Share

Suamiku Bocil Tajir
Suamiku Bocil Tajir
Penulis: fitosyin

Mendadak Dilamar Bocil

"Atika, Papa akan menikahkanmu dengan pria pilihan Papa dan Mami. Sekarang dia dalam perjalanan ke sini untuk melamarmu."

Niat hati ingin menyapa ayahnya yang terbaring lemah karena stroke yang melanda tubuhnya, Atika justru dikejutkan dengan ucapan yang tak pernah disangka olehnya.

Mencoba meredam rasa terkejutnya, Atika menghampiri ayahnya, dan duduk di sampingnya. Tangan wanita itu sigap menyentuh tangan sang ayah, dan memijatnya dengan halus.

"Pa, Tika tahu, kalau Papa kepikiran sama umur Tika yang udah gak muda lagi, tapi, ini terlalu cepat dan tiba-tiba. Tika perlu mengenal pria itu lebih dulu, Pa." ucap Tika, menatap sosok ayahnya dengan sendu. 

"Jangan khawatir, pria itu orang baik-baik. Mami dan ibunya dulu sahabat dekat, jadi kamu gak perlu khawatir dengan asal-usul keluarganya," kata ayahnya berusaha menenangkan.

Tetapi yang terjadi sebaliknya. Atika justru semakin tak tenang mengetahui bahwa calon suami pilihan ayahnya adalah anak dari sahabat Mami Anyelir.

Atika pernah membayangkan bahwa pernikahan adalah salah satu pintu gerbang kebebasannya dari neraka yang dibuat Mami Anyelir dan Cindy, ibu dan adik tirinya. Karena itu pulalah dulu Atika mengerahkan seluruh upaya untuk memperjuangkan hubungannya dengan Daffa, mantannya. Tetapi saat Daffa mengecewakannya, Atika tak pernah berani berkhayal lagi tentang pernikahan.

 Mendengar calon suaminya kini adalah orangnya Mami Anyelir, Atika sudah dapat membayangkan ia hanya akan keluar dari mulut harimau untuk kemudian masuk ke dalam lubang buaya.

“Pa, Tika masih ingin merawat Papa sampai sembuh dulu, baru setelah itu Atika berani memikirkan masalah pernikahan,” kilah Atika.

“Papa sudah empat tahun melakukan segalanya di atas tempat tidur, mau tunggu berapa lama lagi? Keburu tambah banyak usiamu, Nak.”

Belum sempat Atika memikirkan bagaimana caranya untuk menolak atau menunda rencana ayahnya dan Mami Anyelir, pintu kamar tiba-tiba terbuka memperlihatkan Mami Anyelir dengan wajah masamnya.

"Elang sudah datang, dia menunggu kamu dan Papa di ruang tamu."

***

"Duduk, Lang. Jangan berdiri di depan pintu gitu, norak!" ucap Mami Anyelir tanpa perasaan. 

"Iya, Bulik." 

"Jangan panggil Bulik! Dari dulu aku gak suka panggilan yang ibumu kasih, kami cuma temenan tok. Bukan saudara. Panggil Bu Anyelir saja!" 

"Nggeh, Bu." 

Atika menonton adegan tadi dari celah pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Demi apapun, Atika tidak akan pernah siap menikah dengan pria bernama Elang Sukma itu. Elang memang tampan. Tidak, kata yang tepat adalah teramat sangat tampan. Walau hanya mengenakan kaos putih polos yang dipadukan dengan jeans belel, serta tas ransel yang diselempang asal tak memudarkan ketampanan pria yang detik ini masih berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu.

Tetapi ada dua hal besar yang menghalangi Atika untuk menerima perjodohan ini. Pertama, jelas Atika belum mengenal bagaimana karakter Elang, Atika tak mau pernikahannya malah menjadi ajang perjudian hidup dan mati. 

Kedua, Elang tampaknya berusia jauh lebih muda dibanding Atika. Kemungkinan besar Elang masih berada di usia pertengahan dua puluh tahun. Atika tak ingin mengulang kisah cinta yang sama, dimana Atika hanya menjadi perpanjangan sosok ibu bagi pria itu. 

"Mi, bawa Elang ke kamar Papa saja!" teriakan ayahnya menghentak kesadaran Atika untuk beringsut menuju dapur, membuatkan minuman bagi tamunya, alasan yang Atika buat agar tak perlu segera menemui Elang. 

"Ini Atika, putri sulung Om Burhan, Lang," kata ayahnya ketika Atika selesai menaruh secangkir teh hangat di atas meja lampu di samping tempat tidur. 

"Iya, Om. Saya sudah lihat fotonya yang dikirim Bu Anyelir minggu lalu." 

Atika diam membisu, tetap menatap ujung jari kakinya tak berani mengangkat wajah. Namun, Atika dapat merasakan tatapan intens Elang untuknya. Atika membenci wajahnya yang memerah malu, ia juga mengutuk detak jantungnya yang tiba-tiba bertalu kencang. 

"Ingat, Tika! Elang masih bocah! Meskipun Papa mengatakan pria ini calon suamimu, tetap saja Elang seorang anak kecil!" bisik Atika dalam hati.

Atika berulang kali mengingatkan dirinya sendiri untuk tak lupa diri hanya karena terpesona ketampanan Elang. 

"Tika! Baju biru gue di mana? Kan tadi pagi udah gue suruh Lo ambil dari laundry!" Cindy, adik tirinya yang telah terbiasa menyuruh-nyuruhnya, tiba-tiba muncul sambil berteriak-teriak seperti ibu hamil yang sedang kontraksi, tetapi mulutnya berhenti berbunyi ketika menangkap sosok tampan di kamar ayahnya itu. 

