Share

BAB 5.

Dengan langkah ogah-ogahan Kanisa menuruni setiap anak tangga yang di laluinya bersama dengan Tendero yang setia berada di sisinya. Pria itu benar-benar tidak mau melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, padahal Kanisa sudah berulang kali mencoba menyingkirkan tangan pria itu, bukannya menyingkir pria itu justru malah semakin mempererat rengkuhannya sampai tidak ada lagi jarak di antara mereka. Kanisa mendelik kesal pada Tendero yang tampak biasa-biasa saja bahkan dia terkesan santai tanpa merasa terganggu dengan mood Kanisa yang buruk.

Kedatangan Tendero dan Kanisa mengundang banyak pasang mata menatap ke arah pasangan yang terlihat tampak serasi itu dengan pandangan mengagumi sekaligus penasaran. Tanpa melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, Tendero melempar senyum ramahnya pada para tamunya yang sudah menghadiri pesta yang dia adakan.

Tak sedikit pula banyak tamu yang mulai silih berbisik tanpa melepaskan tatapannya dari sosok Tendero terutama dari Kanisa yang merasa asing di mata mereka. Bagaimana wanita itu bisa bersanding dengan Tendero dan apa status Kanisa dikehidupan Tendero menjadi pertanyaan yang banyak diajukan oleh para tamu yang hadir di sana, tapi sayangnya mereka hanya bisa mengajukan pertanyaan itu dikepala mereka masing-masing karena tidak berani untuk mengungkapkannya secara langsung.

Melihat raut wajah Kanisa yang semakin murung membuat Tendero semakin menarik wanita itu dekat padanya lantas berbisik pelan, “Jangan membuatku kesal dengan wajah murung yang kau tunjukan itu Kanisa. Tersenyumnya, setidaknya kau harus tahu sopan santun terlebih ini di depan banyak tamu.”

Bagi orang-orang yang melihat adegan itu tampak terlihat romantis bahkan banyak dari para tamu dibuat gemas dengan cara interaksi kedua pasangan itu meski kenyataan yang sesungguhnya tidaklah seperti yang mereka duga.

“Tersenyum Kanisa,” peringat Tendero dengan suara pelannya dia kemudian tersenyum dan berbincang hangat dengan beberapa partner kerjanya yang sudah bersedia datang ke acara pesta Tendero.

Awalnya Kanisa tidak ingin mengindahkan perkataan Tendero kepadanya beberapa menit yang lalu namun setelah dipikir lagi ternyata Kanisa tidak mudah untuk mengacuhkan sekitarnya. Pasalnya banyak dari tamu-tamu pria itu yang mendekatinya secara terang-terangan, mengajaknya berkenalan bahkan mengobrol untuk beberapa saat sebelum berganti mengobrol dengan yang lainnya.

Sepanjang acara itu Kanisa juga harus terus mengembangkan senyum ramahnya lebih tepatnya dia berpura-pura tersenyum. Padahal kenyataanya Kanisa benar-benar sangat enggan berada di tengah-tengah pesta itu yang menurutnya sangat tidak cocok bagi Kanisa. Kanisa tidak terbiasa berada di tengah-tengah pesta megah macam bangsawan. Belum lagi dengan banyaknya orang yang memerhatikan dirinya dan banyak juga dari mereka sok ingin kenal dekat dengannya padahal Kanisa tahu betul bahwa mereka hanya penasaran saja terhadapnya karena kedekatannya bersama Tendero. Jika saja sekarang Kanisa tidak bersama pria itu mereka semua mana mau bersusah payah mengakrabkan diri kepada Kanisa, menyapa bahkan terkesan perduli kepadanya. Bagi Kanisa orang-orang semacam mereka itu tidak lebih dari pencitraan saja karena Kanisa hapal betul tingkah orang-orang semacam itu.

Kanisa bergerak risih karena terus direngkuh oleh Tendero, sekalipun pria itu tidak juga melepaskan dirinya seolah Tendero takut kalau Kanisa akan kabur darinya, padahal itu memang kenyataan. Sejak dari tadi Kanisa terus memutar otaknya, memikirkan cara kabur dari pria itu. Di antara pesta itu Kanisa berencana untuk kabur tapi Kanisa harus pandai-pandai memilih waktu agar dia bisa kabur sempurna dari Tendero.

