"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."
Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....
Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri.
Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab.
Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buruk tentang Om Andri. Lalu kuputuskan untuk segera mengetuk pintu yang sudah setengah terbuka.
"Permisi Om, apa saya boleh masuk?" tanyaku mengintip dari sela pintu. Terlihat Om Andri yang sedang duduk di kursi putarnya memasukkan ponsel ke dalam saku jas putihnya.
Sekilas Om Andri melirik padaku sesaat lalu meraih pena dan selembar status pasien.
"Masuk saja," jawab Om Andri singkat.
Aku lalu masuk ke dalam ruangan Om Andri. Pamanku tersebut ternyata sedang menulis sesuatu di lembar status pasien.
"Ah, Yulia. Kebetulan kamu datang, ada yang perlu Om sampaikan. Kamu duduk dulu ya."
Om Andri menunjuk kursi yang ada di hadapannya dengan pena yang ada di tangannya.
Aku mengangguk. Sambil menebak-nebak tentang apa yang akan dibicarakannya.
"Kamu ... sekarang dekat dengan Romi?" tanya Om Andri memandangku tajam.
Aku membalas tatapan matanya. "Bagi saya, saya dekat dengan semua pasien di sini. Saya menjadi perawat di rumah sakit jiwa ini dan memberikan asuhan keperawatan dengan hati agar mereka lekas sembuh dan keluar dari sini. Apa itu salah?" tanyaku balik.
Om Andri tersenyum .
"Kamu benar. Kamu profesional, cekatan dan cerdas. Saya bangga menerima kamu kerja di sini. Tapi satu hal yang harus kamu pahami. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan pribadi pasien."
"Kenapa Om? Kalau urusan pribadinya yang menjadi pencetus tindakan abnormalnya, bukannya lebih baik kita kaji agar dia lekas waras?"
Om Andri menghela nafas panjang. "Dengarkan Om. Om menasihati ini untuk kebaikan dirimu sendiri. Jangan terlalu akrab dengan pasien dan mengabaikan keselamatan kamu! Terutama Romi. Dia berbahaya. Dan, keluarganya juga," sahut Om Andri.
Aku tersentak. 'Ada apa ini? Kenapa nasihat Om Andri persis dengan nasihat Dimas? Apa seberbahaya itu dekat dengan Romi sampai Om Andri tidak mau kalau aku dekat dengan pasiennya? Padahal diantara semua pasiennya, Romilah yang tampak paling waras,' batinku kembali overthingking.
"Jadi ada keperluan apa kamu kemari? Apa ada yang ingin kamu ketahui tentang pasien atau rumah sakit ini?" tanya Om Andri sambil mencondongkan punggungnya ke arahku, sementara kedua siku tangannya bertumpu pada meja kayu yang menjadi penyekat antara tempat duduk kami.
Aku memandang adik kandung ibuku yang berumur 5 tahun lebih muda dari ibu itu dengan serius. Berpikir sebaiknya sekarang aku main aman dulu. Kondisi sedang tidak mendukung. Ada banyak hal mencurigakan di sini. Salah langkah sedikit, mungkin akan memakan korban. Bisa saja korban jiwa, karena tidak mungkin korban perasaan.
"Saya ke sini cuma untuk menanyakan kapan Roy akan pulang dari tugas. Karena dari tadi, dia saya hubungi tidak direspon."
Mendengar nama anak sulungnya kusebut, wajah Om Andri mendadak berseri-seri. Om Andri memang bangga dengan anak sulungnya yang sekarang sedang menjalani pekerjaannya di markas komando kabupaten sebelah. Walaupun masih muda, tapi pangkat Roy sudah menjadi sersan.
Gaji dan tunjangannya selalu diberikan dan ditabung oleh Tante Anita. Ibunya Roy. Roy hanya mengambil uang gaji seperlunya. Dia jauh dari kepribadian hura-hura. Berperawakan atletis, tegap, dan tampan. Terakhir aku bertemu dengannya saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sayangnya sampai sekarang, Roy tetap tidak mau mengenal gadis manapun.
Kata Om dan Tanteku sih ada seorang gadis yang sangat dicintainya. Tapi Roy masih belum bisa mengatakan perasaan pada gadis itu karena tabungannya masih belum cukup. Itu sih kata Tante Anita dan Om Andri.
