“Lepaskan aku.” Nesya terus memberontak saat Gunawan menariknya masuk ke dalam apartemen milik Nesya sendiri.Gunawan menghempaskan Nesya ke lantai sampai Nesya tersungkur. “Apa Adipati menemui tadi?” tanya Gunawan.“Tidak!” “Bohong!” Gunawan kemudian menarik rambut Nesya. “Jujur padaku!” teriak Gunawan dan masih menjambak rambut Nesya.Nesya merasa kesakitan saat rambutnya dijambak. Ia serba salah jika jujur dengan Gunawan, jujur pun Gunawan pasti tetap akan memberikannya hukuman.“Iya! Dia sendiri yang datang kemari, bukan aku yang menyuruhnya datang,” balas Nesya memegang rambutnya.Gunawan semakin marah dan menghempaskan Nesya.“Jadi kalian bertemu, kenapa kau mau bertemu dengannya? Kenapa kau membuka pintu apartemen ini untuknya. Sudah aku peringatkan padamu, jika kau atau Adipati menemuimu, kau akan aku hancurkan.” Gunawan bangkit lalu melepas ikat pinggangnya. Gunawan melihat ikat pinggangnya menjadi dua dan siap memukul Nesya.Nesya begitu ketakutan melihat Gunawan dengan ik
Satu bulan lebih berlalu, Nesya seperti orang gila. Ia ketakutan ketika bell apartemennya berbunyi sampai-sampai ia memasang monitor di dekat pintu masuk, agar ia tahu siapa saja yang datang. Ia juga sudah satu bulan tidak ke kantor, semua ia kerjakan di rumah dengan alasan ia sedang sakit dan harus berobat. Dan setelah kejadian itu Gunawan pun langsung terbang ke Jepang untuk urusan bisnis. Namun, saat ini ia sudah satu bulan lebih di rumah dan sudah saatnya ia kembali ke kantor. Mau tidak mau ia pun pergi ke kantor. Nesya begitu berat melangkahkan kakinya masuk ke gedung kantor tempat ia bekerja, rasanya menginjak duri dan pecahan kaca saat melangkahkan kakinya memasuki gedung kantornya.“Pagi, Nesya. Eh, Bu bos,” ledek salah satu staff bagiannyaNesya mengernyit heran mengapa dirinya dipanggil bu bos.“ Apa sih, Vin. Tiba-tiba manggil bu bos,” kesel Nesya mendengus lalu meninggal Vina. “Halo, Nesya. Cemberut terus sih, kangen pak bos ya?” goda Shinta rekan satu tim Nesya.“Apaan
Nesya memandangi hasil USG kandungannya, ia bingung harus bagaimana. Mempertahankan kandungannya atau menyingkirkannya. Meminta pertanggungjawaban pada Gunawan pun itu mustahil karena ia begitu membenci Gunawan. “Aku harus bagaimana, Kak Bintang.” Nesya mengusap air matanya.Bintang mengusap punggung tangan Nesya.“Pertahankan, aku tahu ini sulit untuk kamu, Nes. Tapi anak itu tidak tahu apa-apa. Kalau kamu tidak mau minta pertanggungjawaban dari mertua Adipati, kamu bisa besarkan anak itu sendiri. Tidak mudah memang, tapi kamu harus terima kenyataan dan aku akan membantumu untuk mengurus anakmu.”“Tapi bagaimana mungkin, Kak. Aku hamil tanpa suami, apa kata orang? Apa aku harus jujur kalau aku dinodai, begitu? Itu tidak mungkin, Kak Bintang. Gunawan pasti akan terus menerorku.” Nesya seakan putus asa.“Tapi saranku, lebih baik kamu bicarakan. Minta pertanggungjawaban Gunawan,” balas Bintang. “Menikah dengannya? Oh shitt … itu tidak mungkin itu lakukan.”“Kalau saja aku belum tunanga
Tiga hari sudah Nesya tidak masuk ke kantor. Ia masih berada di rumah sakit dan tidak ada yang menunggunya. Hanya Bintang yang sesekali datang untuk membawakan makanan. Shinta asistennya pun tidak bisa datang karena begitu sibuk menggantikannya. Hatinya begitu sedih, bingung. Tidak tahu harus berbuat apa dan mengadu dengan siapa. Ingin kembali ke Surabaya pun ia ragu dan takut. Takut Gunawan menyebarkan semua videonya dan membuat malu orang tuanya, walau itu bukan kesalahannya.“Aku pasti bisa melewati ini semua, iya pasti bisa. Aku bisa melewati hidup tanpa papa, sekarang aku bisa melewati ini juga tanpa dukungan papa. Maafkan aku pa. Aku tidak setegas yang papa ajarkan, aku lemah pa.” Nesya menyemangati dirinya sendiri. “Halo, Ibu Nesya. Apa kabar hari ini,” sapa dokter tiba-tiba masuk bersama dua suster.“Halo, Dok. Kabar baik, Dok” jawab Nesya masih terlihat lemah tetapi kondisi tubuhnya sudah membaik.“Hari ini sudah boleh pulang ya, Bu. Tapi sebelum pulang nanti USG dulu ya. J
