Wajahku terpampang di mana-mana, bahkan selebaran-selebaran yang terpasang di tembok-tembok. Mereka memajang wajahku saat bercadar dan tidak. Ini membuatku semakin tidak leluasa bergerak.
"Fahim, ini sangat tidak aman buat kamu. Alangkah baiknya bila kamu mencari majikan saja dan kamu tinggal di rumahnya," usul Hermin.
”Iya aku tahu, Hermin," jawabku sedih.
Aku merasa semakin terpojok dengan berita dimana-mana sebagai buronan. Bahkan Tuan Hussein mengadakan sayembara dengan bayaran yang menggiyurkan. Ini membuat orang semakin tertantang. Mungkin selain Hermin pasti sudah berkhianat. Dia akan memilih uang ketimbang pertemanan.
"Tempat ini sudah tidak aman lagi buatmu, Fahim. Kita harus berpikir lagi kemana kita harus pergi. Atau kita bisa cari kontrakan saja, Gimana menurutmu, Fahim?" usul Hermin.
"Aku setuju Hermin," jawabku pasrah. "Aku tidak bisa berpikir jernih lagi," kataku sedih.
Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel Faruq yang kupeg
Seorang lelaki bertubuh besar dan tinggi itu berjalan mengendap-endap mendekatiku. Perlahan dia menarik selimut yang menutupi tubuhku juga Hermin. Dust! Aku kentut, tak kuat menahan perutku yang teramat sakit karena masuk angin dan menahan BAB. Sontak bau busuk menyeruak ke udara setelah selimut itu dibuka. Ough ... Ough ... Ough! Tak heran dia mau muntah-muntah tak tahan mencium aroma itu. Aku sendiri yang kentut saja mau muntah juga. Aku melihat Hermin menahan nafas sambil menutup hidungnya. "Kurang ajar, udah wajahnya jelek jorok pisan! Makanannya bangkai tikus kali" umpat lelaki itu bergumam lirih. Sepertinya dia orang Indonesia, dia menggunakan logat bahasa daerahnya. Dia berjalan menjauhiku sambil membekap hidung dan mulutnya. Lelaki itu melanjutkan memeriksa satu persatu orang yang tidur. "Cari apa bang?" tanya salah seorang yang terbangun saat melihat ada cahaya ke wajahnya. "Cari buronan pembunuhan, jangan-jang
Aku berlari terseok-seok di tengah padang pasir yang terik dengan angin penuh debu. Beberapa orang berseragam dan bersenjata mengejarku beramai-ramai. Dengan menahan sakit, aku terus berlari berharap menemukan apapun sekedar menyembunyikan bayanganku. Nafasku tersengal-sengal bagai di ujung kerongkongan. "Ayo kejar terus, jangan sampai lepas! Jangan beri ampun dia!" teriak pemimpin mereka dengan keras. Suara itu sangat familier dan tidak asing bagiku. Dor! Suara tembakan itu mengagetkanku, membuatku salah langkah, gugup dan takut. Akhirnya aku jatuh berguling-guling ke lembah berdebu. Luka di paha kembali mengucur darah segar penuh pasir, demikian juga dengan lukaku di lengan. "Kejar, jangan sampai lepas!" teriaknya makin emosi. Mataku penuh dengan debu, ditambah lagi dengan kepalaku yang pusing menggigit. Terdengar ringkikan suara kuda dengan derap langkah kakinya yang samar terdengar. Mataku yang masih kelilipan debu berusaha k
Aku menguping pembicaraan Hermin dengan seseorang yang dia panggil pangeran muda. Seorang majikan part time mempekerjakannya setiap Sabtu dan Minggu. "Berarti Pangeran Muda butuh seorang lagi untuk dipekerjakan di apartemen?" tanya Hermin. (...) "Siap, ada kok pangeran hari ini saya antar dia ke tempat pangeran." (...) "Saya tunggu di depan Kantor Konsulat Indonesia, ya Pangeran?" ujar Hermin. (...) "Baik Pangeran, Waalaikum salam." Hermin menutup telepon dengan tersenyum lega. Dia menatap wajahku perlahan dan menghampiriku. Kemudian memelukku menangis bahagia. "Ada apa Hermin, kamu bahagia sekali," tanyaku kepo. "Fahim, kamu dapat majikan, pangeran muda membutuhkan pembantu untuk bekerja di apartemennya, bukan sebagai part time," ujar Hermin sambil melepaskan pelukannya. "Aku yang ke sana, Hermin?" tanyaku meyakinkan. "Iya Fahim, kamu buronan, tempat itu lebih aman buat kamu. Kalau kamu
