Nesya duduk termenung di depan jendela besar rumah orang tuanya. Ingatannya kembali saat kedua orang tuanya masih hidup. Ingin sekali ia kembali ke masa lalu, kehidupan yang begitu harmonis bersama keluarganya. Namun, ia juga sadar, itu semua tidak mungkin terjadi. “Papa, mama. Mungkin ini jalan Tuhan yang terbaik. Aku akan melanjutkan hidupku. Kalian berdua sudah bersama, Nesya akan berusaha untuk menghadapi hidup ini tanpa kalian, Nesya pasti bisa,” batin Nesya lalu mengusap air matanya. Sudah satu minggu lebih, Gunawan juga masih begitu sedih melihat istrinya yang seolah belum menerima kepergian sang mama. Ia tahu rasanya ditinggal orang yang sangat dicintai. “Nes, makan dulu ya sebelum pulang,” ucap Gunawan sambil mengusap pundak Nesya.Nesya melihat Gunawan, pria dihadapannya itu sudah beberapa hari terakhir begitu perhatian padanya dan lebih protektif. Sebenarnya ia risih diperlukan seperti itu. “Mas, bisa tidak satu hari lagi kita menginap di rumah ini. Aku masih ingin dir
Nesya diam-diam ke ruangan kerja Gunawan, ia mencari beberapa berkas perusahaan penting. Ia tahu perusahaan suaminya itu sedang tidak baik-baik saja dan ia ingin mengambil alih perusahaan tersebut dengan bantuan sang kakak, Arya. “Dimana berkas perusahaan itu, hari ini aku harus menemukannya,” gumam Nesya mencari di lemari rak buku dan berkas penting lainnya. “Nes, kamu ngapain!” seru seseorang membuat Nesya terkejut.Nesya menoleh rupanya sang suami sudah pulang dari kantor.“Ah, ini aku cari buku yang kemarin kamu baca,” Nesya kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan.“Oh, Buku itu ada di laci meja nakas.” Gunawan menghampiri Nesya lalu memeluknya.“Kamu sudah makan,” tanya Gunawan masih memeluk Nesya.Nesya mengatur nafasnya. Ia takut ketahuan mencari dokumen penting perusahaan suaminya.“Belum, aku pengen makan ramen.”Gunawan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum melihat Nesya lalu mengusap perutnya.“Baiklah, kita ke restoran langganan kita.” Nesya tersenyum ti
Nesya berjalan santai di samping Gunawan saat memasuki kantor cabang yang dulunya tempatnya bekerja. Tidak peduli tatapan semua karyawan lain padanya, ditambah perutnya yang sudah mulai terlihat membesar dan Gunawan menggenggam tangannya dengan erat seolah tidak ingin melepasnya. Gunawan tersenyum bangga karena bisa mendapatkan Nesya yang begitu cantik, cerdas dan bisa dibilang primadona kantornya. Namun tidak dengan Shinta yang sudah tahu misi Nesya. Shinta hanya diam dan diam-diam mendukung apa yang dilakukan Nesya.Sesampainya di ruangan, Gunawan meminta Nesya duduk di sofa dan bersantai. Sedangkan dirinya meeting bersama karyawannya. “Nes,” panggil seseorang.“Shinta,” balas Nesya. Keduanya saling berpelukan melepas rindu karena sudah beberapa bulan tidak bertemu.“Apa kabar? Bagaimana jadi istri bos. Pasti pak bos manjain kamu ya?” goda Shinta membuat seulas senyum kecut dibibir Nesya."Iya sih, tapi aku masih benci sama dia. Misiku tetap masih sama, aku mau di masuk penjara.
