar ruangan tidak terdengar suara siapapun. Namun saat membuka pintu, ada seorang pria yang menemani Shafa. "Permisi? Aku boleh masuk, Shaf?""Iya, masuk aja. Ada apa kamu pagi-pagi banget udah ke sini?" tanya Shafa yang bersandar di ranjangnya."Kevin?""Loh, Rendi?"Ternyata, Kevin dan Rendi adalah teman satu tongkrongan sewaktu SMA. Mereka sangat akrab saat itu dan mulai hilang komunikasi setelah lulus SMA karena Rendi pindah ke Malang."Kamu kenal sama Kevin, Shaf?" tanya Rendi."Iya, dikenalin sama Jihan. Baru beberapa hari
"Kak Dinda salah. Buktinya, aku masih sangat mencintai Shafa walaupun berkali-kali Shafa terluka karena aku. Ini nyata, aku beneran cinta sama Shafa. Aku sadar sama semua kesalahan aku dan aku coba perbaiki itu. Tapi, semuanya udah terlanjur, 'kan, Shaf? Kamu udah terlanjur enggak percaya lagi sama aku, 'kan?"Cengengnya Shafa kembali terlihat. Dia merasa kasihan pada Alby entah apa alasannya. "Mas, anggap kamu enggak dengar apa-apa, ya? Lupain semua yang kamu dengar tadi.""Aku seneng tanpa sengaja bisa tau isi hati kamu yang sebenernya, yang enggak akan pernah kamu ceritain ke aku. Tapi tolong, Shaf. Untuk yang terakhir kali, tolong percaya lagi sama aku. Aku udah berusaha untuk jujur sama kamu, untuk bisa bahagiain kamu, dan berusaha untuk enggak menyakiti kamu lagi."Dinda menarik tangan Alby untuk mendekat pada Shafa, setelahnya dia keluar meninggalkan pasutri itu untuk menyelesaikan masalahnya. Alby yang biasanya selalu menyentuh Shafa dengan lembut bahkan tanpa izin, saat itu se
"Sayang, kamu yakin mau pergi sekarang? Udah enggak sakit kakinya kalau dibuat jalan?" Alby mengelus kaki Shafa dengan sedikit pijatan."Enggak, Mas. Udah enakan badan aku. Pokoknya kita harus pergi sekarang."Alby memperlihatkan rasa sayangnya pada sang istri. Beberapa kali tangan kirinya mencium tangan Shafa juga membelai rambut panjang sang istri. Setelah orang tuanya pergi, hanya Alby yang membuatnya merasa sangat dicintai. Tapi, sampai kapan perasaan itu akan Shafa rasakan?Sebuah pemakaman umum yang sangat luas itu adalah rumah terakhir Yunus dan Fatim. Pasti mereka sangat bahagia melihat anak dan menantunya datang setelah sekian lama. Dibantu Alby, Shafa duduk di antara makam ayah dan ibunya."Maafin aku karena enggak bisa bahagiakan Shafa. Aku udah terlalu sering nyakitin Shafa. Aku minta maaf, Ayah, Ibu. Tapi aku janji akan perbaiki semua kesalahan aku selama ini. Aku akan berusaha untuk mencintai dan membahagiakan Shafa. Aku janji."Apa ucapannya itu sungguhan? Itu yang menj
Tidak ada bosannya memuji betapa cantik wanita dihadapannya. Namun, Shafa tetap saja merasa tidak pantas dimiliki Alby. Padahal Alby yang seharusnya merasa begitu karena Shafa lebih pantas bersanding dengan pria yang jauh lebih baik darinya."Aku emang bukan pria yang baik, tapi aku akan berusaha jadi yang terbaik buat kamu untuk menebus semua kesalahan aku," ucap Alby pada Shafa yang tertidur pulas.Alby beranjak dari ranjang dan memakai pakaiannya. Melihat pintunya sedikit terbuka, "Loh, dari tadi pintunya enggak dikunci, ya?"Kaki jenjangnya menuruni dua anak tangga sekaligus. Belum sampai di lantai dasar, langkah Alby terhenti kala mendengar keributan di ruang tengah. "Ada apaan, sih?""Saya masih tau diri. Enggak kayak kamu. Udah tau Alby punya istri, masih aja di deketin.""Ada juga kamu. Udah tau Shafa punya suami, masih aja ikut campur urusan rumah tangga mereka. Kamu suka, 'kan, sama Shafa?"Suara Rendi dan Siska dapat Alby kenali. Dia bersembunyi dibalik dinding dan diam-dia
5 bulan berlalu. Shafa belum terbiasa dengan kehamilannya. Dia sering merasa pusing, mual, emosi yang tidak stabil, dan lain-lain. Karena Shafa sulit tidur, Alby jadi mengikutinya untuk menemaninya. Kalau dihitung, mereka tidur kurang dari 8 jam. Apalagi pagi itu Alby harus pergi ke kampus dan siangnya pergi mengajar sampai sore."Jangan ke mana-mana, ya? Kalau ada apa-apa, langsung kasih tau aku.""Iya, Mas. Bosen aku denger kamu ngomong gitu terus. Sampai hapal aku."Alby tersenyum kemudian mencium kening, pipi, dan terakhir bibir sang istri. "Mau aku beliin apa?""Eum ... cimol sama roti bakar rasa blueberry.""Siap! Nanti aku beliin."Selama di jalan, Alby merasa seperti diikuti sebuah mobil sampai ke kampusnya. Mereka sama-sama keluar dari mobil dan ternyata itu Siska. Wanita itu yang mengikuti Alby sejak keluar dari komplek perumahannya."Alby!" Siska berlari mengejarnya, tapi Alby menghindarinya. "Al, tunggu sebentar." Tangannya menarik Alby dan menggenggamnya erat.Spontan Alb