SummerMaret, 2008Ini tahun ketiga mom masih membawaku ke psikiater. Meskipun masih di Springfield dengan rumah yang berbeda dan jarak yang lebih jauh, ia masih membawaku ke rumah sakit yang sama. Kata mom, di sana adalah tempat aku bisa bercerita tentang semua yang kurasakan sehingga aku bisa lebih tenang. Kupikir seharusnya ia juga melakukan apa yang ia perintahkan padaku, sebab ia terlihat sama tidak okenya denganku sejak dad meninggal.Aku sudah lelah dengan hal itu, namun bagaimanapun aku tidak pernah mau punya niat membantahnya jika yang ia utarakan adalah demi kebaikanku, kebaikan kami bersama. Aku tahu mom ingin aku sembuh sepenuhnya. Tapi, aku tahu kepedihan yang kurasakan akan meninggalkan jejak yang tidak akan pernah bisa dihapus. Kecuali, aku benar-benar terkena amnesia total.Tiga tahun. Dan aku masih belum mampu memaafkan mom sepenuhnya karena sudah ikut andil merubah total hidupku. Baginya, membuang segalanya yang dulu adalah jalan terbaik untuk memulai hidup dan menem
Summer Agustus, 2015 Semenjak kejadian malam itu aku tidak bisa segera tidur. Pikiranku melalang buana. Jantungku berdegub kencang ketika memikirkan Cloud. Melihat sorot matanya aku seakan terikat. Bahkan sejak pertama kali kami bertemu, aku tidak mampu melupakannya. Meski awalnya aku merasa agak curiga dan waspada, tetapi rasa nyaman dan tidak takut itu selalu ada ketika aku bersamanya. Ini aneh, tidak biasanya. Ia memang bukan orang asing. Ia adalah Cloud. Cloud penyelamatku dulu. Ia adalah awan yang lembut dan empuk buatku. Aku bertanya pada diriku sendiri, masih segitu berartinya kah Cloud bagiku, padahal sudah sekian lama kami berpisah. Menyadari akan eksistensinya di sekitarku, yang ada hanyalah rasa rindu yang menyergap. Sejak pulang dari Crossfire, aku belum lagi bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku mencarinya lagi, sementara aku tak tahu dimana ia tinggal. Bagaimana aku mencari akun sosial medianya, sementara ponsel dari ibuku kuno. Aku sudah berjanji pada ibuku tidak a
Summer Agustus 2015 “Sedang apa kau di sini?” tanyaku terkejut campur bingung, dan.... senang. Sangat senang. Setelah beberapa hari berlalu, dengan ketidaktentuan, akhirnya aku bertemu lagi dengannya. “Rumahku di sini. Kau...” ia memperhatikanku. Ia menunjuk keranjangku yang masih berisi setengah, “si pengantar koran itu?” tanyanya tak percaya. “Yeah.” Ia masih memandangku tak percaya. Tatapannya menyerobotku. Dan itu membuatku terpaku sejenak padanya. Banyak pertanyaan berjejalan di kepalaku, bagaimana ia bisa tinggal di sini, bagaimana bisa kami bertemu lagi di saat yang tak terduga seperti ini, ia tinggal dengan siapa, bagaimana kabar orang tuanya, apa kesibukannya dan bagaimana ia memandangku sekarang. Pertanyaan-pertanyaan remeh yang jika kuucapkan padanya, kuharap jadi penting. Cloud mendekatiku kilat. Merengkuhku, erat. Menghirup nafas di sela pundakku. Aku tercekat dengan apa yang ia lakukan tiba-tiba. Ingin kutampar pipiku keras supaya tahu ini bukan termasuk mimpi-mimpi
SummerAgustus 2015“Hola, amigos!” teriakan dua orang di depan pintu kamarku yang sudah terbuka sukses mengagetkanku yang sedang memakai sepatu.Aku bangkit. Lalu berkacak pinggang dan menatap tajam pada mereka.Jon memandangku tak bersalah, “Apa? Apa ada yang salah?”“Berhentilah membuat gaduh rumahku!”Kevin melangkah maju. Ia mengorganisir ruanganku, “Kau tahu, kamarmu keren!”Jon pun ikut-ikutan memandangi dinding dan langit-langit kamarku. Ia membeliak padaku tak percaya, “Apa ini perbuatan tanganmu?”“Sebagian. Ya."“Dan sebagian lagi?” tanya Kevin.“Tukang lukis.”Ia mengangkat alisnya sambil masih memperhatikan langit-langitku, “Hem... tidak heran.”“Jadi, kalian mau apa kemari?”“Mengganggumu?” kata Jon.Aku pun mengenakan tas ranselku. Lalu bersiap-siap.“Kau mau kemana?” tanya Kevin.“Maaf, guys. Sepertinya rencana kalian untuk mengangguku hari ini akan batal. Aku mau pergi dulu.” Aku pun segera melangkahkan kaki keluar dari kamar.Mereka mengikutiku.“Hei! Itu tidak menja