“Bisa kau lepaskan aku, aku risih,” bisik Kanisa pada Tendero lantas tersenyum kecil saat matanya tanpa sengaja berpapasan dengan wanita yang berjalan melewati Kanisa dan Tendero.

“Kenapa aku harus melakukannya,” balas Tendero santai tanpa memperdulikan raut wajah kesal yang diperlihatkan wanita itu kepadanya.

“Aku ingin ke kamar mandi,” ucap Kanisa dengan nada lembutnya, dia berusaha membuat pria itu mempercayainya.

“Kau pikir aku akan percaya, kau ingin kabur dariku Kanisa.”

“Tidak, aku tidak akan kabur darimu. Aku benar-benar ingin ke kamar mandi, aku sudah tidak tahan. Please, ijinkan aku pergi hanya sebentara saja.” Kanisa memperlihat wajah memelasnya kepada Tendero.

Tendero menatap wajah wanita itu lekat-lekat sebelum akhirnya menganggukan kepalanya membuat Kanisa langsung bersorak girang di dalam hatinya, dia bahagia namun tidak memperlihatkan itu kepada Tendero, Kanisa berusaha keras menutupi kebohongannya kepada pria itu agar Tendero tidak mencurigainya kalau Kanisa berniat akan kabur dengan alibi pergi ke toilet. Kalau Tendero sampai mengetahui rencananya itu bisa gawat.

“Jangan lama-lama, aku menunggu. Dan jangan coba-coba kabur atau kamu akan tahu akibatnya,” bisik Tendero tepat ditelinga Kanisa. Pria itu bahkan menyempatkan diri menggigit kecil telinga Kanisa mebuat Kanisa menahan diri untuk tidak memukul pria itu yang seenaknya berbuat mesum di tengah-tengah keramaian pesta.

“Dasar bajiangan mesum!” batin Kanisa, dia melempar senyum tipisnya kepada Tendero kemudian Kanisa pun pergi dari hadapan pria itu begitu Tendero akhirnya melepaskan rengkuhannya.

Kanisa berjalan cepat menuju toilet, tanpa perlu menoleh kebelakang pun dia sudah sangat tahu bahwa mata tajam pria itu terus tertuju kepadanya. Sampai Kanisa merasakan panas pada punggungnya karena Tendero tidak berhenti menatapnya dengan jenis tatapannya yang mampu membunuhnya detik itu juga.

Kanisa menetralkan nafasnya yang berderu cepat serta detak jantungnya yang berdetak hebat. Pengaruh Tendero benar-benar membuat Kanisa merasa tertekan dan juga takut di saat yang bersamaan meski rasa marah juga tidak kalah mendominasi Kanisa terhadap Tendero mengingat pria itu sudah menghancurkan masa depannya dan melecehkannya.

“Baiklah Kanisa, ini bukan saatnya kau memikirkan soal pria itu. Ini adalah kesempatanmu untuk kabur darinya,” batin Kanisa. 

Kanisa melirik kebelakangnnya dengan gerakan pelan dan takdir sepertinya sedang berpihak kepadanya. Kanisa melihat Tendero tampak sibuk dengan beberapa tamu prianya, tubuh pria itu bahkan tidak terlihat karena orang-orang yang mengelilingi Tendero tampak tinggi-tinggi sehingga Tendero tenggelam di antara mereka.

Selain memiliki tubuh yang tinggi-tinggi mereka juga memilik paras yang lumayan sempurna, tegas, berwibawah tapi juga menyeramkan di saat yang bersamaan. Meski pembawaan dan aura yang dipancarkan Tendero juga tidak jauh berbeda seperti pria-pria itu tapi mereka justru terlihat jauh lebih berbahaya dari Tendero Kanisa bisa merasakannya meski jarak mereka terpaut cukup jauh terutama pria yang memiliki rambut berwarna merah menyala. 

Tatapan tajam dan wajah yang tegas semakin menguarkan aura leadernya yang begitu mendominasi, tegas, kejam dan cool di saat yang bersamaan. Kanisa sampai berigidik melihatnya meski itu hanya untuk sesaat, tidak kebayang jika Kanisa berada di dekat pria itu dalam jarak sangat dekat mungkin Kanisa akan mati saat itu juga.

