Dirga masih diam.
Andien meremas-remas jemarinya. Mulai gelisah karena dinginnya sikap Dirga. Ia tau, Dirga pasti menyembunyikan sesuatu tentang Ditya. Di saat yang bersamaan, Andien ragu apakah harus memberi tahu Dirga tentang kondisi kesehatan Viona. Viona memang bersikap keterlaluan pada mereka, tetapi Andien juga tak mampu menepis rasa empatinya saat mengetahui rivalnya itu menderita salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh kaum hawa.
Lampu merah di hadapan mereka menyala. Para seniman jalanan mulai menunjukkan warna suaranya. Andien tak tahan, ia memutuskan untuk b
"Maaf sayang..." Lirih Andien. "Aku tau Vio sakit. Tadi aku di panggil Bang Irgi karena itu. Bang Irgi ga sengaja lihat Vio waktu mau kemo kemarin." "Oh" "Yang dibilang teman kamu itu benar. Kondisinya memang cepat memburuk beberapa minggu belakangan. Operasi harus secepatnya dilakukan, tapi dia menolak." "Lantas?"
Dirga membuka kedua netranya, memandang Andien lekat. Andien mengangguk. Dirga pun tersenyum. "That's called makeup kiss! But after we married, every time you piss me off, there would be make out sex!" Andien tertawa. Mencubit hidung kekasihnya itu. "Ya ampun, aku gampangan banget ya. Hari pertama kita ketemu lagi, aku langsung mau diajak pacaran, menyambut ciuman kamu dengan suka hati. Terus sekarang udah dipegang-pegang dong. Astaga!" Dirga terkekeh. "Nanggung kan sayang? Tuntasin aja yuk?" Andien menggeleng. Dirga cemberut memajukan bibirnya. "Sayang, aku udah lepas KB." Ekspresi Dirga langsung berubah. Wajahnya bingung dan terkejut di saat yang bersamaan. "Kamu lagi terapi nutrisi kan? Kak Nisa dan Hana cerita. Minggu lalu mereka ke Bogor, kita sempet jalan sambil gibahin kamu." "Astaga!" Andien tertawa. "Sejak kapan buka KB?" "Beberapa hari setelah kamu kasih cincin ini ke aku. Kupikir kalau ada rencana menikah seperti ini, aku perlu persiapan juga. A
"Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.""Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh.""Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan keluarga besar Bapak Hamdan Hanafi Tachsin dan Ibu Rosi Karenina Putri menyambut dan mengijinkan kami bersilaturahmi ke tempat yang inshaaAllah dimuliakan Allah ini.
Andien dan Sandra sedang berbalas canda dengan Hangga dan Disti ketika Debby mendekati keduanya. "Hangga, Disti... Aku pinjem Andien dulu ya." Ujar Debby, lalu mengedipkan sebelah matanya pada Sandra. Sandra terkekeh pelan. "Ngerti deh gue." "Apaan, Kak?" tanya Disti. "Biasa, puber kedua! Ga tuntas tadi!" Jawab Sandra asal.
Para tamu satu per satu meninggalkan kediaman Andien. Tersisa Hamdan, Rosi, Kiano, Kenan, Ian, Meta, Borne, Debby, Edo, Hana, Sandra, Dewa, serta anak-anak mereka, yang tentu saja tetap membuat rumah sederhana itu terasa begitu penuh tapi menyenangkan di saat bersamaan. "Lo dari sini langsung balik, bro?" tanya Ian pada Borne. "Ngga. Naik gue. Udah janji sama Ben naik kuda. Debby juga mau jajan apaan tau. Balik besok." Jawab Borne.
Ditya menoleh ke sumber suara, menatap Dirga yang seolah memancarkan laser dari kedua netranya, berang.Pria itu sudah berdiri tegak di belakang kursi Ditya. Andien menarik napas panjang. Paham kekesalan Dirga, dan jua paham keputusasaan Ditya. Andien beranjak dari kursinya, berjalan mendekati Dirga, menautkan kembali jemari mereka. "Dit, sebentar ya. Gue ngobrol sama Dirga dulu." "Ga ada yang perlu diomongin tentang perempuan itu. Itu kesepakatan kita! Kamu lupa?" Dirga tersulut emosi.
Ditya menatap Dirga dalam. Ia tau akan begini akhirnya. Jauh di dalam hatinya, ia pun ingin bersikap seperti Dirga. "Gue minta maaf. Kalau dulu gue tau Vio menjalin hubungan dengan lo, gue bisa pastiin ga akan menikahi dia. Bahkan gue baru tau tentang lo waktu lo nguntit gue dari Tanamera ke sini. Itupun sebagai penguntit Vio, bukan sebagai cowonya Vio." Ditya merasa ada yang meremas hatinya. Mendengar pria yang paling ia benci meminta maaf bahkan bukan karena kesalahan pria itu, membuatnya benar-benar merasa kalah.
Dirga dan Andien membiarkan Ditya menikmati makanannya. Pria itu makan dengan tak semangat, tetapi perlahan tetap dihabiskannya. Mungkin karena tak enak hati dengan tuan rumah. Hari beranjak semakin malam. Aroma rintik hujan yang bersapa dengan tanah kering mulai menyapa penciuman. Ditya pamit pada Andien. Andien masuk ke rumahnya memanggil Abah dan Ummah agar Ditya bisa segera berpamitan. "Saya pulang dulu Om, Tante. Terima kasih sajiannya." "Tinggal di mana, nak?" tanya Rosi. "Kalibata, Tante." "Ummah. Panggil Ummah. Saya ga suka dipanggil Tante. Ini Abah suami saya, bukan Om-om." Ditya tertawa pelan. Saat itu ia merasakan ada yang menggelitik di indera penciumannya. Tangannya terulur menyentuh hidungnya, cairan merah mewarnai jari dan telapak tangannya. Ditya akan menengadahkan kepalanya menatap ke langit-langit, tetapi Dirga yang berdiri di sampingnya menahan kepala belakangnya. "Nunduk, jangan nengadah!" titah Dirga. Andien m