Hari-hari dikampus masih saja seperti biasa, Dandi selalu menjadi korban bully dari para mahasiswa, terkecuali teman-teman yang mengenal Dandi sepenuhnya. Hinaan dan intimidasi selalu diterima Dandi. Namun kesabaran dan kerendahan hatinya adalah sebuah emas berharga yang tidak dimiliki setiap orang.
Siang itu setelah tidak ada mata kuliah lagi, Dandi memutuskan untuk pulang. Dia mengirim pesan kepada Rena melalui ponselnya.
"Ren, aku pulang dulu. Soalnya tidak ada mata kuliah sore." Tulisnya singkat.
Meski selalu berangkat kuliah bersama, Dandi dan Rena ternyata beda fakultas. Tanpa disadari ada sepasang mata yang mengawasi Dandi dari kejauhan. Dandi pun bergegas meninggalkan kampus. Setibanya disalah satu gang, Dandi teringat ada lembar tugas dari temannya yang harus ia kerjakan masih tertinggal di kelas. Dengan tergesa-gesa Dandi memutar tubuhnya dan melangkah cepat tanpa memperhatikan sekitar.
Bruakk'
"Akhh.. maaf paman, saya tidak sengaja. Saya sedang ingat sesuatu yang tertinggal di kampus, dan saya buru-buru ingin mengambilnya." Sambil membungkukkan badannya tanpa berani melihat wajah orang yang ditabraknya. Dandi sangat ketakutan. Ternyata lelaki yang mengawasinya tadi sudah berjalan dibelakangnya. Lelaki itu berkisaran umur lima puluhan tahun. Dan berpakaian rapi, setelan jas hitam melekat ditubuhnya. Namun bukannya marah, lelaki itu justru bersikap sebaliknya sambil melontarkan pertanyaan kepada Dandi.
"Tidak apa-apa ini adalah ketidaksengajaan. Benarkah kau yang bernama Dandi Crushtave?" Ia bertanya sambil tersenyum.
"I..iya betul... Bagaimana anda tahu nama saya?" Dandi melongo sambil menjawab dengan ekspresi wajah bingung. Sebenarnya dia takut bila orang yang dia tabrak akan marah besar. Dilihat dari pakaian yang dia kenakan, pasti orang ini orang yang kaya dan sangan berpengaruh.Tetapi orang ini tahu nama Dandi dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, sembari lemempar senyum ramah kepada Dandi.
"Hmmm... Seperti dugaanku. Kamu adalah anak yang sopan. Ijinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Ron Wilson teman lama Dany Crushtave." Lelaki itu menjulurkan tangannya dan tersenyum berwibawa.
Bagaikan disambar petir, Dandi diam terpaku tak terucap kata apapun. Seketika ia teringat kenangan masa kecilnya bersama sang ayah. Ya, Dany Crushtave adalah nama ayah Dandi.
"Apa? Anda teman laki-laki itu? Tunggu jangan mendekat!" Dandi melangkah mundur menolak jabatan tangan dari Ron. Dia tidak bisa menerima apa yang dikatakan Ron bahwa ia adalah teman ayahnya. Tentu rasa benci dihatinya sangat mendalam, hingga baru mendengar nama ayahnya saja dia terlihat syok.
"Baiklah saya mengerti, saya rasa ada kesalahpahaman disini. Tapi maksud kedatanganku untuk menyampaikan surat dari Dany ini untukmu." Sambil memasukkan tangannya ke saku dalam jasnya, dan kemudian ia mengeluarkan sepucuk surat.
Dandi yang masih belum bisa mengotrol dirinya langsung menampik surat itu dan bergegas meninggalkan Ron sendirian.
"Akhh.. aku tidak butuh itu!" Dandi berlari penuh amarah, dan ia teringat masa-masa dimana ia menanti kepulangan sang ayah namun ayahnya tidak pernah pulang, dan semenjak ayahnya tak pernah pulang Dandi dan ibunya sangat menderita. Mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dalam kemiskinan dan sering ditindas oleh orang-orang.
Ron yang melihat sikap Dandi tersebut justru iba dan merasa ikut bersalah, mungkin cara dia menyampaikan surat itu terlalu mencolok. Seharusnya tadi dia tidak mengatakan dari mana surat ini berasal. Tapi semua sudah terjadi, kini Ron lebih bisa mengerti bagaimana kondisi yang dialami Dandi yang sebenarnya.
"Haaa... Mungkin harus dengan cara yang lain..." Sambil menghela nafas panjang, Ron membetulkan posisi topi ferodina yang dikenakannya.
