Shelina tidak punya firasat apa-apa hari itu. Pertengkaran di rumahnya sudah menjadi hal yang biasa. Malah, dia waswas jika Abizhar bersikap manis padanya, sebab pasti ada maunya.
Tidak ada jalan keluar baginya dan Abizhar. Dia harus stagnan di tempat mereka berdiri sekarang. Pernikahan rupanya bukan hal yang mudah. Shelina pikir, dengan uang dan kekuasaan, kehidupan rumah tangganya bisa bahagia. Ternyata tidak ada hubungan kedua hal tersebut dengan keharmonisan rumah tangga.
Dia tetap dilanda rasa sesak, memikirkan bagaimana nasibnya. Masa iya sih, harus bertahan di pernikahan di mana cinta itu sudah tidak ada? Apa mereka akan menua bersama dengan dasar kontrak yang mereka tandatangani?
Sebelum jam makan siang, Shelina mendapat email dari Leo, berisi video rekaman CCTV di hotel. Semua video itu menampakkan Shelina dan seorang laki-laki. Dan dia…
Rafi.
Ya, aku tahu siapa dia. Ingatan Shelina kembali terbawa pada masa lima tahun lalu s
Perasaan bersalah itu masih menjalari hatinya. Dia tahu walaupun Gadis tampak tegar, pastilah dia sedih. Mana ada perempuan yang tidak sedih dan kecewa mengetahui suaminya bermain api dengan perempuan lain. Mana perempuan lain itu sepupunya sendiri!Shelina membandingkan hal itu padanya. Aku saja bisa menggila setiap Abizhar main sama Yuni dan wanita-wanita lain, pikir Shelina. Aku bisa membanting apa saja untuk menunjukkan kemarahanku. Gadis. Maafkan aku. Apa ya, yang bisa kulakukan untuk memberi gestur penyesalanku padanya?Shelina tidak ke ruang kerja Abizhar. Dia menunggu di salah satu ruang rapat di lantai yang sama dengan ruang kerja suaminya. Dibukanya kotak bekal itu. Ada nasi goreng putih dengan udang kecil-kecil. Telur dadar dan ayam goreng. Sedapnya.Tak lama kemudian, dia melihat Abizhar masuk ke ruang rapat. Dengan senyum tipis di wajahnya. Diajaknya istrinya duduk bersebelahan dengannya.“Tadi sepupumu datang.” Dia memberitahu. &
Bagaimana aku bisa mengingat semuanya, pikir Shelina murung. Aku tidak bisa mengontak Rafi karena Gadis sudah mengingatkanku untuk tidak melakukannya. Di ponselku juga tidak ada jejak-jejak kedekatanku dengan Rafi. Sudah kucari di galeri, pesan singkat, email, dan hasilnya nihil. Apa benar aku berselingkuh tanpa bukti seperti ini? Roland yang seharusnya tahu semuanya pun tidak bisa bantu apa-apa.Setiap aku mengingat Rafi, tak ada yang berubah dalam diriku. Jantungku berdegup seperti biasa. Aku tidak merasakan apa-apa. Apakah mungkin seseorang berselingkuh tanpa melibatkan rasa sama sekali? Sepertinya tidak mungkin. Malah sekarang aku ingat Oom Surya meski hanya ada kebencian ketika aku mengingatnya.Apakah terhadap Rafi, aku tidak cinta maupun benci?Shelina pulang lebih dulu malam itu. Rumahnya kosong melompong. Setelah mandi dan mengganti pakaian, dia ke ruang kerja. Diambilnya sebuah foto dari laci. Dilihatnya foto itu sambil duduk di sofa. Pada fot
“Bi, menjadi donatur bukan hal yang buruk, kan?” tanya Shelina memerlukan kepastian dari Abizhar. “Tentu tidak! Kau kan sudah besar, sudah tahu mana yang baik dan tidak. Menurutmu, membantu anak-anak yang membutuhkan, itu bukan hal baik?!” Abizhar balik bertanya. “Shelina, kalau kau mau beri, berilah. Berilah selama kau punya sesuatu untuk diberi.” “Jawab pertanyaanku. Apakah kau lebih menyukai Yuni karena dia mau direpotkan mengurus yayasanmu?” “Aku tidak mau membahasnya. Ini sudah malam, dan dia juga sudah tidak ada,” jawab Abizhar mengelak. “Kenapa tidak kau jawab saja? Mau sampai kapan kau lari dari kenyataan?” Mata Abizhar membesar dituding begitu. “Oke aku jawab. Ya, aku suka padanya karena dia memiliki hati yang baik. Kau dengar? Dia punya hati yang baik. B-A-I-K. Dia mau mengerahkan segala tenaga dan pikirannya untuk membantu anak yatim-piatu,” katanya tegas. “Untuk bagian membantu anak yatim-piatu aku setuju, tapi untuk bagian
Diletakkannya ponselnya di atas mejanya dengan gemas. Abizhar tidak bisa tenang sejak Roland memberitahunya Shelina pergi ke suatu tempat tanpa memberitahu ke mana secara detail. Abizhar jadi bingung sendiri, mengapa dia tiba-tiba seperti ini? Dia jadi mudah marah, tersinggung, khawatir, dan yang jelas semua perasaan ini membuatnya tidak nyaman! Pergi berselingkuh lagikah dia, pikir Abizhar gemas. Tidak kapok-kapokkah dia? Tuhan sudah menghukumnya dengan kecelakaan itu. Kenapa dia masih melakukan kesalahan memalukan seperti ini? Abizhar mengambil lagi ponselnya, menghubungi Gadis dan menanyakan keberadaan suami sepupu Shelina itu. Suara Gadis terdengar heran. “Dia bersamaku sekarang. Kau ingin bicara?” “Tidak, ngg, terima kasih, maaf ganggu.” Klik Abizhar memutus sambungan. Kalau tidak bersama Rafi, bersama siapa Shelina sekarang, pikirnya. Bersama pria lainkah? Ada berapa banyak pria yang menikmati tubuh Shelina? Kurang ajar! Kepala Abizhar terasa pa