Setelah memastikan Tendero tengah sibuk dengan tamu-tamunya yang telihat paling penting di antara tamu lainnya itu, Kanisa pun segera mengambil kesempatan itu dengan diam-diam membelot ke arah lain sambil menatap sekelilingnya dengan seksama, perasaan Kanisa sekarang terasa begitu was-was dan takut. 

Adrenalinya benar-benar berpacu cepat saat Kanisa berjalan keluar dari pintu belakang mansion, pelan Kanisa menatap tajam sekelilingnya untuk memastikan apakah ada penjaga yang berjaga dan memang ada beberapa penjaga yang berjaga di belakang mansion Tendero. Tapi Kanisa juga tidak bodoh, dengan menggunakan otak cerdiknya Kanisa diam-diam melangkah pergi dari mansion itu melewati gerbang belakang mansion di saat para penjaga lengah terhadapnya entah itu karena mereka terlalu bodoh atau karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing tapi Kanisa cukup merasa lega karena akhirnya dia bisa terbebas juga dari Tendero semoga saja setelah ini Kanisa tidak berurusan lagi dengan pria kejam dan brengsek itu.

“Aku harus pergi sejauh mungkin darinya, jangan sampai dia menangkapku kembali,” gerutu Kanisa sambil terus berlari menjauh dari kediaman Tendero tanpa Kanisa ketahui bahwa kepergiannya itu berhasil ketahuan oleh seseorang. Orang itu tampak tersenyum miring lantas dengan langkah riangnya dia masuk ke dalam rumah Tendero.

“Hey bro, selamat atas bertambahnya usiamu,” ucap pria itu menepuk bahu Tendero sambil tersenyum lebar.

Tendero ikut tersenyum dan memeluk pria yang baru saja memeluknya itu dengan gaya khas seorang pria.

“Terima kasih, aku pikir kau tidak akan datang ke acara yang aku adakan ini,” ucap Tendero menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya, maklum saja, pria itu terlalu sibuk sehingga jarang berkumpul dengan Tendero dan teman-temannya yang lain.

“Kebetulan aku sedang tidak sibuk jadi kenapa aku tidak datang saja ke pesta ultahmu ini, toh kita juga sudah lama tidak berjumpa,” ucapnya terdengar santai.

“Tapi kenapa kau memilih datang melalui pintu belakang, kenapa tidak lewat depan?” tanya Tendero.

“Malas saja. Lewat depan terlalu di sorot. Jadi aku datang lewat pintu belakang.”

“Quan Xi ge memang tidak pernah berubah. Selalu seperti itu, tidak ingin menjadi pusat perhatian tapi gayamu justru membuatmu banyak orang untuk memerhatikanmu,” sahut Candelo Zhong mencibir pria itu.

Pria yang disebut Quan Xi itu terkekeh mendengarkan penuturan laki-laki seputih susu dengan rambut pirang dihadapannya itu.

“Tapi dengan datang dari belakang aku jadi melihat sesuatu yang menarik loh,” ucap Quan Xi lantas tersenyum misterius membuat teman-temannya yang tidak lain adalah sekumpulan bos mafia dari berbagai belahan dunia itu langsung menatap penasaran pada Quan Xi terutama Tendero.

“Memangnya hal apa yang kau lihat di belakang mansionku?” tanya Tendero semakin melebarkan senyum dibibirnya.

“Sesuatu yang akan memancing emosimu.”

“Apa ada penyusup?” tebak Xavinje Nolan.

Quan Xi menggeleng, “Bukan. Tapi aku melihat seorang gadis cantik kabur dari mansionmu secara diam-diam. Ciri-cirinya mirip sekali dengan wanita yang menjadi tawanan barumu,” ucap Qian Xi membuat Tendero yang mendengar itu langsung menggertakan gigi-giginya, kedua tangannya mengepal keras.

Tendero terlihat berang, perubahan emosi pria itu tampaknya bisa terbaca sempurna oleh teman-temannya lantas tanpa pikir panjang lagi Tendero langsung pergi dari kumpulan teman-temannya itu.

“Kanisa, aku sudah memperingatimu dari awal. Rupanya kau ingin bermain-main denganku,” guman Tendero. Dia mengambil langkah besar-besar keluar dari mansionya lewat pintu belakang untuk memburu Kanisa dan menyeretnya kembali ke mansionnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status