Shera termenung menatap wine di depannya. Matanya memang tertuju pada gelas itu tapi pikiran sudah sejak tadi mengembara ke tempat lain. Segala pertanyaan di dalam benaknya tak satu pun mendapat jawaban atas apa yang baru saja dia alami.
“Apa yang mereka inginkan? Bukannya mereka sudah hidup bahagia? Kenapa harus menggangguku di saat aku sudah berusaha keras melupakan segalanya?” bisik Shera, tangannya meraih gelas wine yang sudah diisi.
Selama hidup di Australia, Shera sudah terbiasa dengan minuman yang mengandung alkohol. Dia sangat berubah, tidak seperti Shera yang dikenal lugu sebagai gadis Indonesia pada umumnya– yang tabu dengan hal-hal seperti ini. Bahkan terkadang dia sendiri tidak mengenali dirinya, sangat berbanding terbalik dengan keinginan sang ayah.
Teringat dengan ayahnya, Shera seakan dibawa ke masa lalu. Saat sang ayah mendengar kabar kehamilan Shera, kala itu ayahnya tidak mau mendengar alasan apa pun dan menyuruh Shera mendesak Albi menikahinya. Tapi saat Shera datang ke rumah kekasihnya, Shera justru dihadiahkan kabar yang tak pernah dia harapkan. Diketahui bahwa kekasih tercinta tengah melangsungkan pernikahan di ballroom salah satu hotel termewah di kotanya.
***
“Di mana laki-laki yang sudah menghamilimu?” tanya pria tua yang membesarkan Shera seorang diri. Pria itu memegangi dadanya yang terasa sesak.
Melihat penampilan Shera yang sangat acak-acakan, ayahnya seakan tahu bahwa Albi tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tidak Heran jika ayahnya tahu akan hal itu, mengingat bagaimana dulu sang ayah terus mengingatkan agar Shera tidak terbawa perasaan pada laki-laki yang kehidupannya jauh lebih baik dari mereka. Shera yang terlalu bodoh percaya akan segala rayuan Albi, sehingga merelakan kehormatannya direnggut sang kekasih.
“Dia tidak mau bertanggung jawab?” tanya pria tua itu lagi, masih tetap duduk di kursi rotan di tengah rumah.
Shera berlari ke depan sang ayah dan menjatuhkan diri di depannya, lantas memohon pengampunan.
“Ayah, ampuni Shera. Albi... Albi menikah dengan perempuan lain.” Tangis Shera pecah menceritakan apa yang dia alami saat mendatangi Albian. “Shera salah, Ayah. Shera tidak mendengarkan ucapan ayah. Tolong ampuni Shera, Shera menyesal.”
Namun, sekeras apa pun tangisan Shera di depan ayahnya, pria itu hanya diam di tempatnya. Permohonan ampun yang Shera ucapkan sama sekali tidak menggerakkan hati sang ayah, bahkan ekspresinya datar seperti sudah tahu akan kabar yang akan dibawa Shera. Pria paruh baya itu menatap lurus ke depan, tidak ingin menatap mata putrinya.
“Shera salah, Ayah, maafkan Shera. Tolong bicara pada Shera, jangan diamkan Shera seperti ini, Shera mohon.” Shera sudah tak punya harapan di hati kekasihnya. Hanya sang ayah lah harapan Shera untuk bisa mengerti kondisinya sekarang. Shera sangat berharap sang ayah akan memaafkan kesalahannya, memberi dukungan atas kehancuran yang sedang dia alami. Tapi hal itu hanya menjadi harapan yang tidak akan pernah terjadi.
“Ayah sudah mengingatkanmu untuk tidak berhubungan dengannya,” ucap sang ayah, meraih gelas berisi teh di atas meja. “Tapi kau terlalu percaya dengan rayuan laki-laki itu. Kau tidak akan mengerti harta dan kekuasaan adalah hal yang tidak bisa ditoleransi. Jangankan keluarganya, orang yang kau cintai pun akan meninggalkanmu ketika dia sadar kau tidak sepadan dengannya.”
Shera hanya bisa menangis tanpa tahu teh yang diminum ayahnya sudah disiapkan racun di dalamnya. Beberapa saat setelah meneguk tehnya, ayah Shera memuntahkan darah.
