RAFFA bisa menghela napas lega setelah Riza pergi dari sana. Walau imbasnya, dia kehilangan uang cash di dompetnya, tapi tak masalah. Setidaknya, Riza akan meninggalkan mereka dan bersumpah takkan menunjukkan batang hidungnya lagi.
Kenyataan jika Riza tidak hamil anaknya benar-benar membuatnya lega. Namun, yang tidak ia sangka adalah Riri yang bisa seganas itu menghadapi orang lain. Dia memang tahu Riri punya sifat agak nyentrik, tapi ia tidak berpikir kalau perempuan itu bisa berbuat sampai sejauh itu.
Dia bahkan sudah khawatir, jika Riri memihak Riza dan memaksanya untuk bertanggung jawab dan mengakhiri pertunangan mereka. Terlebih lagi, Riri memang tidak sepenuhnya ingin menikahinya. Harusnya, itu menjadi sebuah kesempatan baginya untuk meloloskan diri dari Raffa, kan?
Tiba-tiba saja Riri menatapnya tajam. Raffa bergidik dan sontak mengambil langkah mundur ketika Riri berjalan mendekat padanya.
RAFFA memijat kepalanya yang terasa mau pecah.Dia baru saja melewati hari panjang dengan dokumen segunung ditambah masalah Riza tempo hari yang entah kenapa masih membuatnya pusing. Apalagi, setelah Riri mengatakan jika Riza pernah mengatainya murahan.Raffa selalu berpikir, kalau dia tidak berguna.Harusnya, dia bisa melindungi Riri, menjaga perempuan itu dari wanita jalang yang pernah hidup di sekitarnya, bukan malah sebaliknya. Riri berjuang sendiri, dia bertahan, dan bahkan menyelesaikan semua masalah yang telah ia perbuat di masa lalu.Raffa berdecak kesal. Sejak pertunangannya dengan Riri minggu lalu, ia tinggal di rumah kedua orang tuanya.August sudah menyarankan agar Raffa segera membeli rumah sendiri, karena tidak mungkin juga setelah ia menikah nanti, dia tinggal di rumah orang tuanya bersama Riri. Walaupun August maupun Rosa tidak keberatan, tapi mereka takut Riri
RAFFA melepas kausnya dan langsung tengkurap di ranjang. Riri sendiri sedang bersiap-siap, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan secara berulang-ulang."Kenapa, sih, Ri? Mau mijit doang, bukan mau malam pertama juga, kenapa lo setegang itu?" komentar Raffa saat melihat Riri terus mengulang aktivitasnya sembari memegangi dadanya.Riri mendengkus. "Lo, sih, siapa suruh pakai lepas baju kayak gitu?""Biar lo enak mijitnya dan lo bisa raba-raba punggung gue juga kalau mau." Raffa tersenyum miring.Riri menepuk punggung laki-laki itu cukup keras. Jika saja dia tidak punya keinginan, mana mau dia memijat laki-laki yang sedang tak berbusana itu?"Lagian, lo sakit apa, sih, sampai minta pijit segala?" tanya Riri kepo.Pasalnya Raffa tidak terlihat pucat ataupun lemas. Dia masih seperti Raffa yang ia temui sehari-hari. Tidak ada tanda-tanda orang sakit s
RIRI menatap pintu kamar mandi dengan senyum mengembang di bibirnya. Mumpung Raffa sedang mandi, lebih baik ia menjelajahi isi kamar laki-laki itu. Lumayan, bisa dibuat bahan riset untuk menulis novel lain kali.Kira-kira, apa saja isi kamar cowok playboy mesum sekelas Raffa?Riri menatap seluruh interior ruangan. Tidak ada banyak barang. Hanya satu ranjang king size, lemari besar, LED TV yang nangkring di tembok, jam dinding berwarna hitam, lalu DVD yang kini menarik perhatian Riri.Jangan berpikir kamar Raffa ada sofa empuknya. Sama sekali tidak ada. Hanya kasur besar yang tadi ditempati mereka berdua.Tatapan Riri terhenti pada jejeran kaset yang tertata rapi di bawah meja di mana Raffa menaruh DVD player-nya. Kumpulan film dari action, thriller, fantasy, bahkan romance kini terpampang di hadapannya.Riri mengambil salah satu kaset dengan acak dan gambar seorang wanita berbi
