Fatya menghela napasnya seraya menurunkan kedua bahunya, "oke-oke, nggak lagi gitu. Kecuali dia nggak bikin gara-gara, si." Ia pun langsung masuk ke dalam mobilnya dan di ikuti oleh yang lain.
"Ya semoga aja kalian nggak akan pernah ketemu lagi! Bahaya!" ungkap Siska seraya menutup pintu.
"Ogah juga ketemu dia! Amit-amit!" Fatya bergidik ngeri lalu menyalakan mesin mobilnya dan bergegas untuk pulang ke rumah orangtua Siska.
Di sepanjang perjalanan Siska banyak tersenyum. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Fatya yang sibuk menyetir pun sama sekali tak menyadarinya.
Bahkan sampai hingga sampai tujuan pun senyuman di bibir manis Siska itu tidak pudar. Masih tetap terukir rapih di wajahnya.
"Heh! Ngapain senyam-senyum?" Fatya menyenggol bahu Siska hingga membuat wanita itu langsung tersentak dan ia pun langsung membenahi ekspresinya.
"Emang kenapa? Nggak boleh, y
Hari yang begitu panjang bagi Siska. Ia menatap langit-langit kamarnya, kamar yang dulunya adalah tempat paling ternyaman di dalam rumah ini sebelum ia menikah. Dan akhirnya kini ia kembali lagi ke sini bersama dengan putri kecilnya.Ia tarik kursi meja riasnya, menatap wajah yang sudah hampir memasuki kepala tiga dalam pantulan cermin. Ia lepaskan jilbab yang menutup kepala lalu melepaskan ikat rambutnya. Dengan perlahan ia menyisir rambut panjang yang mengungsi, senyumnya merekah. Ia pandang dirinya sendiri dengan lekat, membersihkan sisa-sisa make up nya dengan kapas lalu bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.Tak lupa Siska menggelar sajadah untuk melaksanakan 4 rakaat salah dzuhur. Ia tunaikan kewajibannya itu sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah SWT.Setelah selesai,
Abah mengusap kepala Nabila dengan lembut lalu menatap Ilham dengan lekat, "Nabila ini sebenarnya adalah anak dari adik bungsu Abah yang meninggal akibat tertabrak kereta."Nabila bak tersengat listrik dengan tegangan tinggi. Hatinya hancur berkeping-keping, ia menggeleng tak percaya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Begitu juga Ilham yang tak kalah terkejutnya mendengar rahasia yang selama ini telah Abah dan kekuasaan sembunyikan dari Nabila."Dan, Ibumu meninggal sewaktu baru saja melahirkanmu ke dunia ini, Nduk!" imbuh Umi yang duduk di lantai bersama dengan Nabila."Nggak! Nggak mungkin, Umi! Nabila ini anak Abah sama Umi! Ini pasti nggak bener kan, iya, kan?" Tangis Nabila pecah. Kenyataan ini tak pernah ia sangka sebelumnya. Karena memang selama ini tidak ada yang membuatnya cerita. Abah dan Umi selalu menyayanginya hingga ia tak mengira bahwa ia bukanlah anak kandung mereka.Pantas saj
(Pov Siska)Ku tatap dengan lekat wajah mantan suamiku yang sedang duduk termenung di kursi rodanya. Tak ku sangka, ini semua akan menimpa keluargaku.Aku pikir selama ini, hidupku sudah sangat sempurna. Memiliki suami yang sangat baik, pengertian, romantis dan juga tampan rupawan. Di tambah dengan anak yang sangat lucu, menjadikan kebahagiaan yang aku rasakan semakin terasa sempurna.Namun, nyatanya tidak ada satu hal pun yang abadi di dunia ini. Kini semuanya lenyap dari hidupku. Separuh jiwaku sungguh telah menghilang bersama dengan rasa sakit yang telah Mas Ilham torehkan.Aku tak tahu, apa setelah ini aku dapat memberikan sebuah kepercayaan pada laki-laki lagi atau tidak. Rasanya, aku sudah sangat cukup jika harus bersama dengan putri dan kedua orangtuaku saja.Rasa takut dan bayang-bayang diduaka
Siska masih memperhatikan Haris yang sedang menikmati makanannya. Alis yang lebat membuat Haris terlihat sangat laki-laki. Mata coklat cerah, rambut hitam mengkilat, garis rahang yang tegas, bibir kemerahan yang menarik, sedikit belahan di dagunya, semua itu adalah bentuk nyaris sempurna dari seraut wajah.Siska mengakui bahwa lelaki yang ada di hadapannya ini memang berwajah menarik. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya. Sebagai seorang wanita muslimah, memandang laki-laki seperti ini bukanlah hal yang baik.Ia alihkan pandangan ke bunga mawar putih yang mengisi vas bunga yang ada di hadapannya."Saya awalnya speechless loh Mas, tahu kalau ternyata Bosnya Ika itu Mas Haris. Saya kira kalau Mas ini seorang dosen dan juga mengajar di pondok pesantren orangtuanya Nabila, tapi ternyata saya salah ya, hehehe," ujar Siska lalu kembali menyeruput black coffe-nya.Haris menghentikan gerak
