"GUE mau ngomong sesuatu sama lo."
Riri yakin tidak pernah mengenal perempuan ini sebelumnya. Ia sangat yakin, ini pertemuan pertama mereka. Namun, tatapan perempuan itu terlihat begitu mengintimidasi sekaligus membenci Riri secara bersamaan.
"Siapa, ya?"
Jujur saja, Riri takut berhadapan dengan perempuan seperti ini. Sudah tidak jelas kenal darimana, tapi mau nyari gara-gara.
"Bisa bicara di tempat lain?"
Riri mengernyitkan dahi. Tentu saja tidak. Dia tidak sebodoh kelihatannya. Jika ia mengikuti keinginan perempuan itu, apa benar dirinya akan selamat nanti? Tatapan mata perempuan itu terasa ganjil dan Riri bukan perempuan bodoh yang rela memasukkan diri sendiri dalam lubang maut.
"Enggak, soalnya gue ada janji di sini."
Perempuan itu menghela napas kasar. "Oke." Dia menatap Riri tajam. "Gue penasaran, sebenernya, lo naksir sama Verga atau Raffa
PROYEK ini bisa dibilang sangat penting. Jika berhasil, Raffa bisa melebarkan bisnisnya ke luar negeri. Walaupun tidak mendatangkan keuntungan dalam waktu dekat, tapi bisnis properti bisa menguntungkannua di masa depan.Raffa sudah mengatur semuanya. Mencari jalan-jalan agar rencananya dapat terlaksana. Pertemuannya dengan perwakilan dari perusahaan properti yang ada di Jepang sebagai bentuk kerjasama pun menjadi awal dari segalanya.Diva, mantan sekretaris Raffa yang dulu kini diangkat menjadi sekretarisnya lagi. Naik jabatan, atau bisa dibilang, tetap menjadi orang kepercayaan Raffa di perusahaan itu.Dalam hal pekerjaan, Diva memang selalu profesional, tapi di luar itu semua, cintanya pada Raffa takkan bisa dielakkan.Pembicaraan terjadi cukup intens. Penawaran sepuluh hektar tanah kosong yang diajukan membuat Raffa menimang-nimang terlebih dahulu. Gambar ada di hadapan, tapi Raffa tetap pe
UNTUK pertama kalinya Raffa dibuat merinding hanya karena melihat Riri berdiri di depannya. Ekspresi datar, tangannya berkacak pinggang, bibirnya membentuk seutas garis lurus, dan tatapan tajamnya yang menghunus.Raffa berani bersumpah, dia takkan membuat Riri mengeluarkan ekspresi mengerikan ini lagi!"Ikut gue!"Tanpa ragu ataupun berpikir dua kali, Riri menarik tangan Raffa dan menyeret laki-laki itu untuk masuk ke restoran. Ruang santai yang berada di restoran, ruangan yang biasa dipakai koki dan beberapa pelayan itu kini diisi oleh Nayla, Damian, Verga, dan Riza.Raffa mengatupkan mulut saat melihat Riza tengah menatapnya. Verga berdiri, tangannya sudah gatal ingin menghiasi wajah tampan Raffa dengan luka lebam, tapi Damian menahan tangannya."Jangan dulu, belum tentu Raffa yang hamilin dia, kan?" terang Damian yang memang tidak berniat memihak siapa pun sekarang. "Lagian,
RAFFA bisa menghela napas lega setelah Riza pergi dari sana. Walau imbasnya, dia kehilangan uang cash di dompetnya, tapi tak masalah. Setidaknya, Riza akan meninggalkan mereka dan bersumpah takkan menunjukkan batang hidungnya lagi.Kenyataan jika Riza tidak hamil anaknya benar-benar membuatnya lega. Namun, yang tidak ia sangka adalah Riri yang bisa seganas itu menghadapi orang lain. Dia memang tahu Riri punya sifat agak nyentrik, tapi ia tidak berpikir kalau perempuan itu bisa berbuat sampai sejauh itu.Dia bahkan sudah khawatir, jika Riri memihak Riza dan memaksanya untuk bertanggung jawab dan mengakhiri pertunangan mereka. Terlebih lagi, Riri memang tidak sepenuhnya ingin menikahinya. Harusnya, itu menjadi sebuah kesempatan baginya untuk meloloskan diri dari Raffa, kan?Tiba-tiba saja Riri menatapnya tajam. Raffa bergidik dan sontak mengambil langkah mundur ketika Riri berjalan mendekat padanya.
