Tiga hari sejak perjumpaannya dengan tante Dini di butik, Raffa semakin tidak jelas saja. Semangatnya seolah menguap dan tidak berselera pergi ke mana pun. Jangan kan pergi dari Apartemen, pergi ke klub saja Raffa rasanya malas.
Vano sang sahabat gencar mengejeknya. Tak perlu Raffa menjelaskan semuanya, pemuda itu seakan tahu apa yang tengah melanda sang Casanova.
Seperti siang ini. Keduanya terlihat mengobrol di mini bar milik Raffa. Beberapa jam yang lalu Vano datang dengan membawa kabar yang sama sekali tidak ingin didengar Raffa. Kabar mengenai kembalinya Rania ke Indonesia.
"Semalem lu dicariin Rania, Bro. Enggak nyangka gue ternyata dia masih ngejar-ngejar lu," ucap Vano yang nampak asyik menikmati minuman yang baru saja dibelinya di minimarket dekat gedung Apartemen.
Vano sengaja membeli bir dengan harapan bisa sedikit menghibur Raffa yang belakangan ini tak punya semangat hidup. Benar kata or
"Buka woi! Orangnya udah pulang." Vano mengetuk pintu kamar Raffa. Dia hendak pamit pulang ke apartemennya.Raffa segera membuka pintu kamarnya, dia baru saja selesai mandi dan sudah terlihat sangat rapi.Sebelah alis Vano tertarik ke atas, memindai Raffa dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan mata menyipit. Kemudian dia bertanya,"Mau ke mana lu?"Sahabatnya itu seperti hendak menemui seseorang. Memakai setelan baju kasual tetapi tetap terlihat menawan dan tampan."Gue mau keluar bentar," sahut Raffa sembari keluar dari kamar lalu menutup pintunya. "Lah, elu mau pulang?" tanyanya kemudian.Raffa dan Vano berjalan bersisian menuju ruang tamu."Iya. Gue mau pulang aja. Pusing kepala gue." Vano memukul-mukul kepalanya yang terasa berdenyut sambil berkali-kali mengerjapkan matanya yang agak pedih.Raffa berdecak. "Ti
Kecanggungan masih betah berlama-lama pada Raffa yang saat ini tengah berduaan di ruangan VIP Restoran. Beberapa saat yang lalu dia dan Belinda selesai menyantap makan siang yang sudah dipesan Belinda lebih dulu. Makanan yang cukup membuat perut pemuda itu kekenyangan. Selera makan yang sejak sebulan lebih berkurang, mendadak muncul kala dia bisa menatap wajah cantik Belinda lagi.Raffa seolah dirinya benar-benar telah berubah banyak semenjak mengenal perempuan yang semakin terlihat hot itu. Sebulan lebih hampir tak bertemu, Belinda seolah menjelma menjadi orang lain. Yang dari pandangan Raffa, Belinda semakin terlihat cantik, berisi, dan menggoda. Sikapnya pun sedikit berubah. Belinda kini tak irit bicara dan lebih suka bercanda meski Raffa merasa ada yang aneh dengan perubahan sikap perempuan itu.Pakaian yang dikenakan Belinda juga lebih berani dari sebelumnya. Make up di wajahnya yang menurut Raffa terkesan berani. Dengan pulasan lipstic
Raffa melepas pagutannya sebab pasokan oksigen mulai menipis. Dia menempelkan dahinya ke dahi Belinda dengan deru napas memburu."Sorry ..." Raffa mengusap bibir Belinda yang sedikit membengkak dengan ibu jari. Hampir saja dia lepas kendali di ruangan ini. Gejolak dalam dirinya bak kembang api yang meletup-letup kala melumat benda kenyal dan basah milik Belinda.Akalnya tak dapat dikendalikan. Raffa juga tak mengerti dengan reaksi tubuhnya ketika bersentuhan dengan perempuan yang sudah berstatus sebagai istri orang itu.Cinta? Apakah debaran ini yang dinamakan cinta?Jika memang iya, itu artinya Raffa telah menjilat ludahnya sendiri. Dan, omongan Vano terbukti benar.ck!Sementara Belinda hanya mengulas senyum menanggapi permintaan maaf Raffa yang hampir saja membuatnya kehabisan napas."Enggak masalah. Tapi lain kali kasih aba-aba dulu kalo mau cium. Jadi aku bisa mempersiapkan diri biar enggak kewalahan." Belinda terkekeh. Perlakuan Raffa s
