"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
Rumah dengan halaman yang luas itu sudah penuh dengan para tamu undangan. Mereka duduk berjejer rapi di kursi yang telah dihias sedemikian rupa. Hiasan bunga-bunga mawar, krisan, dan lili memenuhi pelaminan. Di bawah tenda dengan dekorasi berwarna biru muda itu, para undangan tak sabar menunggu kata sah digaungkan.Seorang pemuda bertubuh jangkung sedikit kurus, duduk gelisah di depan petugas KUA dan wali nikah gadis yang beberapa menit lagi akan sah menjadi istrinya. Dia menunduk dalam. Gelisah dan takut bercampur menjadi satu. Benarkah dia sudah siap melepas masa lajangnya hari ini?Benarkah dia mampu menjadi suami yang baik nanti? Sedangkan gadis yang akan dia nikahi tidak menghadirkan rasa cinta di hatinya. Berbagai pertanyaan, dan benarkah, benarkah yang lain muncul.Pemuda itu menarik nafas panjang, dia tak mungkin mundur lagi. Sebadung dan seberandalan apa pun dirinya, pantang mempermalukan kedua orang tuanya. Dia cukup sadar diri, hidupnya yang kacau telah menyakiti ayah dan i
Malam harinya, di kediaman Pak Haji Imran. Setelah acara akad nikah, dilanjutkan resepsi yang cukup melelahkan sampai sore hari. Alifa tampak canggung berada di kamar milik Farrel. Sebenarnya jika boleh memilih, Alifa ingin tidur di kamar terpisah. Akan tetapi, dia tidak punya pilihan karena menyadari keberadaannya kini. Dan menurut Farrel walaupun rumah Bu Halimah cukup besar, tetapi semua kamar sudah penuh diisi oleh saudara mereka yang kebetulan datang dari luar kota.Alifa segera mengambil baju ganti dan bergegas ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar laki-laki itu. Dia ingin cepat-cepat mandi, shalat kemudian beranjak tidur. Sementara itu, Farrel masih di ruang tamu bersama para sahabatnya."Hm, bersih juga kamar mandinya. Nggak nyangka." Alifa bergumam lirih begitu berada di kamar mandi. Tanpa terasa, sudah 30 menit Alifa di dalam kamar mandi. Gadis itu dengan santai keluar dari situ sambil membungkus rambut basahnya dengan handuk.Dia mengerutkan kening ketika mendapati ka
Alifa menatap punggung lebar Farrel yang berbaring di depannya. Gadis itu tidak berani memejamkan mata. Walaupun sering bertemu Farrel dan banyak tahu tentang kehidupan Farrel dari kakaknya, Alifa merasa takut sendiri. Farrel adalah pemuda dengan label berandalan. Dulu suka mabuk-mabukan, berkelahi, dan mungkin juga tukang main perempuan. Alifa takut jika dia lengah, Farrel akan berbuat sesuatu padanya. Walaupun laki-laki itu memang berhak atas dirinya. Alifa menarik nafas dalam-dalam dan berdo'a dalam hati."Kenapa kamu itu berisik banget sih, Fa?" Farrel bertanya ketus sembari membalikkan badan. Rupanya, dia cukup terganggu dengan gerakan gelisah dari istrinya itu.Alifa pura-pura memejamkan matanya tak ingin menanggapi ucapan Farrel. Farrel menggelengkan kepalanya kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Kini dia memilih tidur terlentang.Tanpa sadar, Alifa mendengus keras. Dengan posisi Farrel tidur seperti itu, jelas membuatnya tidak leluasa bergerak. Alifa menoleh, menat
Alifa menoleh sehingga wajahnya dengan wajah Farrel nyaris tak berjarak. Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Keduanya saling pandang beberapa saat, sebelum akhirnya Farrel memutus pandangan mereka lebih dahulu."Sudah malam, tidurlah. Besok kita akan pindah ke rumah baru. Jadi, sekarang sebaiknya kita tidur, Fa.""Rumah baru?" Alifa mengulang pertanyaan sambil membereskan sajadahnya. Dia duduk di samping Farrel yang sudah kembali ke atas tempat tidur.Farrel mengangguk dan menggeser tubuhnya memberi tempat untuk Alifa. "Iya, Bapak kasih kita rumah di dekat rumahnya Mbak Alisha. Biar agak dekat dengan kampus kamu, katanya. Nanti aku juga mulai bekerja." Mendengar penjelasan Farrel, Alifa membulatkan bibirnya dengan bergumam 'oh'. "Tapi, kenapa nggak di kota sekalian sih, Rel?" "Kenapa memangnya?" tanya balik Farrel dengan kening berkerut. Alifa hanya mengangkat bahu acuh. "Ya, kalau di kota kan, mungkin kita bisa mandiri nggak dekat dengan Mbak Alisha.
Entah pukul berapa keduanya memejamkan mata. Setelah peristiwa ciuman kedua mereka tadi malam, Farrel tidak melepaskan Alifa dari pelukannya. Jadi, mereka semalam tidur dalam keadaan saling berpelukan.Sama halnya dengan Alifa, Farrel memang belum bisa menerima sepenuhnya akan perjodohan ini. Akan tetapi, berkali-kali Farrel menegaskan dalam hati. Dia tidak akan menikah untuk kedua kali. Cinta itu memang belum ada di antara mereka. Farrel ingin mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Karena itu adalah bukti baktinya pada kedua orang tuanya. Bukankah pernikahan karena perjodohan di zaman orang tuanya dulu adalah hal yang lazim? Dan mereka bisa mempertahankan pernikahan itu sampai tua. Farrel juga ingin seperti mereka. Saat ini memang perasaannya pada Alifa masih sebatas seorang teman. Atau adik? Entahlah.Farrel tak ingin memikirkan hal itu. Tidak ada salahnya belajar mencintai Alifa karena memang gadis itulah istrinya. Jodoh pilihan orang tuanya. Bahkan mungkin memang jodoh pilihan Tuhan