Arya kemudian memeluk sang adik setelah Nesya menceritakan semuanya, Arya begitu merasa bersalah tidak bisa melindungi adiknya sendiri. Ia merasa tidak bisa menepati janjinya pada sang papa. “Maafkan Kakak, Nes. Kakak tidak bisa menjagamu, harusnya Kakak tidak membebaskanmu untuk pilihanmu bekerja di perusahaan lain, harusnya kamu di rumah saja. Harusnya–”“Kak, semua sudah terjadi. Jangan salahkan diri kakak. Aku yang salah. Aku tahu ini begitu sakit dan aku juga tidak bisa menerima ini semua tapi, nyatanya ujian ini Tuhan berikan padaku, Kak. Tapi, sakit.” Nesya menangis kembali. “Maafkan Kakak, Nes. Kakak pasti akan membalas rasa sakitmu ini.” Arya menakup wajah Nesya.“Dia tidak mau bertanggung jawab, Kak. Aku harus bagaimana, semua sudah hancur, masa depanku hancur, semua karena Gunawan, Kak.” Arya mengusap air mata adiknya.“Kakak tahu apa yang harus kakak lakukan,” ucap Arya begitu emosi dengan sorot mata tajam. “Gunawan, tunggu kehancuran dirimu.” Hati Arya begitu mendidih
Kondisi Nesya sudah membaik, walau setiap pagi masih mengalami mual muntah. Saat ini ia sedang menikmati masa-masa bebas dari pekerjaannya karena ia sudah bertekad keluar dari perusahaan milik Gunawan. Semua ia serahkan pada sang kakak, Arya. Tetapi pagi ini ponselnya berdering sudah ada dua puluh kali panggilan masuk tetapi ia tidak menggubrisnya. “Non, itu hapenya dari pagi bunyi terus,” ucap asisten rumah tangga rumah Arya.Nesya duduk santai sambil memakan buah mangga.“Biarkan saja, Bi. Itu dari pria brengsek. Paling sekarang kalang kabut, karena banyak pekerjaan bagian yang saya pegang tidak ada yang beres,” ucap Nesya santai. “Tapi kasian juga tim yang ada dibawahnya, Non Nesya. Pasti mereka dimarahi habis-habisan.” Nesya tampak berpikir.“Bibi benar, tapi aku sudah tidak mau tahu, Bi. Biarkan saja.”“Non, ini dari Shinta, ini sudah dua puluh lima kali,” Si bibi memberikan ponselnya pada Nesya.Nesya menghela nafas panjang lalu meletakkan garpu di piringnya setelah itu meng
Gunawan tidak sadarkan diri di ruang UGD, Rafi pun panik dan berusaha memberikan yang terbaik sebagai dokter kepada pasiennya. Setelah selesai menangani Gunawan, Rafi pun menghubungi Nesya. “Halo, Nes,” ucap Rafi. “Ya, Kak,” jawab Nesya.“Gunawan sudah masuk rumah sakit. Kak Arya yang menghajarnya, tadi sempat kritis tapi kondisinya saat ini sudah stabil, tinggal menunggu keluarganya datang,” jelas Rafi membuat Nesya syok tidak percaya jika sang kakak benar-benar menghajar pria kejam tersebut.“Nes, kamu masih mendengar kakak, kan?” tanya Rafi karena tidak ada respon dari Nesya.“I-iya, Kak. Tapi, kenapa kak Arya malah menghajarnya sampai masuk rumah sakit, kalau mati bagaimana, kak Arya bisa masuk penjara. Aku hanya minta Gunawan tanggung jawab dan dia masuk penjara, itu saja, Kak.” Rafi tersenyum dibalik sambungan ponselnya.“Tidak ada seorang kakak yang tinggal diam jika adiknya terluka, Nes. Kamu tidak perlu khawatir, Gunawan tidak mati, cuma babak belur. Selebihnya nanti kak Ar
Gunawan membuka matanya, melihat sekeliling ruangan. Yang ia rasakan saat ini kepala dan seluruh tubuhnya sakit dan kaku. Ia melirik ke kiri dimana Sarah, putrinya, sedang tertidur di sofa panjang. “Sarah,” panggilnya lirih. Sarah tersentak dan langsung bangkit dari tidurnya dan menghampiri papanya.“Papa, papa sudah sadar.” Sarah memegang tangan Gunawan.“Hem, air.” Dengan sigap Sarah mengambil air dan membantu papanya minum.“Pelan-pelan, Pa. Aku panggilkan suster dulu ya.” Gunawan hanya diam, Sarah kemudian keluar untuk memanggil suster setelah Gunawan selesai minum. “Sus, papa saya sudah sadar,” ucap Sarah pada suster jaga."Papa?Saya pikir suami ibu.” Suster bangkit dari duduknya.“Suster ngelawak, saya anak kandungnya.” Sarah kemudian sedikit menarik suster tersebut berjalan mengikutinya. “Habisnya papanya Ibu masih terlihat muda sekali,” gumam suster. “Hah, Suster ini. Bisa saja.” Suster itu tertawa kecil mengikuti Sarah masuk kamar rawat Gunawan.Suster memeriksa denyut