RAFFA memijat kepalanya yang terasa mau pecah.Dia baru saja melewati hari panjang dengan dokumen segunung ditambah masalah Riza tempo hari yang entah kenapa masih membuatnya pusing. Apalagi, setelah Riri mengatakan jika Riza pernah mengatainya murahan.Raffa selalu berpikir, kalau dia tidak berguna.Harusnya, dia bisa melindungi Riri, menjaga perempuan itu dari wanita jalang yang pernah hidup di sekitarnya, bukan malah sebaliknya. Riri berjuang sendiri, dia bertahan, dan bahkan menyelesaikan semua masalah yang telah ia perbuat di masa lalu.Raffa berdecak kesal. Sejak pertunangannya dengan Riri minggu lalu, ia tinggal di rumah kedua orang tuanya.August sudah menyarankan agar Raffa segera membeli rumah sendiri, karena tidak mungkin juga setelah ia menikah nanti, dia tinggal di rumah orang tuanya bersama Riri. Walaupun August maupun Rosa tidak keberatan, tapi mereka takut Riri
RAFFA melepas kausnya dan langsung tengkurap di ranjang. Riri sendiri sedang bersiap-siap, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan secara berulang-ulang."Kenapa, sih, Ri? Mau mijit doang, bukan mau malam pertama juga, kenapa lo setegang itu?" komentar Raffa saat melihat Riri terus mengulang aktivitasnya sembari memegangi dadanya.Riri mendengkus. "Lo, sih, siapa suruh pakai lepas baju kayak gitu?""Biar lo enak mijitnya dan lo bisa raba-raba punggung gue juga kalau mau." Raffa tersenyum miring.Riri menepuk punggung laki-laki itu cukup keras. Jika saja dia tidak punya keinginan, mana mau dia memijat laki-laki yang sedang tak berbusana itu?"Lagian, lo sakit apa, sih, sampai minta pijit segala?" tanya Riri kepo.Pasalnya Raffa tidak terlihat pucat ataupun lemas. Dia masih seperti Raffa yang ia temui sehari-hari. Tidak ada tanda-tanda orang sakit s
RIRI menatap pintu kamar mandi dengan senyum mengembang di bibirnya. Mumpung Raffa sedang mandi, lebih baik ia menjelajahi isi kamar laki-laki itu. Lumayan, bisa dibuat bahan riset untuk menulis novel lain kali.Kira-kira, apa saja isi kamar cowok playboy mesum sekelas Raffa?Riri menatap seluruh interior ruangan. Tidak ada banyak barang. Hanya satu ranjang king size, lemari besar, LED TV yang nangkring di tembok, jam dinding berwarna hitam, lalu DVD yang kini menarik perhatian Riri.Jangan berpikir kamar Raffa ada sofa empuknya. Sama sekali tidak ada. Hanya kasur besar yang tadi ditempati mereka berdua.Tatapan Riri terhenti pada jejeran kaset yang tertata rapi di bawah meja di mana Raffa menaruh DVD player-nya. Kumpulan film dari action, thriller, fantasy, bahkan romance kini terpampang di hadapannya.Riri mengambil salah satu kaset dengan acak dan gambar seorang wanita berbi
RIRI merasakan bahunya didekap dari belakang. Tanpa perlu melirik, dia tahu Raffa adalah pelakunya. Pria itu kini meletakkan kepalanya di atas bahu Riri dengan sesekali mencium leher Riri.Riri sadar, cepat atau lambat Raffa jelas akan meminta hal ini padanya. Karena Riri sendiri yang menerima perjodohan itu, dia harus sadar kalau Raffa pasti akan menuntut haknya setelah mereka menikah."Aku udah menunggu terlalu lama, Ri." Raffa tersenyum tipis sebelum mendaratkan bibirnya di atas bibir Riri. "Kita mulai malam ini, ya?"Riri menelan ludah susah payah. Dia tidak bisa mundur apalagi menolak begitu Raffa membaringkannya dengan perlahan. Sentuhannya bagaikan belaian angin yang terasa halus serta memabukkan.Tanpa sadar dirinya terbuai. Riri menikmati semua ini sampai Raffa meminta izin untuk memasukinya.Seketika itu pula, kesadaran mengambil alih. Riri terhenyak dan jatuh dari ra
PUNYA sepupu satu yang mulutnya lemes banget kayak abis dikasih minyak urut itu antara harus disyukui atau harus disesali. Nayla tidak bisa apa-apa selain mengomel tiada henti pada laki-laki yang kini memohon-mohon di hadapannya.Tidak tahu apa kalau dia sedang hamil? Moodnya sudah kayak kincir angin, masih berani ngerecokin?"Please, Nay! Toloongg banget, cekin kondisi Riri, firasat gue jelek banget dari semalam, Nay!"Ethan yang sejak tadi menyimak hanya mengatupkan mulut tanpa berani berkomentar. Dia mengerti apa yang Raffa rasakan. Pekerjaan segunung, ditambah tidak diizinkan bertemu calon istri pasti sangat menyiksa.Apalagi rasa khawatir berlebihan, kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi sebelum hari pernikahan mereka. Itu saja sudah cukup bisa menjadi mimpi terburuk untuk Raffa.Nayla bergidik saat Raffa memegangi kakinya, memohon sangat dan membuat Nayla tidak tah