“….Shelina istri Abi, kalau Mama ingin melakukan sesuatu dengannya, Mama diskusikan dulu dengan Abizhar!” Percuma kan kau memarahi ibumu, pikir Shelina duduk di atas kloset kamar mandi. Dia lebih berkuasa darimu. Bahkan, kupikir, dia hanya mengangkat Abizhar agar tidak kena cemoohan orang-orang sebab dia dan suaminya tidak bisa punya anak. Ada kan, beberapa orang yang berpikir, bahwa tidak punya anak adalah aib? Ibu Abizhar sudah lama menjadi donatur yayasan itu. Namanya harum dengan jiwa dermawannya. Jika mengenal dari jauh, tampaknya ibu Abizhar begitu baik, namun setelah kenal dekat, Shelina memahami seperti apa ibu Abizhar itu. Sama saja seperti Yuni. Wajahnya yang manis tidak menunjukkan keluhurannya! Dia hanya perlu imej yang baik, pikir Shelina. Sebagai orang yang “menjaga citra”, aku tahu sekali orang seperti apa dia. Memaksaku untuk terlibat dengan yayasan juga pasti ada maksudnya. Untuk menambah pamornya, mungkin? Menunjukkan kedekatannya
“Hari ini teman-temanmu datang?” tanya Abizhar selesai mandi. Hari itu dia mau pergi golf di Sentul. “Kalau begitu sampaikan salamku pada mereka. Sekali pun aku tahu mereka tidak suka padaku. Kuharap kau ingat, bagaimana kau hobi sekali menjelekkan namaku di hadapan keluargamu dan kawan-kawanmu.” Shelina memeluk Abizhar dari belakang. “Katanya, mau punya keluarga denganku. Mari kita saling memaafkan dulu. Kalau kau setia aku juga takkan menjatuhkan namamu.” “Jadi kau ingat?” “Ya, tentu, pasti sudah dari dulu aku melakukannya,” jawab Shelina lirih. “Sudah, kau pergi sana. Aku mau mandi.” Pada akhir pekan Shelina mengajak teman-teman sosialitanya untuk makan di rumahnya. Dia menjamu mereka dengan makanan yang dibuat chef terbaik se-Jakarta. Tujuannya bertemu lagi dengan teman-temannya untuk melepas penatnya dari dunia kerja sekaligus mencoba mengais ingatannya yang dulu. Tidak banyak informasi yang dia dapatkan. Teman-temannya ini sesuai dengan
Abizhar menemukan istrinya tengah melamun di halaman belakang. Istrinya duduk di bangku yang berada di tengah taman rumah mereka. Jarang sekali Abizhar melihat Shelina termenung seperti itu. Dari kejauhan, Abizhar memerhatikannya untuk setengah jam lamanya. Dia cantik sekali jika diam, pikirnya malu. Ya, malu, karena dia sulit memuji istrinya terang-terangan. Andai saja sifat Yuni ada dalam dirinya, pasti akan mudah bagiku melupakan Yuni. Ah, Yuni. Kenapa aku selalu memikirkan dirimu? Tanpa disadari Shelina, tahu-tahu suaminya sudah duduk di sampingnya. Dia sontak kaget. Kapan Abizhar pulang? “Aku sudah beritahu Mama untuk stop menghubungimu dan membahas yayasan. Aku tidak mau memaksamu melakukan hal yang tidak kau inginkan,” kata Abizhar parau. “Trims,” sahut Shelina sekenanya. “Ibuku memang berharap kau bisa di sana. Kau tahu, sebelum aku diangkat oleh Mama Lila, Mama sudah sering mengunjungi panti asuhan itu. Pemilik panti asuha
Mata Shelina membesar saat Roland memberitahunya Pak Edward akan datang hari itu. Tidak dijelaskan secara detail jam berapa. Hanya akan datang, tok. Membuat Shelina sedikit panik sebab dia tahu kedatangan ayahnya berkaitan dengan kinerjanya. Ayahnya bukan tipe ayah yang beramah-tamah dengannya. Seharusnya Shelina tak perlu khawatir. Perusahaannya masih baik-baik saja, tapi tetap saja, jika ada kesalahan kecil yang ayahnya ketahui, habislah Shelina nanti dimarahi. Jauh dari dugaannya, Pak Edward datang dengan tiga anak buahnya membawakan banyak bunga ke ruang kerja Shelina. Di sana terdapat ucapan selamat kepada Shelina yang telah sehat dan kembali bekerja. Terlalu lama kan, pikir Shelina pahit. Aku sudah keluar rumah sakit beberapa bulan yang lalu dan Papa baru menyempatkan waktu untuk bertemu sekarang? Bukan main. Semua anak buahnya dan Roland keluar meninggalkan ruang kerja Shelina. Kini hanya ada Shelina dan ayahnya. “Papa bangga sekali padamu, She