"Iya gitu, Bu. Kami sih dari pihak keluarga bisa apa? Untung saja Sania mau membantu kami untuk mempertahankan nama baik keluarga."
Bu Halimah yang pagi itu masih berada di rumah keluarga Dinar, tiba-tiba membeberkan alasan kenapa mempelai wanita di ganti di hari resepsi dan akad."Wah. Gak bersyukur banget sih itu si Dinar. Udah dapet laki-laki yang bermasa depan bagus kayak Danu, eh malah selingkuh."Satu persatu ibu-ibu yang tengah menunggu tukang sayur termakan cerita itu."Iya. Untung ada Sania."Skenario yang di bangun Bu Halimah berjalan mulus. Tak ada warga yang tidak percaya dengan congornya."Emang cocok Sania sama Danu. Sama-sama kerja di pemerintahan terus sama-sama kuliah juga. Cocok deh pokoknya.""Jadi itu si Dinar kepincut sama kakaknya Danu yang kerja jadi tukang parkir?""Bodoh banget ya jadi perempuan."Dinar menatap orang-orang yang membicarakan dirinya dari celah kaca dalam rumah. Dengan cukup jelas ucapan mereka terdengar di telinganya.Ia sudah tidak sanggup lagi mendengar orang-orang mengata-ngatai dirinya atas hal yang tidak ia lakukan.Bak keluarganya bersatu untuk melimpahkan segala kesalahan pada Dinar yang jelas-jelas tidak salah apa-apa.Dinar tidak akan mau dizolimi seperti ini. Ia tidak terima. Di saat ia yang harus berkorban untuk pernikahan, apa ia juga yakin harus di korbankan untuk menutupi aib pernikahan adiknya?Setelah ia di sakiti, dan sekarang orang-orang malah menghina dirinya."Tunggu!""Jangan keluar, Dinar."Tangan Dinar di cekal. Ia menoleh lalu mencoba melepaskan tangannya."Ikut saya."Dinar di tarik ke belakang. Ia membawa Dinar masuk ke dalam kamar gadis itu."Lepas! Kamu mau apain saya?!" sentak Dinar memberontak.Namun tenaga lelaki di depannya ini tidak main-main kuat. Ia mendorong Dinar masuk dan mengunci pintu itu dari dalam."Kamu mau apa?!" teriak Dinar yang langsung dibekap orang lelaki itu."Saya ingin bicara baik-baik," bisiknya.Ia berusaha menenangkan Dinar lalu memintanya duduk di sisi ranjang agar mereka bisa bicara."Sebelumnya kamu tau nama saya Yuda kan?"Dinar mengangguk dengan wajah tak bersahabat.Lelaki itu tersenyum tipis. "Saya bisa memahami rasa sakit kamu," ucapnya mencoba memulai pendekatan.Semua agar Dinar mau mendengarkan dirinya terlebih dahulu."Saya juga pernah merasakan sakit itu. Jadi, saya ingin kamu dengarkan saya."Dinar menjaga jarak pada pria itu dengan terus waspada. Ia tidak tau mau pria ini apa. Sejak tiga hari lalu selalu ada di rumah ini."Seperti kamu, saya juga tidak kuliah. Saya cuma jadi tukang parkir saat merantau di Bali." Yuda mulai bercerita."Bu Halimah adalah ibu tiri saya. Bisa di bilang dia merebut papa saat mama saya sakit dulu. Saya pernah di posisi seperti kamu Dinar.""Pernah gagal nikah?""Bukan." Yuda tertawa pelan. "Pernah di kambing hitamkan."Dinar terdiam."Dinar. Ayo kita sama-sama balas perbuatan mereka dengan cara halus," ajak Yuda.****"Pertama. Ayo terima aturan mereka untuk kita berdua menikah.""Kenapa? Aku tidak mau lagi menikah! Lagian kita tidak saling kenal!""Kamu mau membalas mereka atau tidak?""Ma-mau... Tapi....""Kalau kamu tidak menikah dengan saya, kamu mau tinggal di mana? Kalau kamu nikah sama saya, seenggaknya kita masih bisa tinggal di rumah orang tua kamu."Dinar menghela nafas saat membiarkannya Yuda menerangkan kalau mereka setuju untuk menikah. Rencana yang tadi pagi di utarakan Yuda, kini mulai di jalankan.Hanya berjarak dua jam setelah keputusan keduanya untuk menikah seperti rencana keluarga."Tapi kami tetap tinggal di sini," ujar Yuda."Loh. Kamu gak kerja dong kalau tinggal di sini," celetuk Bu Halimah.Dinar memutar bola mata melihat perempuan itu masih di rumahnya. Entah kapan dia akan pulang. Betah sekali ngejogrok di rumah orangtuanya."Nanti saya izin cuti," balas Yuda singkat."Gaya banget