Share

6. POV Danu 2

Siang itu sahabat istriku datang ke rumah dan menanyakan banyak hal padaku. Hanya saja, aku pura-pura bodoh dan tak mau menjawab sama sekali.

 

Bahkan kata si Nella ini, dia pernah melihatku di restoran bersama kekasih gelapku, tetapi ia berjanji tidak akan memberitahu istriku kalau aku mau bekerja sama dengannya.

 

Tentu saja aku menolak kerja sama dengannya, karena gak menguntungkan sama sekali buatku, bahkan bisa merugikan aku juga. Ibarat makan buah simalakama aku akan sama-sama dirugikan.

 

 

Dia mengancam bahkan menyuruhku untuk jujur pada Ely bahwa aku hanya pura-pura lumpuh karena aku tak mau kerja sama dengannya.

Pada saat itu hampir saja Ely mendengar ocehan si muka dua ini.

 

Aku dan Nella sama-sama terkejut karena aku takut Ely curiga padaku dan Nella juga takut kalau Ely mendengar apa rencana kerja samanya sebenarnya.

 

Rasanya jantungku bekerja begitu cepat saat itu juga dan hampir saja aku berpindah alam. Syukur aku gak ada riwayat penyakit jantungan. 

 

Aku berusaha menormalkan kembali jantung saat melihat istriku terkekeh karena candaannya yang sama sekali gak ada lucu-lucunya, alias garing.

 

Aku menghela napas lega, ternyata Ely tidak mendengar apa-apa selain ucapan Nella yang terakhir dan itu masih bisa aku akali dengan Nella.

 

Untung wanita ular satu itu mau bekerja sama untuk saat ini, kalau tidak ... niat jahatnya akan kubongkar pada istriku.

 

Setelah istriku ke luar mengantarkan sahabatnya untuk pulang. Aku segera menghapus semua obrolan dan hal berbahaya yang bisa memicu pertengkaran yang biasa terjadi dalam rumah tangga.

 

Lalu menghela napas lega dan berusaha bersikap seperti biasa agar istriku tak curiga padaku.

 

Hingga pagi menyapa, aku gegas bangun karena ingin menyiapkan banyak hal hari ini. Apalagi Ely mau membawaku ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kakiku.

 

Bisa-bisa kelar hidupku ini jika Ely tahu yang sebenarnya. Untung semalam aku sempat menghubungi Ibu untuk datang ke mari pagi-pagi dan mencegah Ely untuk mengantarku ke rumah sakit.

 

Aku bahkan mengajari ibuku bagaimana caranya akting yang baik dan benar, agar menantunya itu yakin dan mau berangkat bekerja seperti biasa.

 

Kalau dia cuti, bisa kurang pendapatanku bulan ini. Itu gak boleh terjadi.

 

Tapi tunggu dulu! Ada yang kurang ini. Aku meraba-raba nakas yang ada di samping tapi tak kutemukan ponselku.

 

Aku celingak-celinguk dan akhirnya aku menemukannya di bawah, dalam keadaan yang menyedihkan. Layarnya sedikit retak dan ada goresan di sana sini untung pakai anti gores.

 

Eh ... tapi, kok bisa jatuh ini. 

Sebaiknya aku tanya saja istriku, siapa tahu dia tempe.

 

Aku melirik kanan kiri memastikan kalau gak ada yang melihat, setelah aman aku gegas berdiri dan naik di kursi roda lalu mendorong pelan ke arah dapur.

 

Ternyata bukan Ely pelakunya saat kutanya dan dia malah merajuk. Terpaksa aku pujuk, tetapi aku menyentuh luka di tangannya.

 

Belum puas aku bertanya, ibuku malah datang dan membuat Ely melotot padaku. Mungkin, ia kaget karena ibu datang tiba-tiba tanpa mengabarinya terlebih dulu.

 

"Apa? Kamu mau bawa Danu periksa? Memang bagus kalau ia pergi periksa kakinya, siapa tahu ada perkembangan," kata Ibu saat kami tengah sarapan di meja makan.

 

"Iya, Bu," jawab istriku dengan suara lembutnya.

 

"Pas sekali kalau begitu ... karena ada Ibu, lebih baik Ibu yang antar Danu ke rumah sakit. Nak Ely berangkat saja ke pabrik!" cerocos ibu sambil mengunyah makanannya.

 

"Tapi, Bu ...."

 

"Udah, Nak. Gak apa-apa kok, ibu gak merasa direpotkan. Danu kan anak ibu, sudah kewajiban ibu untuk menjaga dan membantunya," potong ibu cepat.

 

Ibu memang hebat dan ia cepat sekali mengerti dengan keinginanku. Meski awalnya ia tak mau. Tapi udah terlanjur begini juga, daripada ketahuan kan bisa bahaya.

 

"Begini, Bu ...."

 

Istriku masih berusaha untuk mengantarku ke rumah sakit dan ibuku juga berusaha meyakinkannya agar ia mau tetap bekerja dan aku diantar ibu.

 

Bahkan Naifa yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya hanya melongo melihat Ibu dan neneknya.

 

Setelah Ibu dan istriku itu lelah beradu argumen, akhirnya Ely mengalah dan ibu yang menang karena menantunya itu tak berani melawan.

 

Ely dan Naifa segera berangkat setelah berpamitan padaku dan pada Ibu.

 

"Kamu ini, benar-benar ya, Dan! Kapokmu kapan, Hah? Kapan kamu mau akhiri sandiwaramu ini?" omel Ibu setelah puluhan menit kepergian istri dan anakku.

