Teresia memegang dadanya yang berdebar dengan begitu kuat saat mobil yang Revo kendarai memasuki halaman hotel yang Arga kirimkan melalui pesan padanya."Kok, gue jadi deg-deg an gini ya?" Teresia mengatur napasnya dan menenangkan debaran jantungnya yang terasa menggila."Kamu hanya gugup aja" Teresia mengangguk, ia sepertinya setuju dengan apa yang Revo katakan."Ayo keluar" Revo membuka pintu mobilnya lebih dulu dan meninggalkan Teresia yang berkerut kening menatap adik iparnya itu."Lo ikut ke dalam?" tanya Teresia turun dari mobilnya dan bertanya pada Revo.Pria itu melebarkan senyumnya dan mengangguk kuat "aku penasaran kejutan apa yang Kakakku buat"Teresia mendengus geli dan berjalan bersisian dengan Revo. Dirinya sendiri pun tengah menebak-nebak apa yang sedang Arga persiapkan untuknya.Mereka bersama-sama menuju resepsionis dan menanyakan di mana kamar Arga. Setelah mendapat lantai berapa dan nomor kamar Arga, Rev
Saat itu adalah saat ajaran baru dimulai.Arga yang terlihat ramah pada semua orang itu sudah menjadi idola sekolah meski saat itu dia baru masuk ke SMA tersebut.Tak hanya pada pria, namun dengan wanita Arga pun terlihat sangat ramah dan banyak yang salah paham padanya jika menganggap Arga memberikan perhatian lebih.Padahal itu adalah kelebihannya, ia sangat suka berinteraksi dengan orang baru.Banyak yang menyatakan cinta pada Arga saat ia menjadi murid baru di SMA nya tersebut namun dengan sangat sopan Arga tolak, karena ia memegang teguh prinsipnya. Tidak pacaran sampai ia bisa mencari uang sendiri."Hai Arga, Aku Iren. Kita satu kelas, boleh bareng?" Arga yang tengah membaca buku sembari berjalan menuju ke kelasnya itu menoleh ke samping saat mendengar suara perempuan menyapanya."Oh, hai Iren! Ya aku kenal kamu. Silahkan, aku juga mau ke kelas" karena ada seseorang yang berjalan bersamanya, Arga menutup bukunya dan memilih berbicara d
Arga mengerjapkan pelan kedua matanya, ia masih merasakan tubuhnya terasa lumpuh. Melirik sekelilingnya dan ia menyadari bahwa dirinya masih berada di dalam hotel sendiri.Tangisnya perlahan kembali meledak ingin meraung keras pun Arga tidak bisa, tak ada suara yang keluar dari bibirnya, hanya isakan memilukan.Jika bisa, Arga tidak ingin bangun lagi untuk selamanya.Semuanya tidak akan sama lagi. Arga benar-benar sudah hancur, semuanya yang dilakukan selalu berimbas hal buruk padanya.Arga mencoba bangkit namun karena merasakan sengatan rasa sakit di liang anusnya ia kembali terhempas ke atas ranjang. Menyadari satu hal bahwa tubuhnya benar-benar sudah kotor akibat dua pria yang telah memperkosanya itu.Arga meraung keras sebisanya dan mencengkram selimut di bawahnya. Rasanya begitu menyesakkan dan sangat menyakitkan. Tak hanya tubuhnya yang dihancurkan namun juga hidupnya. Semuanya sudah selesai, Arga tidak memiliki
"Kamu sudah lebih tenang?" tanya Revo pada Teresia yang terlihat tak lagi menangis namun wanita itu masih tersengguk akibat tangisnya tadi. Dan kini Teresia juga sudah memakan beberapa makanan ringan yang tadi sempat Revo beli untuknya. "Hmm, sedikit" paraunya dengan suara serak, namun meski dia sudah puas menangis hatinya tetap saja masih terasa sangat sakit. "Jadi kita mau pergi kemana lagi?" tanya Revo karena sedari tadi mereka hanya berkeliling naik mobil tanpa ada tujuan yang ingin disinggahi. "Rumah Asuh Kasih Sayang! Bawa gue ke sana" ujar Teresia mendesahkan napasnya pelan."Kenapa kesana?" Revo berkerut dahinya tak mengerti mengapa harus ke panti asuhan."Gue mau pulang" lirihnya pelan "Gue rindu Ibu" bisik Teresia menambahi dan satu air mata berhasil lolos dari pipinya.Revo mulai mengerti keinginan Teresia, namun jika ia mengantar Teresia ke sana bukan tidak mungkin jika Teresia ingin menjauhinya juga."Kamu yakin?" tanya Revo, dia cukup tau masalalu dan dari mana Tere
