RAFFA kesulitan menelan salivanya sendiri.
Sejak melihat Riri dalam balutan gaun pernikahannya, Raffa berusaha keras untuk bisa mengendalikan diri. Rindu akibat tidak bertemu, bahkan tidak saling bicara, ditambah penampilan Riri hari ini yang sangat cantik-jauh berbeda sekali dalam ingatannya-membuat Raffa tidak sabar menunggu nanti.
Terkutuklah waktu yang tak segera berlalu!
Raffa ingin berduaan dengan Riri di kamar dan bermanja-manja bersama istri sahnya. Namun, sayangnya takdir seperti sengaja mempermainkan.
Dia harus menemui tamu undangan yang jumlahnya di atas rata-rata dan bersalaman dengan mereka semua. Walaupun Riri ada di sampingnya, terus tersenyum senang seperti tak merasakan lelah dengan aktivitas mereka, tapi tetap saja yang Raffa inginkan hanyalah waktu berdua dan menikmati malam pertama.
"Ri," panggilnya pelan.
Riri menoleh. "Hm?"
RAFFA sudah bersiap menarik Riri kembali ke ranjang, tapi perempuan itu segera menjauhinya dengan cepat dan menatapnya waspada."Stop buat hari ini, dasar Maniak!"Raffa tersenyum miring. "Maklum, abis puasa lama, buka puasanya dapat perawan cantik, jadi nggak bisa nahan diri, deh."Riri mendelik, miliknya masih ngilu karena Raffa menggarapnya sejak semalam. Mereka tidur jam empat pagi, lalu bangun jam sebelas untuk makan, setelah itu Raffa kembali menerkamnya hingga hari mulai petang.Riri harus melepaskan diri sebelum Raffa kembali menerjang atau habis sudah riwayat hidupnya."Malam ini kita pulang," ujarnya dengan berani.Kalau terus di sini, yang ada Riri bisa mati karena suaminya lupa memberi makan dan memberi waktu istirahat yang cukup."Hm." Raffa menghela napas kasar. "Besok aja, ya?"Riri menggeleng tegas. "Abis mandi, ki
RAFFA terbangun tanpa Riri di sampingnya. Laki-laki itu membelalak dan langsung mencari-cari di mana Riri berada.Firasatnya sudah buruk. Dia takut, Riri meninggalkannya karena Raffa terlalu berlebihan mengajaknya bercinta kemarin.Raffa mengecek kamar mandi, tapi tak ada suara apa pun. Dia keluar melihat koridor kamarnya, tapi tak ada siapa pun. Raffa segera menuju dapur, berharap Riri ada di sana dan ia akhirnya bisa menghela napas lega saat melihat istrinya berdiri di sebelah Rosa."Lho, Raf, kamu abis ngapain kok ngos-ngosan gitu?" tanya Rosa yang kini mendekati putranya. "Abis olah raga, ya?"Raffa tak menjawab, dia menatap Riri yang juga tengah menatapnya, sebelum perempuan itu memalingkan wajah."Malah diam aja." Rosa mendengkus. "Mama mau bangunin Papa kamu dulu," ujar Rosa sebelum meninggalkan Raffa yang mulai mendekati istrinya."Abis ngapain kok ngos-
SEJAUH ini, Riri bisa mempercayai kalimat Raffa, karena nyatanya tidak ada yang mengganggu hubungan mereka. Dia cukup senang setelah mendapatkan izin untuk menetap di apartemen Raffa untuk sementara sampai rumah mereka selesai dibangun.Awalnya, Raffa pikir untuk merenovasinya saja, tapi Riri menolaknya mentah-mentah. Lebih baik dirubuhkan dan dibangun ulang supaya umur bangunannya pun jadi lebih panjang dan juga, bahan-bahan bangunannya mereka ketahui jelas kalau memiliki kualitas yang baik.Walaupun harus menguras dompet sampai kering, tapi Raffa tidak mengeluh sama sekali. Riri pun tidak protes, apalagi Raffa menitipkan salah satu kartu platinumnya pada Riri."Yakin dikasih ke aku?"Raffa tersenyum miring. "Aku masih ada yang lainnya.""Yang infinite, ya?" tanya Riri curiga.Raffa mendengkus. "Platinum juga, buat jaga-jaga kalau ada apa-apa. Aku sengaja bikin
"LO nggak ada kerjaan gitu karena ditinggal si Raffa?"Nayla membawa sebuah laptop ke hadapan Riri saat mengetahui perempuan itu benar-benar mengunjunginya. Dia pikir, Riri hanya bercanda, ternyata perempuan itu benar-benar main ke rumahnya."Ada sebenernya, tapi bosen."Nayla hanya melirik wanita itu malas. "Novel gimana novel? Udah kelar? Kapan cetak?""Tiba-tiba aja malas jadi penulis.""Kenapa?""Mikir mulu buat cerita, gimana kelanjutan cerita ini biar bagus dan enak dibaca, tapi bayaran nggak seberapa. Coba aja kerjaan semudah ngangkang terus dikasih kartu kredit sama orang."Nayla mendelik. "Cewek murahan gitu maksud lo?"Riri mendengkus. "Kesel banget gue waktu tahu Raffa pernah kayak gitu sama cewek-ceweknya."Nayla tertawa terbahak-bahak. "Raffa emang modelan begitu, lo udah tahu dari lama, kan?"
