RAFFA masih di dalam mobil dan menunggu kedatangan calon istrinya. Dia tidak akan bergerak turun dan mendekati Riri, dia hanya ingin memastikan kalau Riri baik-baik saja, tidak lebih.
Sedangkan otaknya mencari rencana yang tepat untuk Dara. Dimulai dari Rosa, mamanya. Apa yang membuat mamanya begitu mempercayai wanita jalang itu? Dia harus mencari tahunya ketika sampai di rumah nanti.
Dan juga, kedua calon mertuanya. Apakah mereka sudah mengetahui masalah hari ini?
Raffa menghela napas kasar. Urusan orang tua Riri bisa ia urus besok, paling tidak, malam ini juga, dia harus menyelesaikan masalah si Dara dengan mamanya. Apakah mamanya ikut bersekongkol dengan Dara?
Jika iya, Raffa tidak akan tinggal diam begitu saja.
Sebuah mobil melesat melewati mobilnya dan masuk ke pekarangan rumah. Riri langsung keluar dan berlari ke dalam, disusul Verga yang tampak malas mengikuti langkah pe
DARA merasa puas saat melihat Raffa mendatanginya bersama Rosa dan August. Senyuman di bibir laki-laki itu membuat ia yakin, kalau Raffa datang kemari untuk melamarnya, membuat Dara menjadi pengganti Riri yang telah ia singkirkan hari ini.Dengan senyum lebar ia menyambut mereka. Dara mendekati Rosa yang berjalan paling belakang dan langsung menggenggam tangannya."Tante, terima kasih karena Tante udah menepati janji."Rosa menatap Dara tidak mengerti."Dulu, waktu Raffa nolak aku, Tante janji bakal nyari cara biar Raffa mau menikahiku, kan?" Dara tersenyum senang. "Akhirnya, kalian ke sini buat lamar aku."Rosa merasa hatinya sesak. Dia ingat betul ucapannya hari itu, tapi ia tidak bermaksud begini. Dia tidak bisa memaksakan kehendak Raffa, apalagi Raffa memiliki calonnya sendiri.Namun, kalimat Dara sudah membuktikan semuanya.Wanita licik inil
RAFFA kesulitan menelan salivanya sendiri.Sejak melihat Riri dalam balutan gaun pernikahannya, Raffa berusaha keras untuk bisa mengendalikan diri. Rindu akibat tidak bertemu, bahkan tidak saling bicara, ditambah penampilan Riri hari ini yang sangat cantik-jauh berbeda sekali dalam ingatannya-membuat Raffa tidak sabar menunggu nanti.Terkutuklah waktu yang tak segera berlalu!Raffa ingin berduaan dengan Riri di kamar dan bermanja-manja bersama istri sahnya. Namun, sayangnya takdir seperti sengaja mempermainkan.Dia harus menemui tamu undangan yang jumlahnya di atas rata-rata dan bersalaman dengan mereka semua. Walaupun Riri ada di sampingnya, terus tersenyum senang seperti tak merasakan lelah dengan aktivitas mereka, tapi tetap saja yang Raffa inginkan hanyalah waktu berdua dan menikmati malam pertama."Ri," panggilnya pelan.Riri menoleh. "Hm?"
RAFFA sudah bersiap menarik Riri kembali ke ranjang, tapi perempuan itu segera menjauhinya dengan cepat dan menatapnya waspada."Stop buat hari ini, dasar Maniak!"Raffa tersenyum miring. "Maklum, abis puasa lama, buka puasanya dapat perawan cantik, jadi nggak bisa nahan diri, deh."Riri mendelik, miliknya masih ngilu karena Raffa menggarapnya sejak semalam. Mereka tidur jam empat pagi, lalu bangun jam sebelas untuk makan, setelah itu Raffa kembali menerkamnya hingga hari mulai petang.Riri harus melepaskan diri sebelum Raffa kembali menerjang atau habis sudah riwayat hidupnya."Malam ini kita pulang," ujarnya dengan berani.Kalau terus di sini, yang ada Riri bisa mati karena suaminya lupa memberi makan dan memberi waktu istirahat yang cukup."Hm." Raffa menghela napas kasar. "Besok aja, ya?"Riri menggeleng tegas. "Abis mandi, ki