“Ayah! Ayah, apa yang terjadi pada Ayah?” teriak Shera histeris, berusaha menyeka darah yang sudah mengotori dagu dan pakaian sang ayah.
“Harapanku hanya kau, tapi semua sudah berakhir. Aku lelah, Shera, aku tidak mampu menghadapi masalah ini sekali lagi. Ayahmu sangat lelah.”
Itu lah kata-kata terakhir yang diucapkan bersusah payah oleh sang ayah, sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir. Shera hanya bisa meraung pangkuan sang ayah yang lebih memilih mati daripada menerima kesalahan putri satu-satunya.
***
Kembali pada kenyataan, Shera menatap lagi gelas wine di tangannya. Dia memang pengecut, sangat tidak punya keberanian seperti sang ayah. Shera hanya bisa meneguk cairan merah itu hingga tandas dari gelasnya. Terkadang Shera berpikir, kenapa bukan dia saja yang meminum racun itu? Kenapa harus ayah yang menanggung dosa atas perbuatannya?
“Ayah, maafkan Shera. Maafkan putri bodoh ini, yang tidak mendengarkan ucapanmu,” bisik Shera, dengan kedua pipi yang sudah dibanjiri air mata.
Adakah gadis sebodoh Shera di dunia ini? Menyaksikan sang ayah mengakhiri hidup hanya karena ulah sang anak yang terlalu percaya akan janji manis seorang pria. Shera sangat marah pada diri sendiri yang tidak bisa menjaga kehormatannya, terlalu percaya dengan cinta semu dari sang kekasih yang akhirnya berkhianat.
“Ini karena mereka.” Shera berkata parau. Suaranya hampir tenggelam oleh alunan musik sayup-sayup dari penyanyi kafe tempatnya duduk. Kenangan yang sudah usang itu sangat menyayat hati, membuat Shera membenci semua orang.
Andai saja Albi tidak menjanjikan pernikahan dengannya, Shera mungkin bisa mencegah kematian sang ayah dengan melarikan diri dari rumah. Ayahnya tidak harus tahu akan kehamilan Shera, sehingga semua bisa berjalan lebih baik.
“Aku membencimu, Bi, aku sangat membencimu!”
“Aku tahu, karena itu aku datang untuk menebus segala kesalahanku. She, aku sangat mencintaimu sampai detik ini, sampai rasanya aku ingin mati.” Sebuah suara datang dari belakang bersamaan dengan sepasang tangan yang melingkar di leher Shera, memeluk gadis yang tengah patah hati itu erat.
Albi?
Pelukannya masih sama seperti dulu–hangat dan memberikan rasa nyaman. Shera sampai terlena oleh dekapan Albi yang begitu erat memeluknya dari belakang. Matanya terpejam menikmati sentuhan yang sudah lama tak dirasakan, bahkan Shera tak sadar bening hangat sudah meleleh dari sudut mata yang terkunci rapat.“Albi?” panggil Shera berbisik. Tak kuasa dia menahan rasa rindu yang sekian lama mengekang diri. Tapi di detik berikutnya, Shera tersadar bahwa lelaki itu sekarang bukan lagi miliknya.Segera Shera menepis tangan Albian dari lehernya, dengan cepat dia berdiri menatap lelaki itu.“Apa yang kau lakukan?!” sentak Shera, nada suaranya bergetar.Albian mematung. Dari sorot matanya terlihat jelas kerinduan mendalam, seperti tak ingin menjauh dari Shera.“Aku mohon, tolong maafkan aku. Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.”“Kau gila!” Shera meraih tasnya dari atas meja dan bersiap akan meninggalkan Albi. Tapi tangan Albian lebih sigap mencengkeram lengan Shera.“Jangan pergi, kumohon
