"Gitu doang?" Raffa bertanya dengan raut jahil, dia sengaja memancing Belinda. Sekadar ingin tahu bagaimana reaksi kekasihnya. Jujur, sejak bertemu dan bisa menyentuh Belinda lagi, Raffa sebenarnya ingin sekali bergelung manja di ranjang. Menikmati pertemuan ini dengan bercinta sepuasnya.Belinda yang masih berada di pelukan Raffa sontak mengerutkan alisnya tak paham. Dia lantas segera menarik diri menjauh dari dada Raffa."Maksudnya?" tanyanya, kepalanya sedikit mendongak, menatap Raffa yang kini menyeringai penuh arti. Matanya menyipit seolah dia tengah membaca isi kepala Raffa.Mengecup singkat bibir Belinda yang merekah menggoda, senyuman nakal terbit dari bibir Raffa."Aku kangen, Belinda. Masa kamu enggak paham, sih?" bisiknya sensual yang kemudian sengaja mencium dan mengulum telinga Belinda. Kedua tangannya sudah bergerilya ke mana-mana. Meremas bahkan menjelajahi setiap lekukan tubuh Belinda."Raf...." Sentuhan Raffa dengan cepat menyulut percikan gairah dalam diri Belinda ya
Vano menghela pendek, dia menopang kepala seraya memijatnya pelan. Berita yang baru saja didengar cukup membuatnya berdenyut. Tak disangka jika ucapannya tempo hari menjadi kenyataan. Belinda hamil anak Raffa dengan status masih istri orang.Rumit. Padahal bukan dia yang sedang dihadapkan dengan masalah ini, tetapi sebagai teman dekat, Vano berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk sahabatnya ini. Baru saja dia bernapas lega dan merasa senang lantaran Raffa sudah mendapatkan pekerjaan. Lalu, tiba-tiba ada kabar semacam ini."Hfuuh...." Vano merasa otaknya buntu. Dia menyorot Raffa dengan tatapan kasihan. Bagaimana tidak? Inginnya, Raffa bertanggung jawab dan segera menikahi Belinda. Akan tetapi, niat baiknya tersebut tak bisa terealisasikan lantaran Belinda tidak bisa bercerai dalam keadaan hamil. Raffa mesti menunggu sampai anak itu lahir terlebih dahulu."Berarti gue mesti nunggu sekitar berapa bulan, Van?" tanya Raffa memecah keheningan di ruangan itu. Perasaan bahagia yang
Malam menjelang, Belinda berniat ingin menginap di Apartemen Raffa, sebab dia masih belum puas bertemu dengan kekasihnya itu, rindunya masih menumpuk di dada. Belinda ingin menghabiskan malam ini bersama Raffa, melepaskan kerinduannya. Namun, sebelum itu dia menghubungi suaminya terlebih dahulu, meminta ijin berharap Bima mengijinkannya. Saat di telepon, Bima sempat menolak dan tidak memberikan ijin, mengingat jika Belinda saat ini tengah mengandung. Dia hanya tidak mau Belinda kelelahan akibat ulah nakal Raffa. Sebagai laki-laki normal, Bima jelas paham, apa yang akan terjadi ketika Belinda menginap di Apartemen Raffa. Lalu, karena Belinda yang terus merengek bahkan sempat menangis, pada akhirnya Bima memperbolehkan perempuan itu menginap. Belinda bahagia lantaran diperbolehkan menginap, meski dengan satu syarat Bima akan menyuruh seseorang mengantar vitamin dan obat mual dari dokter. Pun beberapa baju ganti dan perlengkapan lainnya. Usai menghubungi suaminya, lantas Belinda kemba
Kecupan itu semakin agresif. Belinda menjelajahi setiap lekukan leher Raffa yang candu. Aroma sabun menggelitik penciumannya hingga ingin terus mengendusnya."Kamu wangi, Raf. Aku suka." Sembari mengendus, jemari Belinda mengelus lembut permukaan leher sang kekasih, merambat ke tengkuk, lalu meremat helaian rambut Raffa.Sementara Raffa mengungkung tubuh Belinda dari belakang, melingkarkan tangannya ke perut rata itu, kemudian menelusup masuk ke dress dan meraba kulitnya. Naik perlahan, lantas berhenti di buah dada sintal dan kenyal milik Belinda. Ukuran yang menurut Raffa semakin besar dan padat."Bel, ini ukurannya kenapa tambah gede." Raffa berbisik, sembari memilin puncaknya yang mengencang. Belinda melenguh, mendesah sensual kala Raffa bermain-main di dadanya."Raf... eugh...." Bibir Belinda menyambut ciuman Raffa yang masih berada di balik punggungnya. Melumat dan menyesap bergantian hingga suara decapan bibir mereka menggema di seluruh ruangan luas itu. Ruang tamu nampaknya men
