"Berhenti kalian semua!"
Aku sungguh menyesal tidak membawa pengeras suara, hingga harus berteriak-teriak di siang terik yang panas ini. Sementara empat lelaki yang sempat kulihat mengenakan helm kuning khas proyek terus menghilang dalam kedalaman kebun karet yang belukarnya sudah setinggi dada.
Aku terseok dalam belukar mengikuti jejak kaki yang masih tertinggal. Semak-semak dan kayu kering berpatahan tanda seseorang baru saja menginjaknya. Dengan terengah aku mempercepat langkah, tak peduli peluh bercucuran serta tas di punggung yang beratnya entah kenapa terus saja bertambah. Beberapa kali sepatuku terpuruk dalam celah semak kering yang sudah mati.
Akhirnya aku berhenti mengikuti jejak itu, merasa jadi orang paling bodoh begitu menyadari apa yang kulakukan. Segera aku berputar arah.
"Hei! Bapak-bapak yang sedang mengukur, berhenti!!"
Dari bagian cukup tinggi yang susah payah kudaki, aku berteriak kencang. Suaraku menggema dalam keheningan lahan yang luasnya lebih kurang dua ratus hektar.
"Tolong dengarkan ini. Aku, Hara, pemilik lahan ini melarang siapapun melakukan sesuatu di sini tanpa persetujuanku! Apa yang kalian lakukan sekarang ilegal dan aku tidak akan tinggal diam!" teriakku sekuat tenaga.
Tak ada sahutan, tapi aku yakin mereka mendengar suaraku karena di bawah sana, satu helm kuning mencuat di antara semak. Namun, kepala itu hilang lagi dan tak ada tanda-tanda mereka akan meresponku.
"Keluar kalian sekarang juga, atau mobil bak terbuka di pinggir jalan sana akan menjadi abu, dan aku akan melaporkan kalian ke polisi!"
"Ini bukan ancaman semata! Kutunggu di mobil itu dalam setengah jam!"
Aku sudah nekad. Jika mereka tak peduli, aku benar-benar akan membakar mobil itu untuk memberi mereka pelajaran. Masalah setelah itu tak kupikirkan, karena tak ada masalah yang lebih besar selain tanahku yang dijual tanpa sepengetahuanku.
***
Mataku membola demi mendapati tanda tangan Bibi Sartika di lembar yang disodorkan oleh salah satu lelaki berhelm kuning itu. Persetujuan jual beli kebun karetku!
"Siapa bos kalian? Kenapa gegabah seperti ini? Apa kalian tahu jika pemilik kebun ini bukan perempuan yang tanda tangannya ada di sini? Ini kebunku! Ayahku yang membelinya!" geramku marah.
"Tapi wanita itu mengatakan jika hak perwalian Anda ada padanya. Kami hanya bekerja sesuai arahan, Nona."
"Sebentar lagi aku sudah dua puluh satu tahun, Pak. Hak wali apa lagi?" Ingin rasanya menjerit keras, panas dan kesal luar biasa membuat emosiku tak terkendali.
"Lagipula surat-surat tanah ini atas namaku, dan bos kalian tidak mengetahui itu? Ya, Tuhan."
"Maaf, kami kurang tahu soal itu, Nona. Kami harus tetap melakukan pekerjaan ini. Jika ada komplain sebaiknya Nona bicara dulu dengan pemilik tanda tangan itu."
"Setapak lagi kalian mengukur ladang itu, kaca mobil ini hancur," ancamku sembari mengayun tongkat besi yang kebetulan sekali kutemukan di dalam bak terbuka kendaraan proyek ini.
Saat keluar dari ladang, aku sudah membaca situasi dan bersiap. Bahaya juga karena aku sendirian dan pekerja itu lebih dari satu orang. Aku segera mencari cara untuk berjaga-jaga.
Entah. Aku bahkan kehilangan rasa takut saat tahu tanah warisan orang tuaku dijamah orang-orang tak dikenal ini. Kenangan tentang keluarga dan amanat Ayah, aku akan memegang itu sampai akhir.