Pertemuannya dengan Albian sangat mengganggu Shera sejak tadi malam. Keberanian lelaki itu sudah di luar batas, bahkan tidak segan memeluk Shera di kafe umum yang bisa didatangi siapa saja. Shera takut andaikan Vivia mengetahuinya, akan membawa masalah yang akan menyudutkan Shera ke depan nanti.Bagaimana pun, Vivi adalah istri Albian, sedangkan Shera masa lalu yang tak sepatutnya berada di sekitar mereka. Bukan tak mungkin Albian akan mengulang lagi kejadian tadi malam, yang akan membuat namanya buruk atas tuduhan tak berdasar. Shera tidak ingin sekali lagi mengulang kisah lama, yang akan menghancurkan dirinya lebih banyak lagi.“Apa maksudmu, Shera? Sudah aku katakan, Ibu Vivia adalah orang yang sangat berpengaruh di kota ini. Kau sudah menyanggupinya, jadi jangan pernah mundur!” peringat laki-laki bertubuh bongsor itu memperingatkan.Shera tahu hal itu. Selain istri polisi yang sudah berpangkat tinggi, Vivia adalah putri dari keluarga terhormat di kota tempat mereka tinggal. Ayahny
Shera membantu Vivia mengenakan gaun hasil desainnya. Sangat sempurna, sesuai dengan gambar sketsa yang Vivia lihat hari itu. Bahkan ukurannya sangat pas di tubuh Vivi, tidak terlihat sedikit pun cela. Padahal, Shera tidak melakukan fitting padanya, kenapa bisa sangat sempurna?Namun, bukan berarti Vivi akan melepaskan Shera. Akan selalu ada alasan untuknya menyindirnya.“Aku pikir, setelah semua yang terjadi tujuh tahun yang lalu, seharusnya kau malu kembali ke kota ini. Tapi tampaknya kau baik-baik saja, Shera.” Vivia berbicara sambil memperhatikan Shera memasangkan aksesoris di gaunnya.“Kenapa harus malu? Aku tidak mencuri milik orang lain,” sahut Shera, masih terus dengan pekerjaannya. Meski di dalam hati dia sesak ketika Vivi mengingatkan kenangan masa lalunya, dia cukup cerdas membalas Vivia tepat sasaran.Lihat saja wajah Vivia, terlihat memerah kala Shera menyebutkan ‘mencuri milik orang lain.’ Dia merasa dituduh sudah mencuri Albian.“Ya... kau tidak mencuri. Tapi, apa kau t
“Selamat ulang tahun pernikahan, Ibu Vivi, semoga pernikahanmu selalu bahagia.”Para undangan dan rekan menyalami Vivia, mengucapkan selamat berbahagia untuk wanita yang dikenal sebagai pejuang hak perempuan itu. Malam ini adalah hari ulang tahun ketujuh pernikahannya dan Albi, yang dirayakan sangat mewah di sebuah hotel ternama.Vivia dengan balutan gaun panjang berwarna hijau muda terlihat sangat cantik. Rambut panjangnya disanggul tinggi ke atas, hingga menonjolkan lekuk leher jenjang yang putih bersih. Selain karena namanya yang tercium wangi di hadapan para wanita, penampilan Vivia yang selalu anggun juga membuat semua orang sangat kagum padanya.“Terima kasih, doa yang sama buat kalian. Semoga rumah tangga kita semua selalu bahagia,” sahut Vivi memamerkan senyum manis yang tak pernah lekang dari bibirnya.“Ibu Vivi sangat cantik, Pak Albian pasti sangat bersyukur memiliki istri seperti ibu.”“Tentu saja. Pak Albian selalu ada di mana pun Ibu Vivi berada, sudah pasti mereka sali
Vivia menatap Shera tajam. Jantungnya terasa diremas mendengar ucapan selamat dari Shera, yang tentu saja itu adalah sebuah penghinaan. Tak akan dia biarkan perempuan mantan kekasih suaminya itu tertawa melihat pesta ini tidak berjalan dengan lancar, sebab tujuan Vivi adalah untuk membuat Shera sadar diri, bahwa pernikahannya bahagia dan baik-baik saja. Benar. Tujuan Vivi mempertemukan Albi dengan gadis masa lalu ini, untuk memperingatkan semua orang, bahwa Albian sekarang hanya miliknya.“Oh, terima kasih untuk ucapannya. Tentu saja, suamiku pasti segera datang. Dia mencintaiku sangat banyak dan akan terus seperti itu. Tak ada kesempatan untuk perempuan mana pun di matanya, apalagi di hatinya. Tidak terkecuali dengan masa lalu seperti dirimu!” sahut Vivia geram, gigi-giginya saling mengatup ketika menegaskan agar Shera tidak berharap.Sedangkan Shera, dia tertawa kecil menyaksikan kepergian perempuan itu. “Benarkah?” bisiknya sendiri. Kembali dia ketik sesuatu di layar ponselnya dan