kamu tukang parkir cuti!""Mama mau saya dan Dinar menikahkan? Kalau mama mau begitu, maka terima juga kalau kami ingin di sini sementara waktu."Dengan decakan kesal Bu Halimah menyetujui hal itu. Lagi-lagi tidak peduli kalau yang punya rumah setuju atau tidak.Dan anehnya, orang tuanya iya-iya saja juga dengan keputusan Bu Halimah. Seolah titah Bu Halimah adalah keputusan mutlak yang tidak bisa di tawar."Tapi, Nak. Nanti kamu di hujat orang-orang kalau masih tinggal di sini," ujar ibu Dinar yang menatap putrinya iba.Masih ada ternyata rasa kasian di mata ibunya itu setelah berbuat sesuka hati menyakiti dirinya."Tak apa, Bu. Dinar terima," ujar Dinar lalu melirik Yuda yang tersenyum simpul.Semua pria itu yang atur. Walau Dinar sempat bimbang, tapi dia tidak punya rencana apa-apa untuk ke depannya. Bahkan pikiran Dinar sangat sempit hingga yang ada di kepalanya hanya pergi, lenyap begitu saja dari muka bumi ini.****"Aku gak mau satu kasur!" tegas Dinar.Malam ini mereka sudah sah sebagai suami isteri setelah akad nikah sangat sederhana di KUA tadi pagi.Entah kurang malang apalagi dirinya. Kemarin pernikahan yang diperuntukkan untuknya, di rampas oleh Sania. Sekarang, dirinya malah menikah dengan lelaki asing yang tidak begitu dikenalnya, dan hanya di KUA. Hanya dua hari setelahnya.Jangan tanyakan gaun pernikahan, seserahan pernikahan saja tidak ada. Bahkan mahar hanya berupa uang 100 ribu. Hanya sekedar syarat sah pernikahan."Ya udah. Nanti aku tidur di bawah," balas Yuda tanpa banyak protes.Pria itu pamit ke masjid setelah terdengar panggilan akan dilaksakannya sholat Maghrib.Lengkap dengan baju koko dan sarung sederhana, pria itu keluar. Berpapasan dengan bapak Hadi yang juga hendak ke masjid."Bareng ke masjidnya, Pak?" tawar Yuda dengan sopan."Saya bareng Danu nanti, Yuda.""Oh, ya sudah. Saya duluan, Pak."Yuda pamit tanpa banyak bicara. Sementara di dalam kamar Dinar mencebik dengan respon bapaknya yang tidak mau berangkat bersama Yuda.Kenapa sih kedua orang tuanya punya penilaian sesempit itu? Bahwa hanya orang yang berkesempatan jadi PNS saja yang punya masa depan.Iya berani bertaruh sebenarnya Bapak tidak mau pergi ke masjid bersama Yuda, karena tidak ada yang bisa di banggakan dari menantunya yang satu itu. Beda dengan Danu yang bisa ia serukan sebagai menantu kesayangan.****Dinar berbaring di atas tempat tidur. Hatinya masih sakit dan kini hadir pula perasaan risau setelah mengambil keputusan menikah dengan Yuda. Lelaki yang tidak ia kenal.Betapa bodoh ia. Kenapa kemarin menerima begitu saja tawaran Yuda tanpa berfikir ulang lagi.Dinar baru menyadari kegilaannya ini setelah semua sudah terjadi.Mungkinkah rasa sakit yang ia terima membuat otaknya jadi berfikiran pendek?Tapi kalau tidak menikah dengan Yuda, mungkin ia sudah di usir dari rumah ini sekarang."Belum tidur?"Yuda muncul di balik pintu kamar. Ia sudah bertukar pakaian dengan kaos lusuh dan celana pendek."Belum," balas Dinar pendek.Lelaki itu kemudian mengambil tempat di lantai samping ranjang lalu menggelar sarung yang ia gunakan untuk sholat tadi.Tanpa banyak bicara ia berbaring menghadap ke atas."Kok gak pakai bantal?" tanya Dinar yang tadi sudah menyiapkan tikar dan bantal untuk Yuda."Gak apa. Saya biasa kayak gini," balas Yuda.Dinar menggeleng. Ia mengambil bantal dan selimut tebal yang masih ada satu lagi di dalam lemari."Nanti kamu sakit," kata Dinar sambil memberikan bantal dan selimut pada pria itu.Yuda tersenyum. "Terima kasih perhatiannya," katanya.Dinar mencebikan bibir dengan respon berlebihan Yuda. Dirinya melakukan itu padahal hanya karena kasihan saja.Bersambung. . . .cuplikan:Dinar berbaring di atas tempat tidur. Hatinya masih sakit dan kini hadir pula perasaan risau setelah mengambil keputusan menikah dengan Yuda. Lelaki