Sejenak keheningan membentang keduanya. Raffa masih tenggelam dengan pikirannya sendiri, sedangkan Belinda tak lepas menatap pemuda berlesung pipi itu.Ucapan Belinda tentu mengganggu, Raffa berpikir bila perempuan di hadapannya ini tengah menyukai pria lain.Oh, astaga! Haruskah dia meratapi nasibnya? Perasaannya kepada Belinda ternyata bertepuk sebelah tangan. Cinta yang baru saja disemai kini harus layu sebelum berkembang?Malang sekali nasibmu Raffa.ck! ck!Sisi lain seorang Raffa Anggara seolah tengah menertawakan dirinya. Mencibir dan mengejeknya tanpa henti.Sialan!Tanpa sadar tangannya mengepal kuat. Raffa merasa tidak terima jika hal i
Rania merangsek masuk begitu saja ke ruangan mami Kumala dengan raut muka marah lantaran kesal setengah mati. Jauh-jauh dia datang ke apartemen cowok yang disukai ternyata sia-sia saja. Raffa tidak ada di sana dan dia justru harus bertemu dengan si panu kudis kurap yang mulutnya pedes level 50.Sejak dulu Rania dan Vano memang tidak akur. Keduanya seperti anjing dan kucing bila ketemu.ck!"Mami!" Rania bersungut-sungut sembari menghempaskan tubuhnya di sofa. Menyilangkan tangannya di dada yang kembang kempis menahan emosi yang hendak menyembur.Kedatangan Rania yang menimbulkan keributan membuat mami Kumala mau tak mau bangkit dari kursi kebesarannya."Kamu kenapa, Rania? Dateng-dateng udah marah-marah enggak jelas," tanya Mami Kumala sembari melangkah mendekati sofa. Kepa
Paginya Belinda bangun dalam keadaan yang berbeda. Hanya berbalut selimut yang menutupi tubuh polos nan mulus miliknya. Mengerjap pelan guna mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terjaga. Dia menggeliat kala tangan kokoh Raffa memeluk pinggangnya. Semalaman mereka tidur dengan posisi seperti itu—Raffa memeluk Belinda dari belakang.Wajah Belinda bersemu dan menghangat saat mengingat percintaannya dengan Raffa semalam. Bibirnya mengulum senyum membayangkan betapa liarnya mereka memadu kasih. Belinda tak habis pikir dengan reaksi tubuhnya sendiri. Setiap Raffa menyentuhnya pasti hasrat dalam dirinya bangkit dengan mudah.ck! 'Murahan sekali aku ini.' Batinnya mengumpat diri sendiri seraya menggigit bibir.Selama sebulan ini dia tidak bertemu dengan Raffa, hingga menimbulkan perasaan aneh di dalam hatinya yang mungki
"Oke, Mi. Makasih." Raffa mengakhiri panggilan teleponnya dengan mami Kumala. Dia lantas menghampiri Belinda yang sedang sibuk berganti baju."Bel." Raffa berdiri di balik punggung Belinda yang nampak kesulitan menaikkan resleting gaunnya."Hem." Belinda menggapai-gapai resleting gaunnya tetapi tidak bisa."Butuh bantuan?" tawar Raffa yang kemudian mengambil alih resleting dari tangan Belinda. Menariknya perlahan-lahan ke atas tanpa berkedip. "Seksi." Raffa berbisik lalu merangkul pinggang Belinda dari belakang. Mengecup lekuk leher beraroma vanila yang telah menjadi candu baginya.Wajah Belinda seketika merona dengan hawa panas menjalar ke setiap aliran darahnya."Siapa yang telepon?" tanyanya yang kini menggeliat kegelian lantaran Raffa tak berhenti mengecupi lehernya.Sontak Raffa menghentikan kecupannya. Dia jadi teringat sesuatu. Lantas, membalik badan B
"Cemburu, ya?" goda Raffa seraya menarik pinggang Belinda hingga tubuh mereka semakin menempel satu sama lain.Bola mata Belinda berputar ke atas, merasa kesal dengan Raffa yang memasang raut muka penuh percaya diri di sampingnya.Sementara karyawan bernama Sita itu memasang raut muka penuh rasa iri, memandang lelaki yang menjadi incarannya tak memedulikannya sama sekali.Belinda melepas tangan Raffa yang melingkar di pinggangnya."Udah, ah! Aku mau ke sana aja. Yuk, antar saya liat-liat gaun malam yang tadi kamu bilang." Menarik tangan karyawan butik bernama Lira. Belinda pergi meninggalkan Raffa dan Sita berdua saja."Bel! Tunggu, Bel!" Raffa sedikit berteriak, hendak melangkahkan kakinya menyusul Belinda yang marah.Namun, t