Bab 26: Keputusan Terbaik
Aku terlonjak mendengar perintah dari presdir untuk Mas Janu. Dia tidak menunjuk, tapi jemarinya menekan permukaan meja sebagai tanda penegasan. Ditambah lagi, sorot matanya tidak menjauh dari Mas Janu dan Desty, bahkan urat-urat nadi yang bermunculan di bawah kulit beningnya menjelaskan betapa kesalnya dia dengan mereka berdua.
“Dipindahkan?” Desty yang menjawab. Dia langsung melirik Mas Janu di sebelahnya.
“Ya, kamu juga dipecat!” Presdir kembali bersuara. “Posisimu di sini tidak lebih dari karyawan baru dalam masa percobaan dan kamu sudah membuat masalah sebesar ini. Apa kamu kira perusahaan tidak akan peduli dengan hal seperti ini? Aku takut jika semakin banyak karyawan yang bersikap seperti kamu.”
Suara presdir menggetarkan hati. Pria itu bahkan tidak berpaling usai mencerca kedua orang yang telah mengkhianatiku. Terlihat tangannya dikepal kuat sampai buku jemarinya menjad
Bab 27: Setelah Hari ItuSeminggu berlalu sejak presdir memecat Desty dan mencopot jabatan Mas Janu. Menurut isu yang beredar dari staff HRD, Mas Janu akan bekerja di posisi yang sama, hanya saja di Aceh.Sebenarnya, hal yang paling tidak disukai oleh Mas Janu adalah bekerja di tempat yang sepi dengan omset kecil. Ya, di Aceh sendiri perusahaan ini baru saja berdiri untuk mengelola distribusi dan pemasaran.Di sana, sangat sepi. Omsetnya tidak hanya kecil, bahkan sudah dua bulan awal hasilnya minus. Siapa pun akan merasa jika ini adalah penurunan dari karier, karena mereka harus bekerja dari awal untuk membangun dan mengembangkan. Belum termasuk ancaman akan dipindahkan ke tempat yang lebih tidak memuaskan.“Bapak akan keluar dari rumah, Bu?” Anganku soal mutasi Mas Janu buyar begitu saja saat Mbok Sunem muncul.Dia membawa sebuah nampan berisi pisang goreng panas dan segelas teh tawar. “Ya, begitulah.” Kuja
Bab 28: Tentang Mas Surya“Jadi kamu tidak tahu apa pun, Sari?” Mas Surya berujar lembut padaku.Setelah mendengarkan berita soal Mas Janu dan Desty, aku memutuskan untuk keluar sejenak dari rumah demi menenangkan diri. Dan Mas Janu, dia meminta izin untuk menemani.Kini, dia yang menyetir mobil. Pria itu membawa mobilnya yang berjenis fortuner ke jalan raya. Kecepatan yang dipilihnya juga sedang, karena memang tujuan kami berangkat adalah mencari ketenangan.Aku menggeleng mendengarnya. “Mana mungkin, bahkan saat kami bertemu di perusahaan sekalipun, Mas Janu tidak berkata apa-apa. Dia hanya memaksaku agar aku berbicara dengan presdir soal mutasinya itu.”Mas Surya ikut mengangguk. Dia paham dengan satu kalimat dingin dariku itu. Tidak ditanyanya lagi akan hal lain, Mas Surya hanya fokus menyetir sampai kami tiba di mall yang kumaksudkan tadi pada Mbok Sunem.Mall besar ini terlihat sunyi. Hanya ada
Bab 29: Keputusan Singkat Mas Surya “Ke-kenapa kamu ....” Wanita itu terbata menemukan Mas Surya mencegat dirinya.Aku yang tidak mengenali wanita itu bisa segera menebak jika dia adalah mantan istri Mas Surya yang digosipkan membuang suaminya demi masa lalunya. Entah apa yang sebenarnya terjadi sampai perempuan yang berasal dari Kalimantan itu bisa muncul di Jakarta.“Jawab aku dulu!” tuntut Mas Surya.Pria itu melihat troli yang berisi sang balita serta setumpuk belanjaan. Bisa kutebak jika hatinya sama teririsnya denganku saat menemukan Mas Janu tidur di kamar rumah sakit bersama Desty dan anaknya.“Mas, jangan begini di depan suamiku!” balas sang wanita. Dia mencibir Mas Surya yang menghentikan dirinya di tempat umum dan memprotes soal apa yang dilakukan olehnya. Wanita itu segera menutup tubuhnya dengan selembar selendang yang melilit leher.Mas Surya seketika terdiam. Dia melangkah
Bab 30: Keinginan“Bu, kenapa bengong?” Mbok Sunem bertanya entah untuk keberapa kalinya.Aku masih gagal menenangkan diri usai kembali dari perjalanan dengan Mas Surya. Pria itu telah meninggalkan Tornado menyeramkan yang hampir saja melahap diriku dalam-dalam.“Bu?” Mbok Sunem menegur seraya mengguncang pelan sisi baru kiri.Saat itu aku menggelengkan kepala demi menyadarkan diri. Ternyata, gelas yang sedang kuisi dengan air mineral penuh dan meluap. Alirannya mencapai pinggiran meja makan dan langsung tumpah ruah ke lantai.“Astagfirullah!” Aku memekik kaget. Lekas berdiri, malah tangan ini menyenggol gelas dan menumpahkan isinya.Kacau, sungguh sangat kacau!“Kamu kenapa, Sari? Kok jadi linglung?” Ibu mertua berbicara.Wanita itu rupanya memerhatikan sedari tadi. Kulirik ibu mertua segera usai beranjak dari kursi. “Maaf, Bu ... aku ....”
