"Evan? Kamu udah sadar?" tanya Sasha saat melihat Evan membuka matanya. Ia segera memanggil Daniel dan mengabarkan jika Evan sudah sadar. Saat itu adalah pagi hari, di hari Sabtu. Sasha dan Daniel berdiri di samping tempat tidur, menatap Evan yang masih mengedip-ngedipkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya kamar yang terang. "Ini Van minum dulu," Sasha menyorongkan segelas air lalu membantu Evan duduk, membuat Daniel menatap kurang suka ke arah mereka. Di matanya tetap saja Evan adalah seorang penjahat yang menerima konsekuensi atas apa yang dipilihnya. Sasha tidak perlu merasa berhutang budi pada seseorang yang urung melakukan kejahatan kepadanya karena kepentingan dirinya sendiri. Itu konyol namanya! "Jadi sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Sasha setelah Evan sudah sepenuhnya tersadar. Daniel memasukan kedua tangannya ke saku celana trainingnya, menunggu jawaban Evan. "Gak ada apa-apa, saya dipukulin dan dikeroyok sama entah preman pelabuhan atau orang suruhan Olivia dan ditus
"Baby, are you okay?" tanya Daniel saat melihat Sasha meringis memegang perutnya."Perut aku sakit banget," jawab Sasha, wajahnya tampak pucat.Dengan sigap Daniel berlari menghampiri Sasha, ia baru saja sampai di Penthouse setelah lembur bekerja. "Kita ke dokter aja ya, aku takut ada apa-apa sama kamu dan baby kita," tukas Daniel, wajahnya benar-benar khawatir. Setelah itu Daniel mengeluarkan kursi roda yang memang sudah ia siapkan untuk keadaan darurat, lalu menggendong Sasha ke atas kursi roda dan mendorongnya menuju pintu keluar Penthouse. Di atas kursi roda Sasha memejamkan mata merasakan sakit yang teramat sangat di perutnya. Di mobil Sasha memejamkan mata, berusaha menetralisir rasa sakitnya. Ia mengelus perutnya lembut, mengatakan pada janinnya untuk bertahan karena Mommy dan Daddy sangat menantikan kehadirannya. Namun tiba-tiba ia merasakan aliran hangat di sela pahanya, ia merabanya dan langsung berteriak histeris, membuat Daniel terkejut dan langsung menepi. "What happen
Dua minggu sudah berlalu sejak Sasha kehilangan janinnya di usia kandungannya yang baru menginjak empat bulan. Sasha tak bisa berhenti menyalahkan dirinya atas kehilangan tersebut. Ia mengurung diri di kamar, enggan melakukan apapun. Hanya tidur dan menangis. Daniel dengan sabar menenangkan Sasha dan mengatakan bahwa semua yang terjadi bukan kesalahannya. Namun Sasha tentu saja tak mau mendengar. Ia membenci dirinya sendiri dan merasa tak berharga. Sampai akhirnya Daniel terpaksa menceritakan semuanya pada Raga, karena mungkin Raga bisa membantu Sasha untuk kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Ada rasa cemburu di hati Daniel karena ikatan hati antara Sasha dan Raga terjalin teramat kuat, mengalahkan ikatan antara Sasha dan Daniel, walaupun mereka adalah suami istri yang saling mencintai. Atas usul Gianna, akhirnya Daniel membujuk Sasha untuk berlibur ke Australia agar bisa mengobati rasa kehilangannya. Karena Daniel sudah tahu bahwa Sasha akan menolak ajakannya, maka ia menyiap
"Lo bercanda kan Ga?" tanya Sasha yang masih tak percaya dengan kata-kata Raga. Bagaimana mungkin Raga bisa terus mencintai Sasha setelah apa yang terjadi belakangan. Apalagi Raga secara intens menghabiskan waktu dengan Gianna, Sasha pikir Raga akan jatuh cinta pada Gianna dengan mudahnya, namun ternyata faktanya membuat Sasha hanya terperangah tak percaya. Raga menghela nafas panjang, "Tapi gue udah lebih dewasa kok Sha, gue udah lebih bisa nerima semuanya, please jangan merasa gak nyaman cuma gara-gara gue masih punya rasa yang sama buat lo, karena gue sama sekali gak ada niatan buat ngerusak hubungan kalian, cinta gue ya cuma gue aja yang rasa," ujar Raga seraya menatap lurus ke jalanan yang lengang. Sasha menghela nafas, menggosok wajahnya dengan kedua tangan, masih terkejut. Ia melirik Raga yang terlihat sangat segar dan bugar di luar, namun ternyata rapuh di dalam. "Lo yang paling ber hak atas perasaan lo, gue gak berhak buat nyuruh lo berhenti mencintai gue walaupun gue ngera