“Ya, Sarah.” “Mas di mana? Ini sudah jam berapa belum sampai rumah, katanya hari ini pulang?” cerocos Sarah, istri Adipati. “Aku masih ada rapat! Besok mungkin aku pulang ke Surabaya.”"Awas saja kalau di Jakarta kamu selingkuh ya! Tak pites gendakanmu!” ancam Sarah. Adipati tersenyum ke arah Nesya, karena Nesya berjalan menghampirinya sambil membawa potongan kue ulang tahunnya.“ Ora, wis yo, aku isih sibuk!” Adipati pun memutuskan sambungan ponselnya begitu saja lalu secepat mungkin ia mengantongi ponselnya. “Siapa, Mas. Rekan kerja?” tanya Nesya."Iya.” Adipati kemudian memeluk Nesya. Adipati tidak tahu jika beberapa bulan ini sang istri sudah curiga dan terus memantau suaminya. Benar saja Adipati kedapatan selingkuh dengan Nesya bawahnya di kantor. Saat sedang asyik suap-suapan, ada seseorang yang menekan tombol bell apartemennya dengan begitu tidak sabar. Nesya mengerutkan dahinya siapa gerangan tamu yang datang, sebab ia tidak mengundang siapapun di ulang tahunnya."Ya, sebe
Setelah menuntaskan hasratnya, Gunawan meninggalkan Nesya begitu saja ke kamar mandi. Gunawan tertawa puas setelah selesai dengan aksi tidak terpujinya. Hasratnya yang yang sudah ia pendam bertahun-tahun karena sang istri sudah meninggal dunia, ia lampiaskan pada Nesya yang tidak tahu apa-apa tentang menantunya tersebut. Nesya dengan tatapan kosong dan air matanya yang tidak bisa dibendung, perlahan menarik dress-nya yang tadi di buang Gunawan di atas sofa. Ia begitu syok dan mencerna apa yang sudah terjadi saat ini."Papa ... Papa...,” lirihnya menyebut nama Almarhum Papanya.Nesya teringat almarhum Papanya yang tidak pernah marah dan berkata kasar serta tidak pernah menyakiti dirinya. Tetapi kini ia merasakan sakit yang amat sangat luar biasa sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Nesya masih meringkuk di sofa, ia diam tetapi air matanya terus mengalir. Rasa sakit dibagian intinya tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya. Masa depannya hancur dan ia saat ini tidak tahu ha
Sarah mengamuk di kamar hotel, tidak hentinya ia menampar Adipati dan Gunawan hanya duduk menyaksikan saja sambil merokok didekat pintu balkon. Gunawan tersenyum miring melihat anaknya yang memang tidak menyukai pengkhianatan. “Kau sudah tidur dengannya? Kalian berdua sudah berbuat apa saja?” teriak Sarah lalu mengambil kursi dan hendak menghantam Adipati. Namun Gunawan mencegahnya. "Cukup, Sarah! Papa sudah pastikan gadis itu dan Adipati tidak akan pernah lagi berhubungan. Besok kalian pulang ke Surabaya. Papa akan menangani perusahaan di sini.” Gunawan kemudian Keluar dari kamar Sarah dan melihat sinis menantunya yang duduk diam di atas tempat tidur. Adipati tidak berdaya karena yang mempunyai kuasa adalah istrinya. Tanpa Sarah mungkin ia masih menjadi orang biasa. “Katakan, Mas! Kau sudah tidur dengannya!” teriak Sarah yang masih dikuasai emosi. “Tidak, Sarah! Aku tidak pernah tidur dengannya,” tegas Adipati memegang tangan Sarag yang hendak memukulnya lagi.“Dasar pembohong,
Nesya masih meringkuk di tempat tidurnya, sudah satu minggu ia tidak ke kantor. Air matanya seolah tidak pernah kering, ia terus meratapi nasibnya. Bintang yang dari awal terus menemani bersama Bulan pun tidak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa menghibur sebisanya. Karena mereka juga tidak tahu permasalahan pokok utamanya. Nesya melihat ke arah pintu saat seseorang masuk. Ia sekilas melihat orang tersebut lalu bangkit dari tidurnya."Kak, Bintang. Kakak pulang saja, aku sudah tidak apa-apa,” ucap Nesya yang masih terlihat lemah.“Nes, aku mana mungkin meninggalkan dirimu begitu saja, kecuali kamu benar-benar sudah baik-baik saja.”“Tapi, pekerjaan Kakak bagaimana?” jawab Nesya lemah. “Bisa dikerjakan dari rumah,” jawab Bintang lalu tersenyum.Bintang duduk di tepi tempat tidur, sontak Nesya menjauh. Ia masih takut jika ada pria terlalu dekat dengannya walau ia tahu bintang tidak mungkin melakukan apa yang dilakukan Gunawan.Bintang yang melihat Nesya ketakutan pun bingung, karena
Nesya sudah sedikit membaik dimata Bintang dan Bulan, walau sebenarnya Nesya begitu trauma dengan apa yang sudah ia alami. Nesya juga tidak menceritakan jika dirinya dinodai Gunawan. Ia pura-pura sudah tidak apa-apa. Karena Nesya juga tidak ingin merepotkan mereka berdua terlalu lama.“Ya sudah, kalau kamu sudah membaik. Kami pulang. Oh iya, dapat salam dari abah dan emak, katanya kamu cepat sembuh, biar anak bujang ya ini bisa bantu jualan lagi!” ucap Bintang diiringi canda, Nesya tertawa kecil mengingat orang tua Bintang dan Bulan yang suka bercanda. "Iya, Nesya minta maaf sudah merepotkan Kak Bintang sama Bulan.” Nesya tersenyum kearah keduanya.“ Tidak apa-apa, santai saja.” Bulan sekilas mengusap lengan Nesya. “Ya sudah, kami pulang. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku atau Bulan,” ucap Bintang. “Iya,” jawab Nesya singkat. Bulan dan bintang akhirnya pulang dan Nesya sendirian di apartemen. Nesya menutup pintu dan menguncinya lalu ia duduk di sofa. Saat duduk di sofa, ingatannya