“Lantai tempat makanan bertumpuk.” Di mana lantai dasar AR Town Square dikhususkan untuk semua jenis camilan, sayur hingga buah-buahan, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
“I-itu tempat yang sangat ramai, tuan.” Asisten mengkhawatirkan atasan, dia waswas kalau Aris tahu.
“Kalau begitu kalian paksa perempuan tadi menemuiku di sini.” Wira begitu gusar terhadap gadis penganggu itu.
Langkah sedikit takut milik Bagas menuju arah keinginan tuannya, dari kejauhan Wira memantau. Ia bisa melihat kalau si asisten sedang bernegosiasi dengan dua gadis di sana. Temannya gadis tadi tampak menolak kasar, bahkan mendorong Bagas agar menjauh.
Negosiasi pertama Bagas mendapat penolakan. Kemudian ia berusaha lagi, bukan karena uang saku asisten Wira mengikuti kemauannya, tetapi perintah tuan muda tidak bisa ditolak.
“Dapat, kau.” Gumam sang atasan dari jauh.
Sebab perempuan incaran sudah mengekori asisten, arti
“Perusahaan mereka memang sudah memiliki nama, beberapa perusahaan ada yang menggunakan jasa mereka. Tetapi, tidak bisa digunakan lagi ketika pihak perusahaan menambahkan fitur terbaru, ada pemberitahuan agar memperbarui secepatnya. Bukankah itu menimbulkan rasa malas bagi para pengguna? Kemungkinan mereka enggan lagi memakainya, terlebih para pesaing juga melakukan yang terbaik.” Wira mematahkan argument presiden direktur.“Jadi, Digital Local System lebih baik dari segala hal. Meski objek yang dikeluarkan belum sebaik ET (Enter Technology), karena mereka perusahaan yang baru berdiri beberapa tahun terakhir, kebetulan mereka sedang membutuhkan suntikan dana untuk pengembangan, saya pikir kesempatan ARS Corp mengakuisisi memiliki peluang tujuh puluh persen.” Pria tertua Arasatya kembali menjelaskan keinginan kuatnya kali ini.“Benar perkataan Pak Wira, dengan mudahnya kita membuat pelayanan secara digital untuk pelanggan AR Town Square. Se
Si pria pun menuruti dengan patuh.‘Sejak kapan aku melakukan pekerjaan yang mengerikan seperti itu?’ Kiran mengingat-ingat, mungkin dia pernah berbuat tanpa sadar. Jenis bunga saja cuma satu yang dia ketahui.“Yah… Sayangnya di sini tidak ada tanaman seperti itu.” Perempuan itu berkilah.“Bukan tidak ada, hanya kau tidak mau melihat ke taman. Kurasa ada beberapa bunga berwarna di taman. Coba kau tanyakan pada mama.” Sebab Ningrum penyuka bunga, sebelum ia sekolah ke luar negeri, Wira menyaksikan ibunya menyiram anggrek dan jenis lainnya setiap pagi. Tetapi, ia tidak tahu kalau untuk sekarang, sesekali saja Wira memerhatikan sang ibu berdiri di taman depan.“Kupikir itu tidak perlu.” Kiran tersenyum datar dan terpaksa.***Kiran sedang mengamati gadis cantik penuh pesona sedang duduk membaca sebuah buku. Gadis itu sendirian di meja dengan penerangan api kecil yang lama kel
Demi kertas berharga, Kiran pasrah menerima semua perintah putra tertua Arasatya. Kehidupan bebas yang ia miliki cukup membuat kenangan. Dia harus mulai membiasakan diri dalam peraturan Wira. Gadis mungil itu mengamati lelaki di meja kerja. Sejujurnya ia penasaran pada teman sekamarnya, perjanjian apa di antara Kiran terdahulu dan Wira sebelum pernikahan, sehingga menawarinya untuk menjadi istri pria itu. Yang ia ketahui tentang pernikahan adalah sebuah hubungan naluriah manusia, di mana terdapat prosedur untuk membentuk generasi baru, misal anak yang lucu dan menggemaskan. Sejauh ini, laki-laki itu tidak melakukan apapun, meski ia sendiri akan menolak. “Ada yang salah pada wajahku?” Wira mengejutkan istrinya. “Tidak,” menggeserkan kaki menuju lantai. “Kau baik-baik saja tidur di sofa?” berdiri santai, hanya berbalut celana pendek, menampakkan paha langsing itu pada teman sekamar. Wira dari seberang terbatuk kemudian segera memalingkan muka. “Ya, puti
*Cepatlah, Bayu. Saya ada urusan penting di kantor* Perkataan sekretaris tuan muda di telepon. *Iya, Pak.* Sangat sopan sang pengemudi menyahutnya. “Sekali lagi maaf, nona. Sepertinya anda harus ikut saya ke yayasan ‘Enfanst’.” Nona muda di belakang enggan menimpali, apapun itu ia akan tetap mengunjungi kediaman Riana, ada banyak pertanyaan memenuhi kepala. Kalau tidak disalurkan, bisa-bisa dia gila, karena tidak mengerti tujuan dia hidup sebagai Kiran, istri Wira. *** Kiran memperhatikan dengan cermat tempat yang baru ia singgahi, dia memilih keluar mobil sembari menunggu sopir menemui sekretaris kaku itu. Kemanapun lelaki berseragam itu pergi, Kiran tidak memedulikannya. “Aku merasa pernah melihat tempat ini, cukup tidak asing.” Nona muda menggunakan telunjuk menggaruk-garuk pelan dagunya. “Nona, ayo kita kembali.” Kali ini Aris menemui Kiran, agar mereka segera pergi. Sekretaris putra tertua benar-benar sibuk. “Kalia