RAFFA terbangun tanpa Riri di sampingnya. Laki-laki itu membelalak dan langsung mencari-cari di mana Riri berada.Firasatnya sudah buruk. Dia takut, Riri meninggalkannya karena Raffa terlalu berlebihan mengajaknya bercinta kemarin.Raffa mengecek kamar mandi, tapi tak ada suara apa pun. Dia keluar melihat koridor kamarnya, tapi tak ada siapa pun. Raffa segera menuju dapur, berharap Riri ada di sana dan ia akhirnya bisa menghela napas lega saat melihat istrinya berdiri di sebelah Rosa."Lho, Raf, kamu abis ngapain kok ngos-ngosan gitu?" tanya Rosa yang kini mendekati putranya. "Abis olah raga, ya?"Raffa tak menjawab, dia menatap Riri yang juga tengah menatapnya, sebelum perempuan itu memalingkan wajah."Malah diam aja." Rosa mendengkus. "Mama mau bangunin Papa kamu dulu," ujar Rosa sebelum meninggalkan Raffa yang mulai mendekati istrinya."Abis ngapain kok ngos-
SEJAUH ini, Riri bisa mempercayai kalimat Raffa, karena nyatanya tidak ada yang mengganggu hubungan mereka. Dia cukup senang setelah mendapatkan izin untuk menetap di apartemen Raffa untuk sementara sampai rumah mereka selesai dibangun.Awalnya, Raffa pikir untuk merenovasinya saja, tapi Riri menolaknya mentah-mentah. Lebih baik dirubuhkan dan dibangun ulang supaya umur bangunannya pun jadi lebih panjang dan juga, bahan-bahan bangunannya mereka ketahui jelas kalau memiliki kualitas yang baik.Walaupun harus menguras dompet sampai kering, tapi Raffa tidak mengeluh sama sekali. Riri pun tidak protes, apalagi Raffa menitipkan salah satu kartu platinumnya pada Riri."Yakin dikasih ke aku?"Raffa tersenyum miring. "Aku masih ada yang lainnya.""Yang infinite, ya?" tanya Riri curiga.Raffa mendengkus. "Platinum juga, buat jaga-jaga kalau ada apa-apa. Aku sengaja bikin
"LO nggak ada kerjaan gitu karena ditinggal si Raffa?"Nayla membawa sebuah laptop ke hadapan Riri saat mengetahui perempuan itu benar-benar mengunjunginya. Dia pikir, Riri hanya bercanda, ternyata perempuan itu benar-benar main ke rumahnya."Ada sebenernya, tapi bosen."Nayla hanya melirik wanita itu malas. "Novel gimana novel? Udah kelar? Kapan cetak?""Tiba-tiba aja malas jadi penulis.""Kenapa?""Mikir mulu buat cerita, gimana kelanjutan cerita ini biar bagus dan enak dibaca, tapi bayaran nggak seberapa. Coba aja kerjaan semudah ngangkang terus dikasih kartu kredit sama orang."Nayla mendelik. "Cewek murahan gitu maksud lo?"Riri mendengkus. "Kesel banget gue waktu tahu Raffa pernah kayak gitu sama cewek-ceweknya."Nayla tertawa terbahak-bahak. "Raffa emang modelan begitu, lo udah tahu dari lama, kan?"
RINDU itu berat, katanya begitu. Kenyataannya, Raffa ingin mati karena tidak bertemu istrinya sejak lima hari lalu.Laki-laki itu berdecak, dia harusnya menyetujui ide Riri untuk kemari bersama. Kalau begini ceritanya, dia tidak punya kerjaan sewaktu proyeknya selesai.Raffa memegangi lotion yang sudah habis, karena Raffa terus menggunakannya saat ia merindukan istrinya. Raffa hanya berdoa, semoga Riri tidak mengamuk kalau tahu lotionnya ia curi dan ia bawa jalan-jalan, alih-alih membawa jalan-jalan pemiliknya.Pintu kamarnya diketuk dari luar sebelum Diva muncul dengan pakaian tidurnya yang tampak menggoda iman."Bapak jadi mau pulang hari ini?""Ah, i-iya." Raffa menelan ludah susah payah. "Saya kangen sama Riri."Diva tersenyum tipis. "Masih pengantin baru, sih." Diva mengangguk mengerti. "Tiketnya sudah saya pesan, pukul delapan nanti Bapak bisa berangkat ke
PERASAAN lega luar biasa menyerang hatinya saat Raffa menemukan Riri di kamar mereka dan tengah tertidur pulas. Dia langsung menjatuhkan koper dan semua barang bawaannya, lantas ikut bergabung dengan Riri di balik selimut tebal. Raffa tersenyum miring. Dia menarik tubuh istrinya agar berada tepat dalam dekapannya, lalu bibirnya mulai menghujani ciuman di seluruh wajah Riri. Anehnya, Riri tak terusik. Dia terus memejamkan mata seperti tak terjadi apa-apa dengan tubuhnya. "Sayang, bangun!" Raffa sengaja berbisik di atas telinga Riri. Berharap, istrinya mengerti kalau Raffa sudah kembali dan ia ingin menagih janjinya tempo hari. Namun, Riri hanya mengerang dengan mata masih tertutup rapat, hal itu membuat Raffa semakin gemas. Raffa kembali menghujani wajah Riri dengan kecupannya. Ia benar-benar berharap Riri bangun karena hal ini, ta