Bab 31: Fakta Baru dari Mulut Suamiku Minggu pagi setelah kejadian membingungkan itu. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan merawat beberapa pot tanaman di halaman rumah seraya menemani Nandya bermain.Ada keladi dan tiga pot anggrek bulan pemberian Mas Janu, dia membelikannya karena lelah mendengar setiap kali kuungkit soal rumah para tetangga yang dipenuhi bunga-bunga cantik. Sekarang, pot-pot yang dahulu terasa manis itu jadi hambar tanpa rasa.Meski demikian, aku tetap merawatnya dengan baik. Tidak ada alasan untuk memberikannya pada orang lain, karena yang telah merusak warna di rumah ini adalah Mas Janu, bukan pot-pot itu.“Kamu menghindariku, Sar?” Kudengar sebuah suara yang kini familier.Aku enggan bergerak apa lagi berpaling. Dada ini bak disambar petir begitu tahu jika Mas Surya sudah ada di belakang. Kenapa dia harus datang dan menyapa di saat tenang begini?“Kalau begitu, anggap saja ucapa
Bab 32: Kehilangan Terberat“Mas, kamu datang dari jauh hanya untuk berbicara soal ini?” ucapku pada Mas Janu dengan manik mata yang terus bergetar.Sejujurnya, aku sangat terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Mas Janu. Meski demikian, aku mencoba untuk acuh perihal Mas Surya yang merupakan anak angkat dari keluarga Mas Janu. Tidak ada kaitannya denganku sama sekali, begitulah yang aku yakini.“Ya, aku ingin berbicara denganmu, Sari. Kamu tidak pernah mau mendengarkan suamimu!” tegas Mas Janu sekali lagi.Pria itu mengerang kesal. Jelas sekali jika dia menyimpan amarah yang dalam karena aku yang terus menjawab dirinya.Tidak ingin bertengkar lebih lanjut, aku mencoba untuk mengalihkan perhatian dan berjalan pelan menuju sofa. Entah karena kehamilan atau beban pikiran, berdiri beberapa menit saja bisa membuat kaki ini tegang.Ternyata, Mas Janu mengekori diriku. Dia tidak berhenti menatap seolah ada
Bab 33: Di Antara Dua Pria “Pergi, kalian semua pergi. Jangan ada yang datang ke kamar ini lagi!”Ibu mertua menangis melihatku frustrasi. Dia berusaha menggapai tanganku namun lebih dulu kucegah. “Jangan sentuh aku! Aku mohon pergi dari sini.”Aku mulai memukuli ranjang seraya menangis, tidak peduli dengan tali infus yang berguncang. Ibu mertua panik, Mas Janu seperti bingung, sedangkan Mas Surya tetap tenang seperti biasanya.Di antara tiga orang yang masih berdiri di dalam ruangan itu, hanya ibu mertua dan Mas Janu yang paham. Ibu mertua langsung menarik lengan putranya agar pria itu berhenti berbicara. “Mari kita keluar, Janu.”“Bu, Sari itu ....”“Diamlah, jika kamu masih punya malu setelah semua yang kamu lakukan pada istri dan anakmu,” ucap ibu mertua.Mas Janu meronta beberapa kali saat sang ibu memaksanya bangkit dan pergi. Dia terus melihat ke arah
Bab 34: Ratna dan RetnoAku mengulas senyum kala mendapati Ratna benar-benar datang keesokan harinya. Dia muncul di pagi buta saat jam jenguk dimulai dengan diantarkan oleh Mas Retno.Mereka berdua sempat salah kamar karena perawat yang bekerja di bagian depan belum bekerja. Lalu, setelah memberinya petunjuk lewat Mas Surya, mereka tiba di kamar.Sekarang, Ratna tidak beranjak sama sekali dari sisi brankar. Dia duduk dengan mata yang terus memandang ke arahku. “Kenapa sampai seperti ini?” lirih wanita yang kini memakai rok plisket hijau gelap dan atasan putih tulang.Wajah manisnya sangat cocok dengan outfit nan sopannya itu. Bahkan kepalanya ditutupi jilbab yang rapat.“Tidak apa-apa, aku sudah baik-baik saja.”Ratna seperti tidak percaya. Wanita itu mulai memeriksa sendiri kondisi tubuhku yang masih tidur di brankar dengan wajah nan pucat.“Astaga, Mas Janu kelewatan sekali. Di mana dia