Setibanya di kampus Dandi memelankan langkahnya, dalam hati ia marah dan benci mendengar nama ayahnya. Tetapi ia juga merasa bersalah telah bersikap terlalu egois dan kasar kepada Ron,'astaga kenapa aku ini, bukankah Ron adalah orang yang lebih tua dariku yang seharusnya aku hormati. Dan dia juga bersikap ramah kepadaku. Kenapa tadi aku tidak bisa mengendalikan diri.' Batin Dandi dalam hati dia menyesali kejadian yang baru saja dilaluinya. Di pintu gerbang Dandi berpapasan dengan Rena dan temannya Dengan nada heran Rena bertanya."Hey Dandi.. kamu bilang tadi mau pulang dulu? Kok masih disini?" Sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Emmm.. ada lembar tugas yang masih tertinggal. Sehingga aku harus kembali untuk mengambilnya. Kalian sendiri mau kemana? Kok sudah dipintu gerbang, kan tadi pagi kamu bilang masih ada jam kuliah sampai sore..." Dandi menjawab dengan nada datar, karena suasana hatinya masih tidak enak. Sebisanya ia menutupi hal tersebut
Setibanya dirumah, Dandi membuka pintu depan."Aku pulang bu.." teriaknya sembari menoleh kanan kiri berusaha mencari ibunya. Tetapi tidak ada jawaban dari ibunya.'apa mungkin ibu kerja ya hari ini? Kok tidak ada di rumah' pikir Dandi seraya berjalan pelan menuju dapur untuk memastikan. Namun sang ibu tidak ada. Kemudian ia berbalik ke arah ruang tengah. Pandangannya terhenti ketika ia melihat sebuah joran ikan yang terselip diantara rak dan dinding. Dia berjalan menghampirinya pelan. Kemudian ia menyelipkan tangannya untuk mencoba mengambil joran ikan tersebut. Setelah ia berhasil meraihnya, ia memegang joran itu sambil mengingat ingatan yang tak dapat ia lupakan."Dengan joran ini aku akan memancing ikan yang besar ya ayah!" Dandi kecil berseru riang."Tentu saja! Besok hari minggu ayo kita taklukkan ikan-ikan besar itu nak! Jawab ayah Dandi dengan raut wajah sumringah penun semangat.Namun saat itu adalah hari terakhirnya bersama sang aya
"Ohh.. anda dosen pembimbing Dandi. Maaf tuan, ada kepentingan apa sehingga anda menemui saya disini?" Ibu Dandi balik bertanya keheranan, mengapa dosen Dandi datang kesini secara tiba-tiba."Saya membawakan surat pemberitahuan penting untuk Dandi, tentang hasil keikutsertaannya dalam pemilihan anggota pecinta alam." Jawab Ron sambil menyodorkan subuah surat kearah ibu Dandi."Jadi begitu, terimakasih. Maaf, bapak menjadi repot-repot mengantarnya sampai kesini." Sambil meraih dan menerima surat tersebut, ibu Dandi sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda hormat."Baik, itu saja. Saya mohon pamit." Ron bergegas pergi, dengan tetap membetulkan topi ferodinanya yang padahal tetap rapi pada posisinya."Iya Pak..." Ibu Dandi masih diselimuti rasa bingung, kaget, dan sedikit tersisa rasa takut. Namun ia juga berjalan melanjutkan rencananya membeli kebutuhan dapur dan bergegas pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Ibu Dandi segera membuka pintu dan d
Setelah menghabiskan sarapannya, Dandi begegas berangkat ke kampus. Sebelum membuka pintu keluar ia sempat menoleh kesudut ruangan dimana terselip joran patah yang kemarin. Ia menghela nafas panjang dan teringat surat yang kemarin diberikan oleh Ron. Dan tiba-tiba pintu diketuk dari luar, dan seketika mengagetkan Dandi yang melamun tepat dibalik pintu itu.'tok..tok..tokkk!! Dandi?"Suara dari luar yang tak asing bagi Dandi memanggil namanya. Dan langsung saja Dandi membukakan pintu."Ehhh kamu Fer.." Sapa Dandi dengan wajah heran kok tumben Fernando datang kerumahnya pagi-pagi begini."Yoi.. aku sengaja kesini ingin mengajakmu berangkat bareng. Tuh si Aldy sama Brian juga ikut."Fernando menunjuk ke arah mobilnya dengan ibu jari, mengalihkan perhatian Dandi."Ayo bro! Kita berangkat!" Teriak Aldy dan Brian dari kaca jendela mobil audi milik Fernando yang terbuka."Ehhh... Kalian kok tumben sekali lewat sini dan ngajak aku baren