"Nanti malam katanya. Kamu nanti kalau pulang dines, tolong belikan bakso Setan di dekat perempatan dekat rumah. Karena bakso itu merupakan makanan favorit Roy," tukas Om Andri serius.
"Bukannya Om juga pulang sekitar jam 2? Kenapa tidak sekalian saja pulangnya?" tanyaku menyelidik.
"Om ada urusan sebentar di luar setelah pulang dinas."
Aku mengangguk. "Baiklah Om. Saya pamit. Mau lanjut kerja."
Aku lalu bergegas keluar dari ruangan Om Andri dengan beberapa rencana yang sudah tersusun di kepala.
***
Aku mengintip ke kamar Romi yang tampak sudah sehat.
"Apa kabar?" tanyaku mendekat. Romi mesam mesem saja tanpa menjawab sepatah katapun. Wajahnya terlihat riang seolah tidak terjadi apapun padanya tadi. Seakan dia lupa telah mengamuk dan nyaris mencekik ibu tirinya.
Aku lalu duduk di dekatnya. "Wah, enak ya makan sop?" tanyaku memandang Romi yang tampak asyik menyuapkan nasi berkuah itu ke mulutnya.
"Sus, tahu nggak apa kepanjangan suster?" tanyanya padaku.
Aku menggeleng. 'Sepertinya keadaannya sudah mendingan. Apa aku harus bertanya soal tanda tangan dan stempel keluarga seperti yang telah kudengar dari Om Andri tadi?'
"Sus ..., Suster Yuli!" Romi berseru memanggilku.
"Eh, iya Rom. Ada apa? Tadi nanya kepanjangannya suster kan? Aku nggak tahu tuh?" jawabku jujur.
Romi tertawa. "Suster itu kepanjangan dari SUSah TERus."
Aku terbengong sedetik. Lalu detik berikutnya aku tertawa terbahak-bahak. 'Kalau aku sih susah terus nyari jodoh kali ya,' batinku geli.
"Kamu ada-ada saja."
Romi tampak berpikir sebentar. "Nggak ding Sus. Suster itu kepanjangannya SUkSes TERus."
"Wah, aamiin. Makasih doanya."
Romi menganggukkan kepalanya. Dan saat aku ingin bertanya tentang percakapan Om Andri di telepon tadi, Romi lebih dulu bertanya lagi.
"Sus, apa bedanya sop yang saat ini kumakan dengan Suster?"
Aku mendelik mendengar pertanyaannya.
"Hm, jelas beda dong Rom, kalau sop itu makanan, sementara kalau aku kan manusia," sahutku.
"Salah Sus! Bukan itu jwabannya!"
"Lalu apa dong bedanya?"
Elah, malah guyonan dengan Romi. Ada-ada saja aku ini!
"Kalau sop ini adalah makan siang. Kalau suster ini adalah makin sayang," jawab Romi tak lupa dengan cengirannya yang khas.
Aku hanya bisa diam dan terpaku. Tahan-tahan, jangan tertawa sambil salto hanya karena digombali pasien rumah sakit jiwa.
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit jiwa ini, pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'
Eehhh!!
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it
Om Andri terkejut dan menatapku. "Apa kamu bilang?"Aku menatap Om Andri lekat-lekat. "Om mau kan menyelamatkan rumah sakit tempat Om bekerja?""Absolutly, Yes!" Seru om Andri yakin."Karena itu mari bebaskan Romi dan bantu memindahkan dia ke tempat yang aman. Gimana?"Om Andri terlihat kebingungan. Akupun menceritakan padanya tentang pengacara Romi dan surat-surat Romi. Tanpa mengikutkan bagian yang dikeroyok para begundal.Om Andri terlihat kaget dan beberapa kali menggelengkan kepala saat mendengar ceritaku."Kamu sangat keren! Aku tidak menyangka kamu begitu berani memperjuangkan rumah sakit jiwa ini!"Aku tersenyum. "Saya hanya tidak ingin para pasiennya terancam tidak punya tempat bernaung. Mereka sudah cukup tergilas oleh ujian mengalami gangguan jiwa. Jika mereka kehilangan rumah sakit ini, saya tidak bisa membayangkan mereka akan kemana selanjutnya. Karena itu Om, mari kita berjuang bersama.""Kamu yakin bahwa setelah Romi kita bebaskan, dia akan menyerahkan sertifikat tanah