yang tidak ia kenal.Betapa bodoh ia. Kenapa kemarin menerima begitu saja tawaran Yuda tanpa berfikir ulang lagi.Dinar baru menyadari kegilaannya ini setelah semua sudah terjadi.Mungkinkah rasa sakit yang ia terima membuat otaknya jadi berfikiran pendek?Tapi kalau tidak menikah dengan Yuda, mungkin ia sudah di usir dari rumah ini sekarang."Belum tidur?"Yuda muncul di balik pintu kamar. Ia sudah bertukar pakaian dengan kaos lusuh dan celana pendek. "Belum," balas Dinar pendek.Lelaki itu kemudian mengambil tempat di lantai samping ranjang lalu menggelar sarung yang ia gunakan untuk sholat tadi.Tanpa banyak bicara ia berbaring menghadap ke atas."Kok gak pakai bantal?" tanya Dinar yang tadi sudah menyiapkan tikar dan bantal untuk Yuda."Gak apa. Saya biasa kayak gini," balas Yuda.Dinar menggeleng. Ia mengambil bantal dan s
Apa Yuda memang sengaja?Mungkin itu suruhan dari Bu Halimah. Dan Yuda menikahinya lagi-lagi karena untuk membuat orang-orang percaya kalau Dinar telah berselingkuh. Jadi orang-orang akan percaya kalau Danu dan Sania tidak salah menikah. Pikiran buruk demi pikiran buruk melintas di kepala Dinar. Rasa sakit kian menumpuk di hatinya.Pintu kamar terbuka setelah lebih dari dua jam ia terdiam setelah puas menangis."Kenapa kamu nangis, Nak?" tanya Bu Tiara."Gak apa-apa, Bu," balas Dinar lemah Tanpa banyak bertanya lagi, sang ibu memperlihatkan sesuatu padanya."Ini daftar belanjaan yang habis di dapur. Kasih tahu suami kamu ya? Usahakan biar bisa di beli."Dinar melihat list bahan dapur itu."Banyak sekali, Bu? Ini mas Yuda semua yang harus beli?" Gila sih ini. Mana mungkin Yuda punya uang sebanyak ini, pikir Dinar."Iya. Usahakan ya."Sang ibu beranjak pergi tanpa perduli perasaan putrinya itu.Kekalutan makin kental ia rasakan. Dinar rasanya mau pingsan saja.****"Assalamualaikum"
"Wih, belanjaan banyak nih," komentar Dinar saat melihat sang ibu masuk membawa begitu banyak belanjaan untuk dapur. Pertama kalinya sang ibu terlihat sangat senang karena kebutuhan dapur lebih melimpah sekarang."Iya. Makasih ya sama Yuda udah kasih uang buat belanja bulanan. Uang dari bapak bisa ibu tabung jadinya," balas Bu Tiara dengan wajah sumberingah.Jujur sebenarnya Dinar tidak suka dengan sikap keduanya orang tuanya. Apa ia dan Yuda hanya di jadikan alat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Tapi, memang pada awalnya ia dan Yuda juga yang ingin tinggal di rumah ini."Bu. Minta uang dong. Sania ngidam pengen makan pizza nih." Tiba-tiba Sania pulang. Tampak pakaian dinas yang sangat di agung-agungkannya itu masih melekat."Kamu ngidam ya?" tanya Bu Tiara."Iya nih, Bu. Kepengen makan pizza."Sok banget ngidamnya. Dinar mencelos dalam hati mendengar pengutaraan sang adik. Masih terasa di hatinya sakit akibat tikaman tak kasat mata dari Sania.Apalagi masih banyak suara sumb
Dinar menatap uang yang kemarin di berikan Yuda padanya. Cukup lama ia terdiam dengan pikiran berkecamuk."Orang sekarang tidak melihat benar atau tidak perbuatan seseorang. Kebanyakan orang melihat kekayaan yang dimiliki orang tersebut, melalui apa yang ia punya saat ini." Begitulah kata Yuda kemarin. Dinar dalam keadaan bimbang. Apa ia pakai saja uang ini untuk membeli pakaian baru?Tapi, apa halal uang yang Yuda berikan padanya? Pria itu bahkan enggan mengakui dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Ia terus bilang kalau itu hasil ia markir. Orang bodoh mana yang mau percaya?Dinar memasukkan uang itu ke dalam dompet lagi. Sepertinya ia perlu berfikir panjang sebelum menggunakan uang itu.Setelahnya ia pergi ke dapur saja untuk memasak."Kalian serasi banget.""Iya. Semoga masa depan kalian cerah."Netra Dinar menangkap kedatangan orang tua Danu. Mereka sedang memuji pasangan yang dianggap serasi itu.Keduanya sama-sama menggunakan baju dinas, sepertinya baru pulang kerja. Bu Halim