"kalau ada masalah katakan saja sejujurnya pada kami bro. Siapa tahu kami bisa membantu mencari jalan keluar." Imbuh Fernando sambil masih memegang kemudi."Iya Dan, bicaralah.. jangan ada rahasia diantara kita. Kita harus saling membantu""Betul kata Fernando dan Aldy.."Brian dan Aldy saling bersautan untuk membujuk Dandi agar mau mengatakan apa yang dialaminya. Dan melihat ketulusan dari teman-temannya, Dandipun luluh. Ia berfikir semua diantara mereka memang adalah orang-orang yang selalu ada untuk Dandi. Ia akan merasa bersalah jika harus terus berbohong kepada mereka. Dan akhirnya ia memutuskan untuk berkata jujur. Namun tanpa disadari mereka sudah sampai dipintu gerbang kampus. Dan Fernando mengarahkan kemudinya ke tempat parkir."Nanti pulang kuliah akan aku jelaskan pada kalian." Kata Dandi sembari memberikan senyum tipis. Mereka pun keluar dari mobil Fernando, dan berjalan beriringan ke kelas."Kalian tidak perlu khawatir, surat ini
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di tempat yang Dandi sebutkan. Juan memarkir mobilnya di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Tak lama kemudian, mereka turun dari mobil dan berjalan beriringan menuju kursi dibawah pohon tersebut yang sengaja menghadap ke arah sungai."Cepat buka, jangan buat kami penasaran."Seru Fernando sambil menepuk pundak Dandi."Iya cepatlah, jika memang bukan hal buruk seperti yang kamu bilang maka jangan ragu lagi untuk membukanya." Tambah Brian dengan mengerutkan dahi yang tak kalah penasarannya dengan Fernando. Dam lagi, Dandi hanya menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara."Hahh... Baiklah, tenang dulu. Sebelumnya aku sampaikan pada kalian bahwa sebenarnya aku sangat malas untuk membuka surat ini. Namun karena keadaan sudah sejauh ini apalah dayaku. Oke, langsung saja aku buka sekarang." Selanjutnya, Dandi merobek ujung amplop putih yang tersegel oleh lem. Dan ia sedikit heran dengan warna kertas yang ada d
Karena tidak ingin membuat teman-temannya menunggu terlalu lama dan karena keraguan yang muncul dalam hati, Dandi menjawab dengan tenang."Seseorang memberikan ini kepadaku kemarin. Tapi aku tidak terlalu perduli dengan apa isi surat ini. Dan seseorang itu mengaku bahwa ia teman ayahku." Dengan wajah datar, Dandi menjelaskannya. Juga kedua matanya menatap kosong kedepan."Apa? Jadi maksudmu surat ini ada hubungannya dengan ayahmu Dandi?" Fernando balas bertanya atas keterkejutanya. Tentu saja ia tahu betul latar belakan juga sejarah masa kecil Dandi yang ditinggalkan oleh ayahnya. Mereka bersahabat sejak duduk di bangku SMA. Disudut lain Brian dan Aldy hanya mencerna apa yang terjadi."Aku sebenarnya ragu. Tapi ya, orang itu berkata surat ini berasal dari ayahku. Namun jika benar ini dari ayahku, maka lebih baik aku tidak menerimanya. Orang itu memang brengsek tidak berguna. Dan terbukti bahwa ia mengirim benda yang tidak jelas seperti ini. Aku benar-benar tidak
Kemudian keempat pemuda itu berteriak serempak."Kanvas!"Belum cukup dibuat bingung dan khawatir, mereka berempat dibuat tercengang oleh keberadaan kanvas yang diduga adalah kanvas yang dilemparkan oleh Dandi tadi ke arah sungai. Berbagai pertanyaan dan spekulasi muncul dalam benak mereka."Mungkinkah... Mungkinkah kalian berfikir seperti apa yang aku pikirkan?" Tanya Dandi dengan sedikit tergagap, karena benda yang ia lempar ke sungai kini berada di telapak tangannya. Ia beranggapan bahwa kanvas yang ia pegang adalah media pembuka portal yang secara tidak langsung memberi akses keempat pemuda itu untuk berpindah tempat."Mustahil, apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana bisa?" Brian langsung enunjukkan kecemasannya sekaligus tidak dapat memahami apa yang baru saja mereka alami.Namun ketika keempat pemuda itu saling mendiskusikan keadaan itu, seketika pula suara deru mesin bergemuruh di belakang mereka. Dengan kompak keempat pemuda itu menoleh kea