Hermin membantu mengenalkan aku dengan lingkungan pekerjaanku yang baru. "Mungkin di majikanmu yang dulu kamu hanya bertugas memasak, tapi di sini semua pekerjaan kamu sendiri yang menyelesaikannya," ujat Hermin. "Iya aku faham, Hermin," jawabku. "Fahim, kalau kamu butuh bantuanku jangan sungkan-sungkan bilang saja!" pesan Fattah yang tiba-tiba muncul. "Oh iya, Pak Fattah, terima kasih!" jawabku ragu. Aku dan Hermin saling berpandangan, aku yakin apa yang dipikirkan Hermin sama dengan apa yang sedang kupikirkan. Hermin lupa memperkenalkan aku sebagai orang Fahim. Fattah satu-satunya orang yang tahu kalau aku adalah Fahim. "Pak Fattah, mau kopi biar dibuatkan Rosa?" tanya Hermin. Dia sengaja memanggil aku dengan nama Rosa sekalian ingin mengklarifikasi kepada Fattah. "Siapa Rosa?" tanya Fattah bingung. "Oh iya dia Rosa," kata Hermin. "Bukannya Fahim?" tanya Fattah bingung. "Bukan, saya yang
"Rosa, bukalah cadarmu, sekali saja agar aku dan Faruq sahabatku tidak penasaran!" pinta Muzammil memohon. "Penasaran kenapa, Pangeran Muda?" sahutku. "Kita merasa kamu adalah Fahim," jawab Muzammil. "Fahim? Siapa dia, Pangeran Muda?" tanyaku berpura-pura. Aku ingin mendengar dari Faruq dan Muzammil apa arti diriku bagi mereka berdua. "Fahim adalah wanita istimewa yang sedang mengisi hatiku, tapi sayang dia adalah kekasih sahabatku. Aku dan Faruq begitu tergila-gila padanya," ungkap Muzammil. Betapa terkejutnya aku mendengar pengakuan Muzammil. Padahal selama ini aku belum begitu dekat apalagi mengenalnya. Aku bertemu dengan Muzammil bisa dihitung dengan jari, baru beberapa kali saja. Bagaimana semudah itu dia jatuh hati. Apalagi aku hanyalah orang biasa, hanya TKW yang teraniaya. "Boleh kulihat wajahmu sekejap saja!" pintanya lagi mendesak. "Tapi ...," bantahku gugup. Muzammil tidak menghiraukan aku, dia beranj
Sudah seminggu aku tinggal sendirian di apartemen. Tapi hari ini pangeran muda menyuruhku memasak istimewa karena ada tamu. Fattah membawa belanjaan banyak sekali. Di Inagara tidak banyak wanita berkeliaran di luar. Sehingga belanja pun harus Fattah yang melakukannya. "Rosa, kamu kesulitan apa tidak masak sendirian?" tanya Muzammil yang tiba-tiba muncul di belakang Rosa. "Atau kupanggilkan pembantuku dari rumah?" lanjutnya bertanya. "Tidak, Pangeran Muda, ini sudah selesai kokl" jawabku. "Iyakah?" Muzammil tidak percaya. "Ini, tinggal menata ke meja makan saja, Pangeran," kataku. "Wow hebat sekali, Rosa, kamu juga pinter menghias piring," kata Muzammil kagum. "Biasa saja, ini sih tugas saya sehari-hari, Pangeran Muda," ujarku sombong. Ting ... Tong ...! Bel rumah berbunyi. "Tolong kamu buka pintunya, Rosa! Aku mau bersiap dulu!" perintah Muzammil kemudian menuju kamarnya. "Baik, Pangeran Muda," jawabku.
Aku mulai menyajikan sop buntut di mangkok ala Indonesia. Cara menyajikannya pun tidak berubah seperti biasanya bahkan aroma masakannya sontak membuat Iqbal mengingatku. "Umi," desah lirih Iqbal sambil matanya tajam menatapku. Sontak tangannya meraih tanganku, dan bekas luka di punggung tanganku terlihat jelas oleh Iqbal. Segara dia mengenaliku karena luka cambuk Tuan Hussein di tanganku belum sembuh benar. Mataku segera memberi kode agar Iqbal tenang. Agar Faruq dan Marwa tidak menaruh curiga. Kiranya Iqbal mengerti apa maksudku. "Iqbal, dia Mbak Rosa, abi tadi juga salah orang, buka saja cadarnya kalau kamu tidak percaya!" usul Faruq. Bergegas Marwa menyahut cadar itu dengan kasar dan menariknya hingga terlepas dan cadar itu jatuh di kaki Muzammil. Muzammil terperanjat melihat perangai Marwa yang kasar. Dia bergegas memungut cadarku yang jatuh di kakinya. "Marwa, apa yang kamu lakukan?" hardik Faruq. "Aku yang tidak per
Aku dalam dilema, seandainya aku ikut ke rumah Muzammil takut kalau dua pembantunya bisa mengenaliku. Tapi untuk tinggal sendirian di apartemen aku juga takut, apalagi dalam waktu begitu lama. Tapi kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa benar hanya karena itu? Terkadang aku merasa nyaman hanya berada di dekat Muzammil. Datang rasa kangen apabila sebentar saja tidak bertemu dengannya. Semoga ini bukan cinta, karena tidak pantas rasanya bila aku memiliki perasaan itu. Siapa aku? Bukan saja karena statusku yang hanya seorang babu tapi juga karena hidupku yang sudah hancur dan terjerumus ke lembah nista. Semoga mimpiku ditolong pangeran berkuda putih yang ternyata adalah Muzammil bukanlah sekedar mimpi belaka. Agar aku tidak terbawa perasaan dan nantinya akan kecewa dan tersakiti. "Rosa, kenapa kamu melamun di dapur?" tanya Muzammil yang muncul di belakangku. "Tidak apa-apa, Pangeran Muda," jawabku. "Istirahatlah!" perintah Muzam