Putri Lukman melirik kursi tamu yang terlihat mahal, dipersiapkan untuk para tamu pimpinan ARS Corporation. Gadis itu sedikit ragu, pula mata hitamnya menyapu ke seluruh ruangan, lebih tepatnya menghindar mata coklat terang di sana. Wira meminta sekretaris pergi melalui gerakan mata. Tidak perlu lama untuk menyisakan mereka berdua saja. Kiran menelan ludah seketika, tubuh kecil ini bergerak gelisah, dia benar-benar dilanda kegugupan. “Apa urusan dengan temanmu sudah selesai?” Pertanyaan berbeda dari yang dipikirkan putri Lukman. Lelaki di balik meja berkata lembut. Berputar dengan kursi kerjanya membentuk setengah lingkaran, sehingga menghadap sang istri yang duduk tegap. “Be-belum.” Sahut lawan bicara. “Belum?” “Ya,” Kiran langsung menyambar. “Tadi Bayu menjemput sekretarismu buru-buru, kemudian aku dibawa mereka ke sini, awalnya aku sudah meminta ditinggalkan di rumah temanku saja. Aku… mengganggu pekerjaanmu, ya?” Putri Lukman menundu
Pertanyaan-pertanyaan terakhir yang bisa ia dengar sebelum ambruk pada sisi sofa.Seketika Wira berdiri, “Aris. Bawa istriku ke rumah sakit sekarang!” Bersamaan langkah cepat ia menyambar kunci mobil. Mereka meninggalkan pria paruh baya itu sendirian. Meski tanpa diminta, Lukman pasti mengkhawatirkan putrinya. Wira tak ada waktu untuk sekedar berbasa-basi pada mertua, Lukman sudah tahu apa yang harus dilakukan.“Biar aku yang mengemudi.” Wira membuka pintu kursi belakang, menyuruh sekretaris masuk lebih dulu.Kali ini Range Rover melesat di bawah kendali atasan ARS Corporation. Ada mobil lain mengikuti, dipastikan Lukman yang ingin melihat kondisi putrinya.‘Sial, baru kali ini aku khawatir dengan orang lain selain mama’. pikir Wira.“Aris, coba kau lihat, apa dia masih bernapas?” Sangat polos sekretaris menuruti perintah konyol atasan. Sejujurnya ia mencemaskan sang istri, hanya saja pertany
“Aku mau ke kamar kecil.” Ia tetap berjalan, menghiraukan lelaki di sofa ujung, ia tahu kalau Wira tidak ingin disentuh bahkan mendekat.Laki-laki berkemeja biru tua – dia belum pulang sejak Kiran pingsan dan setia menunggu – tak kunjung melihat perempuan itu kembali, setelah sekian menit ia memantau pintu toilet. Bahkan saat ini ia mondar-mandir di depan pintu tersebut, sebenarnya Wira sedang tidak tenang. Apa Kiran di dalam sana baik-baik saja, bagaimana kalau ada masalah kecil dan sejenisnya? Sesaat lalu dia belum menanyakan apapun untuk memastikan keadaan sang istri.Wira mengetuk pintu setelah ke sana ke mari selama lima menit, “Apa kau baik-baik saja?” raungnya. “Kalau selesai cepatlah keluar, kau belum makan dari siang.” Tidak ada jawaban dari Kiran.Wira mengetuk lagi pintu itu lebih keras, rasa di dadanya semakin besar. Membuatnya menghitung detik dari arloji mahal di pergelangan tangan. Ah, persetan denga
Rakin dengan sikap semaunya mendatangi Wira yang sedang serius mengamati bacaan-bacaan aneh – julukan dari Rakin pada setiap buku kakaknya. Kalau disandingkan, jelas mereka dua manusia berbeda dalam segi keahlian, sifat dan keinginan. Hanya saja, orang lain bisa mengatakan kalau mereka saudara dengan wajah yang memiliki kesamaan. Rakin duduk tak jauh dari sang kakak, melihat laki-laki di depan dari ujung kepala hingga ujung tangan. Jangan harap Wira memberikan suara pertamanya. Lebih baik dia membaca lusinan buku daripada meladeni bocah nakal. “Tidak usah pura-pura, kak. Aku tahu kau memikirkan kakak ipar.” Senyum mengejek mulai ia keluarkan. Lalu ia menggeserkan tubuh agar bersandar pada sofa. “Adikmu siap mendengar curahan hati seorang kakak, tuh.” Rakin kembali mengeluarkan omong kosong seraya mata itu mengamati gerak-gerik Wira. Lelaki di balik meja menghela napas, “Aku mengaku kalah. Benar aku sedang memikirkan Kiran, tapi tidak ada urusannya denganmu. Sekarang