RINDU itu berat, katanya begitu. Kenyataannya, Raffa ingin mati karena tidak bertemu istrinya sejak lima hari lalu.Laki-laki itu berdecak, dia harusnya menyetujui ide Riri untuk kemari bersama. Kalau begini ceritanya, dia tidak punya kerjaan sewaktu proyeknya selesai.Raffa memegangi lotion yang sudah habis, karena Raffa terus menggunakannya saat ia merindukan istrinya. Raffa hanya berdoa, semoga Riri tidak mengamuk kalau tahu lotionnya ia curi dan ia bawa jalan-jalan, alih-alih membawa jalan-jalan pemiliknya.Pintu kamarnya diketuk dari luar sebelum Diva muncul dengan pakaian tidurnya yang tampak menggoda iman."Bapak jadi mau pulang hari ini?""Ah, i-iya." Raffa menelan ludah susah payah. "Saya kangen sama Riri."Diva tersenyum tipis. "Masih pengantin baru, sih." Diva mengangguk mengerti. "Tiketnya sudah saya pesan, pukul delapan nanti Bapak bisa berangkat ke
PERASAAN lega luar biasa menyerang hatinya saat Raffa menemukan Riri di kamar mereka dan tengah tertidur pulas. Dia langsung menjatuhkan koper dan semua barang bawaannya, lantas ikut bergabung dengan Riri di balik selimut tebal. Raffa tersenyum miring. Dia menarik tubuh istrinya agar berada tepat dalam dekapannya, lalu bibirnya mulai menghujani ciuman di seluruh wajah Riri. Anehnya, Riri tak terusik. Dia terus memejamkan mata seperti tak terjadi apa-apa dengan tubuhnya. "Sayang, bangun!" Raffa sengaja berbisik di atas telinga Riri. Berharap, istrinya mengerti kalau Raffa sudah kembali dan ia ingin menagih janjinya tempo hari. Namun, Riri hanya mengerang dengan mata masih tertutup rapat, hal itu membuat Raffa semakin gemas. Raffa kembali menghujani wajah Riri dengan kecupannya. Ia benar-benar berharap Riri bangun karena hal ini, ta
RIRI menyajikan capcai dan ayam gorengnya di meja pantri sebelum membangunkan suaminya yang masih terlelap sejak percintaan panas mereka subuh tadi.Dia menggoyang-goyangkan tubuh Raffa dengan kesal. Tentu saja ia akan kesal, karena Raffa belum pakai baju, tapi posisi tidurnya yang walau sudah dikasih selimut, pasti akan melorot juga dan memperlihatkan miliknya yang berdiri menantang.Astaga!"Raffa bangun dong! Makan dulu! Perut kamu apa nggak lapar, hah?"Riri menggoyang-goyangkan tubuh suaminya lebih keras dan membuat Raffa mengerang malas. "Apa sih, Ri?" Dia menguap lebar tak tahu malu.Kalau seperti ini penampakannya sewaktu bangun tidur, perempuan mana yang percaya kalau suaminya playboy kelas kakap? Anehnya, apa wanita Raffa sebelum ini tidak tahu kalau Raffa baru bangun tidur kayak begini bentuknya?"Bangun! Makan! Mandi! Baru tidur lagi!"
"VAN, kamu beneran mau nginep sini?" tanya Raffa saat Riri sedang memasak lagi untuk makan malam mereka.Raffa dan Evan sedang nonton televisi berdua. Duduk kalem sambil selonjoran kayak anak dan ayahnya."Beneran, dong, Om.""Baju ganti udah bawa emangnya?""Udah, dong." Evan menunjuk sebuah tas besar yang diletakkan di samping sofa. "Itu tas isinya baju sama camilan. Om mau, nggak?"Raffa hanya melirik tas besar itu dengan tatapan nelangsa. Sumpah, bukannya ia tidak mau dititipi keponakannya, tapi dia itu butuh waktu berduaan dengan istrinya.Pacaran mereka cuma dua bulan rasa sebulan, saking singkatnya Raffa merasa kurang. Mana selama pacaran juga kadang ada Evan yang ngintilin mereka kayak sekarang.Raffa menarik napas panjang. Dia melihat Riri menghampiri mereka dan mulai bergabung dengan Evan, catat, EVAN, bukan Raff