Keempat pria itu berpandangan, lalu berdiskusi tak jauh dariku. Wajah mereka terlihat kesal dan berkali-kali melemparkan tatapan tak suka. Sengaja aku berdiri dengan melipat dua tangan di dada, lalu bersandar di badan mobil dengan tatapan tajam.
Satu dari lelaki itu menelepon seseorang. Tak lama mereka kembali mendekat.
"Untuk hari ini, kami akan pulang dan memberi Anda waktu. Tolong selesaikan masalah internal keluarga Anda secepatnya agar tidak mengganggu pekerjaan kami."
"Jangan berani lagi datang ke lahan ini. Sampai kapanpun tanah ini tidak dijual," ucapku tetap waspada.
"Maaf, Nona. Mungkin ada kesalahpahaman di sini, tapi Anda harus menyelesaikannya dengan pihak keluarga Anda terlebih dahulu."
"Ya, tentu saja. Saya akan menyelesaikannya dan artinya itu Anda semua tak perlu datang kemari lagi. Suruh bos Anda membatalkan niatnya dan mencari tanah lain untuk dia garap."
"Aku suka cara gadis itu, Salim. Berikan saja alamatku dan suruh dia datang untuk negosiasi soal tanahnya."
Aku terperanjat ketika satu suara berat keluar dari telepon genggam pria ketua tim. Rupanya lelaki itu sengaja membiarkan ponselnya terus tersambung dan menyalakan loudspeaker-nya.
"Apakah itu bos kalian? Aku ingin bicara dengannya!"
"Maaf, Nona. Sesuai perintah beliau, Nona datang saja ke alamat ini." Salim merogoh sesuatu dari balik celananya dan menyodorkan padaku. Sebuah kartu nama. Ingin sekali aku menumpahkan kekesalan, tapi kutahan sekuat tenaga karena tak ada gunanya. Aku harus segera mencari Bibi Sartika, pangkal utama masalah ini dan bertanya apa maksud dia melakukan semuanya. *** Seharusnya, aku datang ke kampung ini dengan berjuta rindu yang siap menemui tepi, tapi nyatanya masalah ini sudah menguapkan semuanya. Entah apa yang dipikirkan Bibi Sartika. Bahkan kepulanganku setelah dua tahun di rumahku sendiri seperti tamu tak diundang. "Kenapa kau semarah itu, Hara? Bukankah ini justru keuntungan besar? Kebunmu sudah terbengkalai dan tak menghasilkan lagi. Harga panen rendah sekali ditambah pohon-pohon itu juga sudah tua. Kalaupun kau tebangi dan menanam pohon baru, siapa yang akan mengurusnya? Bibi sudah tua, Hara." Wanita di depanku ini begitu tenang berucap, seolah yang dilakukannya hanyalah menj
Pintu rumah panggung bergaya lama itu terbuka seiring munculnya seraut wajah dibaliknya. Bukan Ari yang menyambutku, melainkan perempuan tua dengan tubuh masih terlihat bugar. Aku menghela napas berat, berusaha untuk tidak terlalu kecewa."Nona Hara?" "Ari, ada, Bu?" tanyaku pada Bu Sarmiah. Asisten rumah tangga yang telah berkerja puluhan tahun di rumah Ari, sahabatku.Rasanya bertemu Ari akan membuat semua kelelahan dan sesak ini terobati. Ari yang memberitahuku tentang kabar penjualan lahan itu, dia yang tak hadir di wisudaku kemarin dan membuatku sedikit menyimpan kekecewaan. Namun, hari ini semuanya menguap begitu saja."Den Ari sempat singgah, Non. Tapi kemarin sore sudah pergi lagi. Mbah Kakung meninggal dan Den Ari belum kembali."Aku terduduk di undakan tangga dengan tenaga yang terkikis habis. Lemas seluruh tulang belulangku. Sedih, haus, lapar, lelah dan pusing semua menjadi satu."Mbah Kakung?" Kesedihan menyapu dadaku. Terbayang wajah tua yang ikut mewarnai masa kanak-ka