"Apa putraku baik-baik saja Dokter?" tanya Ayah Romi dengan perasaan yang masih terasa sangat kacau. "Kita tunggu sampai Arga bangun ya untuk memeriksa seluruh kondisinya, namun dari hasil pemeriksaan dan luka luar yang sudah kami obati. Terjadi pembengkakan akibat benda tumpul yang dimasukan ke dalam anus Arga. Kami sudah memberikan salep dan obat untuk mengurangi rasa sakit dan bengkaknya, semoga saat sadar nanti Arga tidak dalam keadaan gelisah, agar kami bisa melanjutkan pemeriksaan" jelas Dokter Rian, dokter keluarga Anata tersebut menjelaskan panjang lebar pada Ayah Romi yang terisak kembali, bersandar di dinding rumah sakit. "Tenanglah, Arga pasti akan baik-baik saja" desah Dokter Rian yang sudah mendengar kejadian ini dari Ayah Romi. Pria itu ikut sedih atas kejadian yang menimpa Arga. "Arga!" desah Ayah Romi mendudukan dirinya di atas kursi tunggu rumah sakit, hatinya masih tidak terima dan merasa sangat sakit terhadap apa yang sudah Arga lalui. Dokter Rian yang sama ikut
Revo sudah pergi sejak tiga puluh menit lalu, saat pria itu merasa tak enak melihat wajah Teresia yang sedari tadi hanya menunjukan wajah sedihnya. Bahkan Ibu Ros merasa ada yang janggal dengan Teresia, terbukti saat Revo pulang tanpa membawa serta Teresia. Wanita itu memilih tinggal tanpa membawa pakaian atau tas. "Kamu sedang ada masalah sama suami kamu?" tanya Ibu Ros tepat sasaran yang berhasil mengundang air mata Teresia turun dengan begitu lancarnya. Masih teramat sakit untuk mengingat apa yang sudah Arga lakukan padanya. Dia yang sudah menaruh hati pada Arga harus dihancurkan seperti itu. "Aku tidak mau kembali ke rumah itu ..." isak Teresia menundukan wajahnya dan membiarkan air matanya mengalir dengan deras tanpa mau dilihat oleh Ibu Ros yang menatap Teresia dengan pandangan iba. "Aku tidak mau bertemu pria itu Ibu" bisik lirihnya pada Ibu Ros yan mendesah pelan dan mengusap pundak Teresia lembut. Untuk yang kali ini ia tak akan menceramahi Teresia, Ibu Ros akan membiark
"Arga makan ya?" Ayah Romi tak tau harus dengan cara apa lagi untuk membujuk Arga makan. Sejak kemarin saat sadar tubuh Arga seolah hanya raga namun jiwanya entah pergi kemana. Setiap Ayah Romi mengajaknya bicara tak pernah Arga tanggapi, pria itu hanya akan menatap kosong pada jendela kaca di samping ranjang atau menanyakan Teresia apakah wanita itu sudah mengunjunginya atau belum selebihnya pria itu akan diam dan melamun. Tak hanya itu, Arga pun jadi merasa was-was dan takut jika ada orang lain yang akan masuk ke dalam kamar rawatnya selain Dokter Rian yang Arga kenal dan Tenzo yang biasa datang mengunjunginya. Arga yang saat ini duduk di ranjang perawatannya tanpa sinar di matanya itu sungguh tak Ayah Romi kenal. Dia bukan Arganya. Dan hanya menangis yang bisa Ayah Romi lakukan jika melihat Arga yang seolah tak punya sinar kehidupan di matanya itu. "Ayah akan menjemput Teresia, ayah akan membawanya kemari untuk bertemu denganmu" bisik Ayah Romi yang syukurlah berhasil mengamb
"Astagfirullah Tere!" Teresia tersentak kaget saat Ibu Ros memukul punggung tangannya dan menyadarkan Teresia dari lamunannya. "Telurnya gosong" Teresia membuka bibirnya kaget dan dengan segera mematikan kompor dan membawa teflon yang digunakannya untuk menggoreng telur ke atas wastafel dan mencucinya dengan air. Asap yang tiba-tiba muncul membuat Teresia terbatuk dan matanya perih. "Apa yang kamu pikirkan Tere?! Kenapa tidak fokus?" Ibu Ros mengipasi asap hitam yang menguap dari teflon tersebut sembari menutup hidungnya. Teresia menangis sambil menggeleng "maaf Ibu" ujarnya dan mengusap kedua matanya yang berair.Ibu Ros mengerutkan alisnya melihat Teresia justru menangis sembari membasuh teflon di atas wastafel. "Kamu kenapa nangis" tanyanya yang dijawab Teresia dengan gelengan pelan."Asapnya masuk ke mata, pedih" hanya alasan, dan Ibu Ros tau itu. Nyatanya, Teresia masih terus terkurung dalam masa penyembuhan luka hatinya sudah sering Ibu Ros mendapati Teresia yang selalu men