Seharian ini Nabila hanya duduk termenung di dalam kamarnya. Meratapi kenyataan bahwa orangtua yang selama ini telah membesarkannya ternyata bukan lah orangtua kandung, walau memang masih satu darah tetap saja ini adalah hal yang sangat mengejutkan bagi dirinya.Berkali-kali ia terus mengutuk dirinya sendiri atas nasib buruk yang bertubi-tubi datang, menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki tubuh yang utuh itu saja bagi Nabila sungguh sangat menyusahkan, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa menyenangkan dirinya dan sekarang harus di tambah lagi dengan kabar malang ini."Kenapa begini, Ya Allah. Kenapa? Hamba hanya ingin kebahagaian, kenapa sangat susah sekali?" batin Nabila, kedua matanya sembab hingga terasa berat.Di dalam kamarnya, kini Nabila hanya memakai baju tidur piyama, ia tidak mengenakan jilbab. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang itu sangat acak-acakan, cairan bening dari telaganya tak berhenti mem
[Sis, hari ini saya nggak bisa ke kantor. Jadi, tolong kamu periksa berkas-berkas yang ada di meja saya, ya! Kalau ada dokumen yang harus saya tanda tangani pisahin aja dan taruh di laci saya.]Layar ponsel Siska menyala. Ada pesan masuk. Siska yang tengah menikmati sarapannya pun menghentikannya sejenak dan meletakkan sendoknya.Dari layar pemberitahuan Siska membaca pesan perlu masuk ke aplikasinya. Ternyata pesan berasal dari Haris. Pria yang sudah dua hari ini menjadi Bosnya."Makan dulu to, Nduk!" seru Ibu."Eh, iya, Bu. Ini loh Mas Haris bilang kalau hari ini dia nggak bisa ke kantor. Jadi, aku yang di suruh buat periska berkas-berkas yang ada di mejanya," balas Siska lalu jemarinya mulai membalas pesan dari Haris itu.[Baik, Mas. Nanti saja akan periksa. Memangnya Mas hari ini kemana?] - batal mengirim pesan."Eh, layaknya nggak usah nanya, deh.
Kedua mata Dewi membulat sempurna melihat Ika yang sudah berdiri tegap di ambang pintu dan menatap dirinya dengan tajam."Dipanggil Direktur tuh kamu, Dew. Lagian ngapain juga kamu di sini? Masih pagi juga udah ngerumpi aja, ini kantor!" ucap Ika sinis dengan nada suara yang tinggi."Apaan si, Dew. Ini juga belum masuk jam kerja. Lagian lo kenapa juga dari kemarin marah-marah terus?" balas Dewi dengan ketus, ia lama-lama merasa jengah dengan Ika yang sangat berlebihan.Jam kerja baru mulai lima belas menit lagi, jelas saja Dewi tidak suka dengan cara Ika berbicara. Sangat tidak sopan dan arogan menurutnya. Kalau memang dipanggil Direktur kan juga bisa bicara dengan baik-baik, tidak perlu marah seperti ini."Kenapa? Nggak suka? Masih untung aku ngasih tau kamu, kalo enggak ya udah kena marah sama Direktur!" balas Ika seraya memutar kedua bola matanya malas."Sebenernya lo lagi ada
Semua orang sedang berbincang-bincang hangat di ruang keluarga. Namun, tidak dengan Siska. Seharian ini ia merasa tubuhnya sangat letih, hingga ia memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya terlebih dahulu.Karena adzan mahgrib sudah berkumandang, Ilham dan juga Haris pun salat berjamaah di rumah Bapak bersama dengan Siska, Ibu dan tentunya Aqila juga ikut walau kadang kala gadis kecil itu tak melakukannya dengan benar.Setelah selesai mereka pun kembali lagi ke ruang keluarga."Jadi Mas ke sini niatnya mau bawa Qila sehari saja, Sis. Dan itu pun kalau kamu mengizinkannya," ucap Ilham dengan sangat hati-hati.Dan Siska masih diam tak bergeming. Ia masih memikirkannya dahulu, sebenarnya yang ia takutkan adalah Nabila. Siska takut jika sampai Nabila berbuat yang macam-macam dengan Aqila.Bukannya Siska mau berseuduzon. Tapi, setelah beberapa kejadian yang telah terjadi beberapa