RIRI merasakan bahunya didekap dari belakang. Tanpa perlu melirik, dia tahu Raffa adalah pelakunya. Pria itu kini meletakkan kepalanya di atas bahu Riri dengan sesekali mencium leher Riri.Riri sadar, cepat atau lambat Raffa jelas akan meminta hal ini padanya. Karena Riri sendiri yang menerima perjodohan itu, dia harus sadar kalau Raffa pasti akan menuntut haknya setelah mereka menikah."Aku udah menunggu terlalu lama, Ri." Raffa tersenyum tipis sebelum mendaratkan bibirnya di atas bibir Riri. "Kita mulai malam ini, ya?"Riri menelan ludah susah payah. Dia tidak bisa mundur apalagi menolak begitu Raffa membaringkannya dengan perlahan. Sentuhannya bagaikan belaian angin yang terasa halus serta memabukkan.Tanpa sadar dirinya terbuai. Riri menikmati semua ini sampai Raffa meminta izin untuk memasukinya.Seketika itu pula, kesadaran mengambil alih. Riri terhenyak dan jatuh dari ra
PUNYA sepupu satu yang mulutnya lemes banget kayak abis dikasih minyak urut itu antara harus disyukui atau harus disesali. Nayla tidak bisa apa-apa selain mengomel tiada henti pada laki-laki yang kini memohon-mohon di hadapannya.Tidak tahu apa kalau dia sedang hamil? Moodnya sudah kayak kincir angin, masih berani ngerecokin?"Please, Nay! Toloongg banget, cekin kondisi Riri, firasat gue jelek banget dari semalam, Nay!"Ethan yang sejak tadi menyimak hanya mengatupkan mulut tanpa berani berkomentar. Dia mengerti apa yang Raffa rasakan. Pekerjaan segunung, ditambah tidak diizinkan bertemu calon istri pasti sangat menyiksa.Apalagi rasa khawatir berlebihan, kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi sebelum hari pernikahan mereka. Itu saja sudah cukup bisa menjadi mimpi terburuk untuk Raffa.Nayla bergidik saat Raffa memegangi kakinya, memohon sangat dan membuat Nayla tidak tah
KECEMASAN berlebih membuat Raffa tidak bisa berkonsentrasi. Dia terus menatap layar ponselnya yang tak kunjung mendapat balasan dari Riri. Raffa menghela napasnya saat ia merasakan sikuan dari Diva yang duduk di sebelahnya."Fokus, Pak."Raffa mendesah lagi. Mereka sedang meeting, tapi dia tidak bisa menyimak dengan serius seperti biasa. Isi otaknya ke mana-mana, belum lagi hatinya yang gundah tak keruan jurusannya.Dia sudah menghubungi Nayla bahkan Ethan, tapi tak ada tanggapan apa-apa. Sepasang suami istri itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.Raffa menatap jam dinding dengan hati bertanya-tanya, Kapan waktu berlalu dan hari pernikahannya tiba?****Sedangkan Riri kehilangan ponselnya. Dia tidak tahu kapan benda persegi empat itu diambil darinya, tapi ia tidak bisa menemukannya sama sekali.
RIRI tidak tahu ia harus pergi ke mana. Ia pergi sendiri saja bisa lupa jalan pulang, apalagi ia diculik orang dan tidak tahu disembunyikan di mana?Namun, yang jelas, ia harus berlari. Terus menghindari dua orang yang mulai berteriak mengejarnya di sana.Riri tidak mempedulikan mereka, dia tidak peduli apa pun, bahkan ketika langkahnya terhentikan oleh seorang pria berbadan besar yang lantas menghalangi jalannya."Lo mau ke mana?"Riri tersenyum miring. "Iya, pergi, lah, gue nggak mau diperkosa."Wajah pria itu tampak tidak senang mendengar kalimat yang baru saja Riri ucapkan. Namun, Riri tidak bohong. Dia tidak jadi menikah tak apa, asal dia jangan diperkosa. Oke, lebih baik menjadi perawan tua daripada gagal menikah karena diculik burung dara syirik!Pria itu hendak menangkap tangan Riri, tapi perempuan itu berkelit."Ayo kembali!"
RAFFA masih di dalam mobil dan menunggu kedatangan calon istrinya. Dia tidak akan bergerak turun dan mendekati Riri, dia hanya ingin memastikan kalau Riri baik-baik saja, tidak lebih.Sedangkan otaknya mencari rencana yang tepat untuk Dara. Dimulai dari Rosa, mamanya. Apa yang membuat mamanya begitu mempercayai wanita jalang itu? Dia harus mencari tahunya ketika sampai di rumah nanti.Dan juga, kedua calon mertuanya. Apakah mereka sudah mengetahui masalah hari ini?Raffa menghela napas kasar. Urusan orang tua Riri bisa ia urus besok, paling tidak, malam ini juga, dia harus menyelesaikan masalah si Dara dengan mamanya. Apakah mamanya ikut bersekongkol dengan Dara?Jika iya, Raffa tidak akan tinggal diam begitu saja.Sebuah mobil melesat melewati mobilnya dan masuk ke pekarangan rumah. Riri langsung keluar dan berlari ke dalam, disusul Verga yang tampak malas mengikuti langkah pe