Hari itu setelah seharian berjalan-jalan keliling Melbourne, Sasha dan Raga menghabiskan malam dengan menonton film bersama. Mereka duduk di ayunan yang ada di halaman depan, dengan layar dan proyektor yang memutarkan film klasik perancis yang direkomendasikan oleh Raga. Sasha memegang erat mug besar yang berisi cokelat panas sambil matanya fokus menatap ke arah layar. Raga yang sudah menonton film tersebut berkali-kali lebih tertarik menatap wajah Sasha dari pada menatap ke arah layar. Sasha yang sedang serius sama sekali tak menyadari jika Raga sedang menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. "Emangnya ada ya orang kayak gitu di dunia?" tanya Sasha saat melihat si pemeran utama pria yang rela mati demi si wanita. "Ada," jawab Raga datar. Sasha menoleh, matanya bertemu mata Raga yang sejak tadi belum berpaling. "Oh ya, siapa?" tanya Sasha mengerutkan keningnya. "Gue," sahut Raga masih menatap wajah Sasha. Membuat jantung Sasha berdebar. "Gue mau, ngelakuin apapun biar lo tetap hi
Sasha masih berusaha untuk terus menarik perhatian Daniel supaya Daniel segera tersadar dengan situasi yang ada. Namun Daniel seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, ia tak menggubris apapun yang Sasha katakan, membuat Sasha mulai merasa sangat terasingkan. Raga yang mengamati dari jauh mulai merasa iba pada Sasha. "Kalian pulang ke rumah aja, biar gue yang jaga Gianna," tukas Raga pada Daniel dan Sasha yang sedang duduk bersebelahan. Sasha menoleh menatap Daniel, menunggu Daniel menjawab. Daniel mendongak, "No, I'm good, I will stay in here. Sha, kalau kamu mau pulang it's okay, Raga bisa antar kamu sampai rumah," jawaban Daniel membuat dada Sasha sesak seketika, jadi apakah kunjungan ke Australia kali ini adalah sebuah kesalahan? Raga yang melihat Sasha gemetar mulai murka, "For God Sake Daniel! Sasha is your wife and Gianna is my wife! I will take care of my wife and would you please take care of your wife!" bentak Raga dengan wajah memerah, tidak ada satu orangpun yang bole
Sasha membuang simcard ponselnya ke dalam toilet bandara saat ia telah sampai di terminal kedatangan bandara soekarno-hatta. Sepertinya untuk saat ini ia tak akan sanggup untuk berkomunikasi dengan siapapun yang berkaitan dengan Daniel, Gianna ataupun Raga. Sebelum ia membuang simcard dan mereset ponselnya, ia sempat melihat pesan masuk dari Daniel dan Raga, entah apa, tapi Sasha tak berminat untuk membacanya. Kalaupun Daniel datang dan berlutut kepadanya, rasanya tak akan mengubah keputusan Sasha sama sekali. Hatinya sudah terlanjur terluka, akan sulit untuk menyembuhkan lukanya. Sasha akan membutuhkan waktu yang panjang untuk bangkit dari keterpurukan nya, tapi bukan Sasha namanya jika menyerah dengan keadaan. Dengan perasaan gamang Sasha menaiki Taxi menuju Penthouse, ada dokumen-dokumen penting yang harus ia ambil. Rasanya langkahnya sangat berat menuju ke sana, tapi bagaimanapun juga ia harus ke sana. *****Entah mengapa jantung Sasha berdebar saat membuka pintu Penthouse, set
Sejak janin Sasha tak bisa diselamatkan, Sasha selalu bertanya-tanya dengan dirinya sendiri, mengapa hal semacam ini terjadi padanya dan Daniel? Tapi kini Sasha mendapatkan jawabannya, Tuhan mengambil janin Sasha mungkin dengan suatu alasan. Siapa yang menyangka jika dua minggu setelah Sasha kehilangan janinnya, ia juga akan kehilangan suaminya? Mungkinkah ini adalah garis Tuhan. "Angkat aja Nyet, tapi gue gak mau ngomong, bilang sama Daniel gak usah khawatir dan buru-buru balik ke Indonesia, karena gue yang akan urus perceraian. Tell him, it's over, dan gue gak akan berubah pikiran barang sedikit pun," tukas Sasha yang segera tersadar dari rasa mabuknya. Gendis si ratu alcohol yang anti mabuk hanya terperangah mendengar ketegasan Sasha, setelah itu ia menekan tombol hijau, menerima panggilan dari Daniel. Seperti dugaan Sasha, Daniel minta untuk di sambungkan dengan Sasha. Gendis mengatakan semua pesan Sasha persis seperti yang Sasha suruh, tanpa ditambah ataupun dikurangi."He did