Andien menumpang Borne dan Debby dalam perjalanan pulang dari Bandung. Dirga yang belum bisa meninggalkan Papanya, meminta tolong pada Borne agar mengantar Andien sampai ke kediamannya di Bogor.
"Kedai buka non?" tanya Borne pada Andien.
"Buka. Mau mampir makan dulu?"
"Iye. Laper gue abis dihajar Bang Irgi."
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi netranya belum juga terpejam. 'ting!' Bunyi notifikasi ponsel membuatnya terbangun untuk meraih benda pipih itu di atas nakas. [Ace]Baru banget sampe dari RS. Already miss you. Sleep tight baby.
Beberapa hari kemudian. "Halo sayang..." Sapa Andien hangat kala mengangkat panggilan telpon dari Dirga malam itu. "Hey baby... Aku lagi di jalan. Baru keluar dari unit. Mau ke rumah sakit, nemenin Ian. Meta mau lahiran." "Oh, aku besok inshaaAllah ke sana ya sayang. Ga mungkin aku malam-malam begini pergi."
"Dilarang ngomongin orang yang lagi tidur!" Ian bergumam dengan mata yang masih terpejam. "Bangun juga lo." "Bangunlah, kalian ngegibah di samping kuping gue!" Andien dan Meta terkekeh bersamaan.
"Ditya? Ditya kan? Raditya Baskara?" sapa Andien. Ditya tertegun menatap Andien. Tak pernah disangkanya, perempuan yang menjadi rival Viona kini ada di hadapannya. Dan wanita ini mengenalnya? "Iya. Maaf siapa ya?" "Gue Keinara. Kita pernah satu fakultas waktu kuliah dulu. 'lo jangan pingsan dulu', lo inget?"
“Dan kalau Dirga tau, menurut lo apa yang akan Dirga lakukan? Apa dia masih mau kembali pada Vio sementara sudah sebegitu sakitnya Vio memperlakukan dia?” Jeda, Andien menarik napasnya panjang sebelum menuntaskan kalimatnya. "Vio yang mengkhianati Dirga! Lo tau sakitnya orang yang dikhianati Dit?" "Vio berkali-kali mengkhianati gue." Lagi, Andi
Dirga masih diam. Andien meremas-remas jemarinya. Mulai gelisah karena dinginnya sikap Dirga. Ia tau, Dirga pasti menyembunyikan sesuatu tentang Ditya. Di saat yang bersamaan, Andien ragu apakah harus memberi tahu Dirga tentang kondisi kesehatan Viona. Viona memang bersikap keterlaluan pada mereka, tetapi Andien juga tak mampu menepis rasa empatinya saat mengetahui rivalnya itu menderita salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh kaum hawa. Lampu merah di hadapan mereka menyala. Para seniman jalanan mulai menunjukkan warna suaranya. Andien tak tahan, ia memutuskan untuk b
"Maaf sayang..." Lirih Andien. "Aku tau Vio sakit. Tadi aku di panggil Bang Irgi karena itu. Bang Irgi ga sengaja lihat Vio waktu mau kemo kemarin." "Oh" "Yang dibilang teman kamu itu benar. Kondisinya memang cepat memburuk beberapa minggu belakangan. Operasi harus secepatnya dilakukan, tapi dia menolak." "Lantas?"
Dirga membuka kedua netranya, memandang Andien lekat. Andien mengangguk. Dirga pun tersenyum. "That's called makeup kiss! But after we married, every time you piss me off, there would be make out sex!" Andien tertawa. Mencubit hidung kekasihnya itu. "Ya ampun, aku gampangan banget ya. Hari pertama kita ketemu lagi, aku langsung mau diajak pacaran, menyambut ciuman kamu dengan suka hati. Terus sekarang udah dipegang-pegang dong. Astaga!" Dirga terkekeh. "Nanggung kan sayang? Tuntasin aja yuk?" Andien menggeleng. Dirga cemberut memajukan bibirnya. "Sayang, aku udah lepas KB." Ekspresi Dirga langsung berubah. Wajahnya bingung dan terkejut di saat yang bersamaan. "Kamu lagi terapi nutrisi kan? Kak Nisa dan Hana cerita. Minggu lalu mereka ke Bogor, kita sempet jalan sambil gibahin kamu." "Astaga!" Andien tertawa. "Sejak kapan buka KB?" "Beberapa hari setelah kamu kasih cincin ini ke aku. Kupikir kalau ada rencana menikah seperti ini, aku perlu persiapan juga. A