"Sst. Ini aku, Ari." Pria itu membuka maskernya, bersamaan dengan lepasnya tangan yang sempat membungkamku bicara. "Ayo kita pulang, secepatnya," bisiknya tergesa.Belum habis keterkejutanku, Ari sudah menarik tanganku--setengah menyeret-- hingga kami benar-benar berlari kencang menuju jalan raya. Motor King Cobra tua milik Ari telah menanti dan segera meraung membelah jalanan yang menanjak. Saat itulah baru aku sempat menoleh ke belakang. Mencoba mencari jawab atas tanya yang sempat menyelinap ketika Ari menyeretku seperti kesetanan. Lima orang berbaju hijau daun serupa hansip baru saja muncul di pinggir jalan. Arahnya dari jalan setapak tempat aku masuk tadi.Oh.Sekarang aku merasa dadaku akan meledak oleh detak jantung yang memburu.***"Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Berbanding terbalik dengan harapan setipis kertas serta ketegangan yang mencekik menjelang senja tadi, sekarang semangat dan kelegaan luar bisa memenuhi dadaku. Meski ini hanya sebatas harapan, tapi
"Hara Kayyisa Malik?" Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami. "Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu? Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu. *** Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya. Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester. Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang
Hara 6 "Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?" Tunggu! Apa ini? Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar? "Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi. "Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini. Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku. "Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa. "Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?" "Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin m
TPD 7Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih."Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi." Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika."Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya."Bagaimana? Berhasil, tidak?" Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk."Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang
Pertanyaan Ari membuatku menoleh cepat. Pandangan kami bersirobok. Dan aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Kepalaku tertunduk dengan wajah bersemu merah. Aku lupa jika Ari begitu gampang membacaku. "Kapan?""Siapa?""Kenapa kamu tak pernah cerita jika kamu menjalin hubungan dengan seseorang?" Pertanyaan beruntun Ari persis seperti wawancara. Dia bertanya, aku menjawab apa adanya. "Kukira kamu akan jadi perawan tua selamanya." Kali ini suaranya terdengar mencemooh, seperti orang yang dibohongi. Aku mendelik. Dia pasti menyindirku soal ketidaktertarikanku pada laki-laki selama ini."Kamu cinta dia?" Yang ini terdengar begitu tajam, sekaligus begitu dalam."Aku ...." Benarkah aku mencintai Kak Sananta? Atau itu hanyalah sebuah perasaan kagum semata? Semacam obsesi yang bertahan sekian tahun karena tak pernah berkesempatan dekat dengannya? Lalu apa namanya ini. Poros dunia yang
TDP 9Ari bilang pengakuan Kak Sananta hanya alibi, agar aku masuk perangkap mereka dengan sukarela. Sementara aku berusaha menjelaskan karena dari apa yang kulihat dan kudengar, Kak Sananta tak tahu apa-apa soal tanah warisanku. Dia murni terlihat --jika boleh berlebihan-- seperti pungguk menemukan bulan."Ayo ke rumahku." Aku terperanjat kaget saat wajah Ari muncul begitu aku membuka pintu."Aku minta maaf untuk semalam. Aku terlalu over thinking." Senyuman Ari terukir. "Sekarang ayo pulang. Kamu harus istirahat." Pemuda itu menarik tanganku. Aku tersaruk mengikutinya."Terima kasih, Ari. Maaf, perasaanku membuat aku menjadi begitu keras kepala dan egois begini." Jujur, aku mulai memikirkan prasangka Ari dengan intens. Aku mengenal Ari hampir seumur hidup, sementara Kak Sananta? Bahkan kemarin adalah kali pertama kami berkenalan. "Aku yakin kamu tidak akan salah jatuh cinta, Hara. Maafkan aku yang memandangmu sebagai anak ke