 

Aku hanya diam saja, karena percuma menanggapi ucapan ibuku yang setelah disodorkan duit matanya langsung silau.

 

"Ibu tuh, capek tau nggak. Ibu capek kayak gini terus ... capek membohongi menantu ibu sendiri, Dan." Ibu mengusap air matanya yang jatuh.

 

"Apa kamu nggak kasihan sama Ely, dia kerja siang malam untuk masa depan kalian. Tapi kamu malah memanfaatkan ketulusan dan kepolosannya," sambung Ibu sambil terisak.

 

"Danu gak bisa, Bu. Danu gak tahu caranya mengakhiri semua ini," jawabku menunduk karena kata-kata Ibu ada benarnya dan aku sudah terlalu jauh terbuai.

 

"Ya ... harus bisa dong! Kamu yang memulai ya kamu yang harus mengakhiri!"

 

"Ibu bantu lah aku mikir gimana, kan selama ini Ibu juga mendukungkan? Bahkan Ibu juga aku bayar kok, gak gratis,"

 

Ibu memukul kepalaku dengan sendok nasi.

"Jangan kencang-kencang suaramu! Kalau ada yang dengar bagaimana. Kalau sampai di telinga bapakmu habis ibu sama dia!" 

 

"Ibu yang mulai," balasku sinis.

 

"Terus sekarang ini apa rencanamu?" tanya Ibu lagi.

 

Aku pun menjelaskan rencanaku pada ibuku dan ia terpaksa menurut demi kelangsungan hidup kami.

 

Pertama-tama, aku dan ibuku bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit yang pernah aku tempati saat kecelakaan dulu.

Aku akan meminta bantuan petugas rumah sakit yang waktu itu.

 

Setibanya di rumah sakit, aku dan Ibu langsung mencari petugas/perawat yang pernah membantuku.

 

Setelah bertanya ke sana ke mari akhirnya ketemu juga. Awalnya ia kaget dan ia menolak untuk membantuku.

 

Tapi aku memohon padanya, mau tak mau Ibu juga memohon-mohon padanya karena Ibu juga tidak ingin Ely curiga jika kami tak membawa hasil pemeriksaan ke hadapannya.

 

"Aku akan membantu, Tapi aku butuh bayaran tinggi karena ini akan mempertaruhkan pekerjaanku kalau ketahuan atasan. Bagaimana?" tanya petugas itu setelah dibujuk berkali-kali.

 

Aku dan Ibu saling pandang seketika lalu mengangguk tanda setuju.

 

"Kamu minta berapa?" tanyaku

 

"Lima juta," 

 

Kembali aku dan Ibu saling pandang, karena uang di ATM Ely sekarang sisa tiga juta. Terpaksa aku meminta kalung dan gelang emas milik ibuku untuk menambah kekurangan ini.

 

Awalnya Ibu tak mau, tetapi aku pujuk dan berjanji untuk menggantinya dengan yang lebih besar lagi.

 

Tiga jam kemudian, petugas itu menghampiriku dan memberikan hasil pemeriksaan palsu. Aku meyerahkan uang yang baru saja ditarik dari ATM yang ada di depan rumah sakit ini.

 

Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah ini. 

 

Saat aku dan ibu berbalik, dari kejauhan tampak seorang suster tengah menabrak seseorang. Namun, orang itu tak dapat kulihat jelas karena ramai orang yang menghampirinya.

 

Aku segera menarik Ibu untuk segera pulang saja daripada berlama-lama di sini.

 

Saat siang hari, Ibu pamit pulang setelah bertemu cucunya. Sekarang anakku itu sedang mengerjakan PR-nya.

 

Kupikir setelah ini, aku akan hidup tenang dan bebas dari masalah. Ternyata masalahku malah tambah rumit saja.

 

Saat hendak buang air kecil, ternyata bak air kosong, aku memutar keran air dan nihil, airnya tak keluar juga.

 

Aku keluar dari WC dan duduk kembali di kursi roda setelah memastikan tak ada yang melihatku. Bergerak perlahan ke dapur dan memutar keran di wastafel ... tetap saja sama, airnya tak keluar juga.

 

Astaga!

Aku baru ingat kalau jadwal pembayaran air leding sudah telat seminggu.

Ah ... sial

Aku meninju angin karena kesal bagaimana aku akan membayarnya nanti.

 

"Naifa ... Naifa ...," panggilku pada anakku sambil ke luar lagi dengan memutar kursi rodaku.

 

"Iya, Pak,"

 

"Bapak boleh minta tolong gak, sama Naifa?" tanyaku dan ia mengangguk pelan

 

"Tolong minta air seember kecil di rumah tetangga kita, ya, Nak!" titahku dan ia manggut-manggut saja.

 

Sebenarnya kasihan melihat anak itu jika harus mengangkat air, tetapi apa boleh buat. Aku tak bisa pergi mengangkat sendiri dan ia melihatku bisa berdiri lalu mengadukanku pada ibunya.

 

Sia-sia usahaku selama ini, jika ketahuan juga.

 

Saat Naifa datang membawa seember air, aku langsung senyum semringah karena hajat kecilku akan terlaksana.

 

Namun, senyuman itu luntur seketika saat melihat seseorang yang muncul setelah Naifa--anakku.

 

Rasanya duniaku berhenti berputar saat melihat tatapan tajamnya padaku...

ersambung...

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status