"Sial!" umpat Cindy, perempuan itu sontak berubah anggun dan merapikan rambutnya yang seperti sarang burung karena baru bangun tidur. "Hai tampan, aku Cindy, selebgram dan BA klinBeee. Kamu siapa?" 

Mami Anyelir segera menepis uluran tangan Cindy dan untuk pertama kalinya membeliak tajam pada putrinya itu. "Dia Elang, kamu gak usah ikut campur, karena dia udah dijodohin sama Atika!" 

Entah kenapa wajah Cindy tiba-tiba berubah, ekspresi bersahabat di wajahnya pun hilang seketika digantikan tatapan dingin, sama persis dengan tatapan yang Mami Anyelir berikan untuk Elang. 

"Ah, kalau gitu lebih baik aku gak di sini. Tika, setelah ini bawa baju biru gue ke kamar. Awas kalo lupa!" ancam Cindy lalu melenggang pergi keluar dari kamar Papa. 

"Maafkan kelakuan anak bungsu Om, dia memang kekanak-kanakkan," ujar Papa selepas Cindy menghilang. 

"Iya, Om. Saya mengerti." 

"Kamu pasti lelah, ya. Perjalanan dari Banyuwangi ke Bandung bukan main-main. Tapi Om minta maaf, bukannya membiarkanmu istirahat dulu, malah memintamu langsung datang." kata ayahnya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, pria itu lalu menepuk ruang kosong di samping tempat tidurnya meminta Elang untuk duduk di sana, dan berkata, "Om ingin segera melihat kalian berdua sah jadi suami istri. Om ingin ada yang bisa menjaga Atika sebelum Om pergi untuk selama-lamanya. Om harap, kamu gak keberatan, ya Lang."

"Tidak Om, saya sama sekali tidak keberatan. Keinginan Om sejalan dengan keinginan almarhum ibu, yang ingin menepatinya janjinya dulu dengan Bu Anyelir." 

"Syukurlah. Untuk berkas-berkasnya sudah kamu siapkan?"

"Sudah Om. Semua sudah selesai, tadi siang saya juga dapat kabar berkas Atika sudah hampir selesai."

Atika akhirnya mengangkat kepala dan memandang heran pada Elang, ia sudah membuka mulutnya hendak menanyakan berkas apa yang pria itu maksud? Tetapi ayahnya sigap mengangkat tangan meminta Atika tetap diam. 

"Bagus kalau begitu. Sesuai pembicaraan kita sebelumnya, besok kita laksanakan akadnya dulu saja, ya. Resepsinya kita adakan setelah semua urusan pemberkasan selesai. Malam ini, kamu tidur di kamar sebelah, itu kamar tamu. Pasti kamu sudah sangat ingin beristirahat, kan. " 

"Tunggu, berapa usia Elang?" tanya Atika tiba-tiba, ketika Elang sudah berdiri dan bersiap meninggalkan kamar Papa. Diantara banyak pertanyaan entah kenapa hanya pertanyaan tentang usia yang meluncur keluar dari mulut Atika. 

"Apa pentingnya usia Elang sekarang, Tika? Berapapun usianya, yang terpenting Elang pria baik-baik dan bertanggung jawab, buktinya ia datang sesuai janji. Asal-usulnya juga sudah jelas, Elang putra dari sahabat Mami sejak kecil. Tidak ada yang perlu ditanyakan lagi!" hardik Mami Anyelir kesal, lalu perempuan itu melanjutkan dalam bisikan tapi cukup jelas terdengar di telinga Atika, "Harusnya kamu bersyukur, masih ada yang mau menikahi perawan tua seperti kamu. Lha kok masih pilah-pilih!" 

"Saya tahun ini berusia dua puluh enam tahun, Atika," ujar Elang, masih dengan tatapan mengunci Atika.

"Dua puluh enam?" Atika membeo dan mulai menghitung dalam hati, selisih usia mereka sebelas tahun! Bukan jumlah yang main-main. Itu artinya ketika Atika mendapatkan menstruasi pertamanya, bocah di depannya ini baru lahir, dan saat Atika masuk universitas, Elang masih asyik bernyanyi sambil bermain di taman kanak-kanak. Seketika bulu kuduk Atika meremang, membayangkan pria yang sebelas tahun lebih muda ini akan menjadi imam hidupnya kelak. 

"Saya tahu, perbedaan usia kita pasti mengejutkan buat Atika. Tetapi, umur hanyalah angka. Sudah sejak lama saya tahu kita akan berjodoh, karena itu saya sudah mempersiapkan diri untuk menjadi imam yang baik untuk Atika." 

Elang menaruh tas ranselnya di lantai lalu merogoh sesuatu dari dalamnya. Sebuah kotak berlapis kain beludru berwarna merah maroon. Dengan cepat Elang berlutut dan mengangsurkan kotak yang telah terbuka ke hadapan Atika. 

"Atika, ijinkan saya meminangmu dengan sebuah cincin sederhana ini. Malam ini, di depan Om Burhan dan Bu Anyelir, saya memintamu untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita kelak. Kehidupan pernikahan kita kelak mungkin tidak selamanya indah dan menyenangkan, tapi saya berjanji tidak akan pernah membiarkanmu, Atika berjuang sendirian." 

Nafas Atika tercekat, tak pernah sekalipun perempuan itu bermimpi akan mengalami adegan klise ala roman picisan seperti ini. Apalagi, dilakukan oleh pria muda yang baru sekali ini ditemuinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status