“Kau mencintaiku seperti dulu?” kata Shera.Albi mengangguk, mengeratkan pelukannya di tubuh Shera. “Ya, selamanya akan seperti itu.”“Maka jadikan aku satu-satunya orang yang kau cintai. Aku tidak peduli dengan status pernikahanmu, yang aku mau, kita memulainya dari awal.”Tubuh Albian terlonjak ke atas. Albi terkejut, itu yang Shera tangkap dari sikapnya. Shera menampar dirinya ke bawah untuk tidak terbawa perasaan pada lelaki yang kini menatap manik matanya.“She....”“Aku tidak akan memaksa secepat itu. Aku tahu, pernikahan yang sudah berjalan tujuh tahun ini tidak akan mudah kau lepaskan begitu saja. Tapi, jika benar kau mencintaiku dan peduli pada anak kita, tolong yakinkan aku dengan kata-katamu,” potong Shera, sebelum Albi meneruskan kalimatnya.Meletakkan kepercayaan pada Albian adalah hal yang tidak akan pernah Shera lakukan. Sudah cukup satu kali dia terasa seperti akan mati, ketika mempercayai semua janji-janji lelaki ini. Semua ini dia lakukan untuk membuat Albi melupaka
"Vi, di mana Albi? Orang-orang semakin ramai, pesta harus segera dimulai."Suara ibunya datang dari sisi kiri. Vivia yang tengah berusaha menghubungi suaminya, segera melirik."Mungkin sebentar lagi, Bu," sahut Vivi sedikit gugup, memeluk layar ponselnya ke dada. Ibunya tidak harus tahu Vivi tengah berusaha menghubungi Albi yang tidak juga mengangkat telepon.Wanita paruh baya itu mengamati perubahan wajah Vivi, tahu ada sesuatu yang tidak beres di sana."Jangan berbohong. Di mana Albi? Jangan bilang dia tidak menghadiri pesta ulang tahun pernikahannya sendiri," selidik ibu Vivi lagi.Vivi tersenyum, dia usap lengan ibunya untuk menenangkan wanita yang melahirkannya itu."Ibu jangan berpikir yang bukan-bukan. Albi tidak mungkin tidak datang," ucap Vivia, padahal di dalam hatinya juga ragu Albi mungkin tidak akan datang. "Dan kalau pun Albi tidak datang, itu... pasti ada sesuatu yang tidak bisa dia tinggalkan," lanjut Vivi, hatinya tidak rela mengucapkannya.Ervina menghela napas. Seba
“Kau sangat penting bagiku, seperti yang aku katakan terasa ingin mati mencarimu tujuh tahun ini.” Albian mengelus pipi mulus Shera, rasa rindunya terhadap gadis itu memang sudah lama menggebu di dalam dada, sehingga dirasa tak ingin melepaskan malam ini menjadi sia-sia. Tapi, Albi juga tahu bahwa ada hal yang harus dipertahankan dan bahkan lebih penting dari sekedar melepas rindu.“Namun, aku harus meminta maaf.” Dia tarik tangannya dari wajah Shera, lantas mengecup kening gadis itu sangat lembut. “Demi nama baikku di kepolisian, kumohon mengerti untuk malam ini. Aku akan segera menemuimu begitu segalanya selesai, oke?” kata Albi berjanji.Janji bukanlah sesuatu yang baru didengar telinga Shera. Sudah terlalu banyak janji yang membuatnya mual, bahkan terkadang ingin muntah setiap kali teringat dengan janji-janji Albian. Tidak akan dia lepaskan Albi pergi begitu saja, sebelum puas membuat Vivia menderita di bawah sana.“Baik, aku akan membiarkanmu pergi ke bawah sana. Tapi dengan satu