"Wah cantik bener, Dinar. Tampilannya modis," puji Bu-ibu di tukang sayur."Bisa aja ibu," balas Dinar sambil memilih sayur. Hari ini ia sengaja ingin beli sayur demi memperlihatkan kalau ia bahagia. Sekarang dirinya jadi lebih setuju untuk tidak menepis, tapi membuktikan."Jangan terlalu maksa, Dinar. Kasian suami kamu yang tukang parkir itu. Dia pasti ngutang tuh buat bikin kamu tampil secantik ini," nyinyir salah atau ibu."Jangan souzon, Bu. Siapa tau memang suami Dinar mampu," bela salah satunya"Kalau mampu di mampu-mampuin sih ya namanya maksa. Nanti juga di tagih hutang sama koperasi."Tak mau ambil pusing, Dinar langsung membayar belanjaannya. Ia harus sabar. Semua butuh proses. Buktinya sekarang ada beberapa orang yang tidak merendahkan dirinya lagi berkat tampil lebih cantik."Berapa, Mang?""30 ribu, Neng."Uang merah melayang ke depan tukang sayur."Wah, kembaliannya belum ada ini
Tatapan sinis tak luput Dinar dapatkan saat keluar dari kamar ke esokan paginya."Makanya jangan sok! Udah ketahuankan belangnya?" sindir Sania.Dinar memilih mengindahkan. Nakun matanya justru menangkap sosok manusia menyebalkan. Nasib buruk sekali rasanya melihat Bu Halimah sudah ada di rumahnya sepagi ini. "Kamu bikin ibu malu lagi Dinar. Untung ada Bu Halimah yang menolong," ujar ibunya.Tatapan tajam yang jauh berbeda dari beberapa hari ini. Padahal baru kemarin sang ibu memuji-muji Yuda karena membantu memenuhi kebutuhan dapur."Bilang terima kasih kamu sama keluarga Danu!" perintah bapaknya.Suami Bu Halimah yang tidak lain adalah ayah mertuanya itu berucap, "Dinar. Saya rasa kamu tidak perlu melakukan apapun. Biarkan saja agar tidak memberatkan Yuda." Dahi Dinar mengerut dengan penuturan mertuanya. Aneh. Kenapa jangan melakukan apapun? "Bapak sudah memberikan uang 10 juta yang Bu Asih tuntut. Tapi pih
"Ini, bukti mutasi rekening bank, dan struk pengambilan uang atas nama Yuda Saputra di ATM beberapa hari lalu. Tepat di saat Bu Asih kehilangan uang!"Bulan melampirkan semua bukti yang mematahkan tuduhan."Hanya karena Yuda menyapa Bu asih saat Bu Asih memegang uang 10 juta, bukan berarti Yuda yang mengambil uang itu saat hilang!" tegas Bulan.Ia menatap petinggi polisi yang duduk di hadapannya. "Kepercayaan masyarakat pada kepolisian sedang di uji. Tolong jangan buat kepercayaan masyarakat semakin berkurang, Bapak polisi! Anda menangkap orang yang salah!"Bulan menatap Bu Asih dengan tatapan tajam khas dirinya saat menjadi pengacara."Bu Asih! Ibu telah merusak reputasi Yuda Saputra! Klien saya tidak terima, dan kami akan memberikan tuntutan!" Wajah Bu Asih memucat."Kalau bermain koneksi, saya punya koneksi yang jauh lebih kuat dari pada kamu!" sengit Bulan pada keponakan ibu Asih yang mengenakan pakaian polisi.Berdasarkan analisa Bulan, laporan polisi ini lolos bahkan tanpa bukti
"Habiskan ayamnya," suruh Yuda dengan senyum simpul.Malu-malu Dinar menyambar paket besar ayam krispi yang dipesan Yuda.Lelaki itu paham dirinya sejak tadi melirik potongan ayam yang masih utuh dalam kotak kertas. "Toko emas depan hotel masih buka tuh. Habis makan ke sana ya?" ajak Yuda.Posisi duduk mereka di resto hotel berhadapan dengan sebuah toko emas.Ayam yang baru ia gigit, terdiam beberapa saat di bibir gadis itu. Dinar mengunyah pelan lalu menelan dengan susah payah "Beli emas?" tanya Dinar memastikan "Iyalah."Dinar tercenung beberapa saat. Mungkin kalau Yuda menjelaskan dari mana uang yang ia miliki dengan penjelasan logis, ia akan senang.Ya kali. Perempuan mana yang akan menolak kalau di tawari membeli emas oleh suami sendiri.Hanya saja, situasinya kini berbeda. Semenjak kasus di penjaranya Yuda, walau ini cuma salah tangkap, masih menyisakan kekhawatiran di lubuk hati Dinar