Summer Agustus 2015 “Kau bilang kau mau mengajakku ke suatu tempat?” “Memang,” kata Cloud singkat sembari memasang secarik kain hingga menutupi mataku. “Kenapa mataku harus ditutup segala seperti ini sih? Dan kenapa kita harus berjalan jauh meninggalkan mobilmu?” Sedari tadi kami berkendara sekitar setengah jam. Cloud mengarahkan mobilnya ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu ini dimana. Antah berantah mungkin. Ia mematikan mesin di parkiran sebuah pos campground. Dan mengajakku masuk ke areal hutan. “Sudahlah diam saja! Ini kejutan.” katanya kukuh menanggapi protesku. “Cloud! Kau mengajakku ke dalam hutan! Aku tidak pernah tracking tahu! Bagaimana bisa aku berjalan jauh apalagi banyak semak dan pohon besar kalau mataku tertutup seperti ini?” cerocosku mulai panik. Tiba-tiba Cloud menarik kedua lenganku mendekatinya, “Ssst... jangan cerewet seperti itu. Tenanglah Summy! Dengar, Apa kau percaya padaku?” Ia mendekapku begitu erat. Rasa tentram itu menyeruak mengeliling
SummerAgustus, 2015 Pagi setelah mengantar koran seperti biasanya, aku memutuskan mengayuh satu putaran lagi ke jalur sekolah. Sengaja, barangkali aku bertemu dengan Cloud yang rutin jogging setiap pagi. Meski aku tahu, nanti ia akan bertandang ke rumah seperti janjinya sore kemarin saat perjalanan pulang. Tapi, tetap saja aku tidak akan bosan dan masih menggebu-gebu untuk sering bertemu dengannya. Bukankah begitu yang dirasakan seorang gadis ketika pertama kali jatuh cinta. Jalanan masih sepi. Hanya beberapa orang yang melakukan lari pagi. Aku adalah satu-satunya gadis yang bersepeda di sini. Udara masih dingin, tapi menjadi sejuk bagiku karena menyapu keringat dan suhu panas tubuhku. Aku terengah-engah, sejenak ku berhentikan kayuhanku dan berdiam di bawah pohon beberapa langkah dari gerbang sekolah. Kuraih botol minumku. Sembari minum mataku tak berhenti mengawasi sekitar. Aku tak lagi merasa begitu cemas berada di luar seperti ini. Aku sudah mulai terbiasa. Bersepeda begitu mem
Jon Agustus 2015 "Hei..." ia tersenyum manis padaku. Roxie duduk di jok sebelah dan segera menutup pintu.Hari ini gadis yang kukenal sejak kelas 7 itu terlihat agak berbeda. Roxie biasanya cerewet dan agak centil, mendadak pembawaannya lebih tenang dan anggun. Ia memakai kaus putih polos berpotongan pas, skinny hitam menutupi kaki jenjangnya, tak lupa sneakers hitam putih. Rambut yang biasa ia utak-atik model apapun itu terlihat wow. Tergerai indah di punggungnya dan berkilau sehat. Aku sejenak tidak berkedip menatapnya tak percaya. Hanya satu yang masih tetap, anting berlian agak panjang yang menggantung berkilau cantik di telinganya."Apa?!" ia menatapku protes."Wow... Ini Roxie?!"Ia mendelik. "Terus kau pikir ini siapa?""Jennifer Connelly tahun 1991?"Ia mencubitku."Aaauuuw... Itu sakit tahu!""Ini 2015! Haloooo... Kau dari mana saja selama ini?" pekiknya skeptis."Tapi, kau beneran kayak Jenniffer Connelly di Carrier Opportunities. Serius!"Ia memutar bola matanya. "Itu hin
Jon Agustus 2015 "Pertama kali aku melihatmu di lapangan. Aku tahu, kau berbakat." Kalimat pertama yang terlontar dari mulut Roxie sukses menarik perhatianku. Aku belum meresponnya ketika ia menyeretku bergabung dengan anak-anak lain di pinggir tribun. Kami sejenak menikmati permainan beberapa anggota dari tim inti senior. Mereka merayuku bergabung, tapi aku menolak. Selepas beristirahat dan bergurau dengan kami, mereka memilih pergi berkelompok. Kami beranjak ke tengah lapangan basket, setelah yang lain benar-benar pergi semua. Penjaga sekolah tidak begitu khawatir, ia mengerti ini tahun terakhir para siswa senior bisa menikmati bermain di sini. "Jon, kutinggalkan kunci hall padamu. Jam 10 serahkan padaku di depan. Oke?!" katanya sebelum pergi menyisiri tiap ruang gedung. "Siap." Aku beralih ke Roxie. Ia menghabiskan sisa air botol mineral. Lalu menggelindingkan bola padaku yang berdiri memandangi sekitar. "Cepat sekali, ini sudah tahun terakhir. Aku pasti akan merindukan te