Paginya, Belinda yang masih memejamkan mata merasa terusik dengan sentuhan-sentuhan nakal yang berasal dari tangan Raffa. Perempuan itu menggeliat, kala buah dadanya terasa diremas dan dipijat lembut. Tanpa sadar bibirnya bahkan mengeluarkan desahan. Raffa menyeringai, memandang Belinda yang sangat terlihat cantik dan seksi saat masih tidur seperti ini. Ditambah dengan desahan erotis yang meluncur dari bibirnya yang merekah. Pemuda itu memang sengaja melakukannya, mengganggu tidur sang kekasih lantaran tak tahan disuguhi pemandangan indah di samping bantalnya. Memeluk Belinda dari balik punggung seperti ini, memudahkannya menjangkau buah dada yang ukurannya bertambah itu. Membenamkan wajahnya di tengkuk perempuan yang tengah mengandung benih cintanya. Mengendusi setiap helaian rambut pirang Belinda yang wangi. "Raf." Bola mata Belinda akhirnya terbuka sempurna, niatnya yang ingin bangun siang tak bisa terwujud lantaran gangguan dari Raffa. Tubuhnya selalu bereaksi dengan sentuhan pe
"Raf, ada yang mau tanyain." Belinda berucap ragu, wajar jika dia bersikap demikian sebab Raffa tak pernah sekali pun menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Melihat sang kekasih menyendu, Raffa segera mendekat, memegang kedua lengan Belinda seraya berkata, "Apa, Bel? Kamu mau nanya apa?" Ditatapnya lekat-lekat wajah cantik nan menggemaskan itu. Manik Belinda menyelami sesaat arti dari tatapan Raffa yang begitu memancarkan cinta padanya. Ada perasaan yang tidak bisa dia jabarkan kala memikirkan nasib janin yang dikandungnya. Dia dan anaknya butuh seorang figur yang tak hanya melindungi, tetapi juga bisa dipercaya. Selama ini, memang Belinda tak pernah sekali pun bertanya apa pun soal keluarga Raffa. Keberadaan pemuda itu saja rasanya sudah cukup melengkapi kehidupannya kelak.Akan tetapi, ini bukan soal dirinya saja. Saat ini ada nyawa lain yang berhak tahu dari mana asal-usul sang calon ayah. Belinda tidak ingin, suatu saat kelak anaknya akan mempertanyakan siapa kakek dan nenekn
Jam kerja akhirnya telah selesai. Kini, waktunya Raffa bersiap untuk pulang. Rasa rindu kepada sang wanita pujaan sudah tak bisa ditahan lagi, dengan buru-buru Raffa membereskan meja kerjanya, kemudian bergegas meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba-tiba saja Raffa kepikiran untuk menemui ayah terlebih dahulu. Niatnya ingin memberi kabar jika Belinda sudah ada bersamanya dan saat ini tengah mengandung janinnya. Sudah seharusnya begitu, bukan? Jika menundanya malah akan semakin memperburuk keadaan. Raffa hanya tidak mau membuat orang-orang di sekitarnya bersedih terutama sang ibu. Apa pun risiko yang terjadi setelah ini, dia benar-benar harus siap. Entah itu penolakan atau pun persetujuan yang dia dapat setelah berkata jujur kepada sang ayah. Raffa akan menerima konsekuensi atas perbuatannya itu. Yang terpenting adalah bagaimana cara meyakinkan kedua orang tuanya supaya mau menerima dan merestui hubungannya dengan Belinda.Degup jantungnya berdetak sangat kencang. Raffa seakan hen
"Bel! Belinda? Sayang...?" Raffa yang baru saja pulang, langsung mencari keberadaan sang pujaan hati di setiap sudut ruangan. Melangkah tergesa-gesa, sambil memanggil nama itu.Namun, pada saat dia hendak membuka pintu kamar, Belinda terlebih dulu membukanya dari dalam. Perempuan itu baru saja selesai mandi saat mendengar suara Raffa memanggilnya."Bel." Pemuda itu sontak memeluk tubuh berbalut jubah mandi tersebut dengan sangat erat. "aku kangen." Mengecup bibir Belinda berulang-ulang hingga sang empunya menggeliat kegelian."Raf, pelan-pelan." Belinda berusaha menarik wajahnya dari serangan bertubi-tubi dari Raffa. Bayangkan, dia kini dililit dengan begitu erat dan dihujani kecupan-kecupan mesra. Dari mulai bibir, pipi, hidung, lekuk leher, lalu berhenti sebentar untuk menyesap permukaan kulitnya."Raf..." Belinda mendesah geli. "Raffa...." Bukannya melepaskan, Raffa justru mengangkat tubuh Belinda dengan sekali angkat. Belinda yang terkejut sontak mengalungkan tangannya di antara l