Raffa melepas pagutannya sebab pasokan oksigen mulai menipis. Dia menempelkan dahinya ke dahi Belinda dengan deru napas memburu.
"Sorry ..." Raffa mengusap bibir Belinda yang sedikit membengkak dengan ibu jari. Hampir saja dia lepas kendali di ruangan ini. Gejolak dalam dirinya bak kembang api yang meletup-letup kala melumat benda kenyal dan basah milik Belinda.
Akalnya tak dapat dikendalikan. Raffa juga tak mengerti dengan reaksi tubuhnya ketika bersentuhan dengan perempuan yang sudah berstatus sebagai istri orang itu.
Cinta? Apakah debaran ini yang dinamakan cinta?Jika memang iya, itu artinya Raffa telah menjilat ludahnya sendiri. Dan, omongan Vano terbukti benar.
ck!
Sementara Belinda hanya mengulas senyum menanggapi permintaan maaf Raffa yang hampir saja membuatnya kehabisan napas.
"Enggak masalah. Tapi lain kali kasih aba-aba dulu kalo mau cium. Jadi aku bisa mempersiapkan diri biar enggak kewalahan." Belinda terkekeh. Perlakuan Raffa s
Sejenak keheningan membentang keduanya. Raffa masih tenggelam dengan pikirannya sendiri, sedangkan Belinda tak lepas menatap pemuda berlesung pipi itu.Ucapan Belinda tentu mengganggu, Raffa berpikir bila perempuan di hadapannya ini tengah menyukai pria lain.Oh, astaga! Haruskah dia meratapi nasibnya? Perasaannya kepada Belinda ternyata bertepuk sebelah tangan. Cinta yang baru saja disemai kini harus layu sebelum berkembang?Malang sekali nasibmu Raffa.ck! ck!Sisi lain seorang Raffa Anggara seolah tengah menertawakan dirinya. Mencibir dan mengejeknya tanpa henti.Sialan!Tanpa sadar tangannya mengepal kuat. Raffa merasa tidak terima jika hal i
Rania merangsek masuk begitu saja ke ruangan mami Kumala dengan raut muka marah lantaran kesal setengah mati. Jauh-jauh dia datang ke apartemen cowok yang disukai ternyata sia-sia saja. Raffa tidak ada di sana dan dia justru harus bertemu dengan si panu kudis kurap yang mulutnya pedes level 50.Sejak dulu Rania dan Vano memang tidak akur. Keduanya seperti anjing dan kucing bila ketemu.ck!"Mami!" Rania bersungut-sungut sembari menghempaskan tubuhnya di sofa. Menyilangkan tangannya di dada yang kembang kempis menahan emosi yang hendak menyembur.Kedatangan Rania yang menimbulkan keributan membuat mami Kumala mau tak mau bangkit dari kursi kebesarannya."Kamu kenapa, Rania? Dateng-dateng udah marah-marah enggak jelas," tanya Mami Kumala sembari melangkah mendekati sofa. Kepa
Paginya Belinda bangun dalam keadaan yang berbeda. Hanya berbalut selimut yang menutupi tubuh polos nan mulus miliknya. Mengerjap pelan guna mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terjaga. Dia menggeliat kala tangan kokoh Raffa memeluk pinggangnya. Semalaman mereka tidur dengan posisi seperti itu—Raffa memeluk Belinda dari belakang.Wajah Belinda bersemu dan menghangat saat mengingat percintaannya dengan Raffa semalam. Bibirnya mengulum senyum membayangkan betapa liarnya mereka memadu kasih. Belinda tak habis pikir dengan reaksi tubuhnya sendiri. Setiap Raffa menyentuhnya pasti hasrat dalam dirinya bangkit dengan mudah.ck! 'Murahan sekali aku ini.' Batinnya mengumpat diri sendiri seraya menggigit bibir.Selama sebulan ini dia tidak bertemu dengan Raffa, hingga menimbulkan perasaan aneh di dalam hatinya yang mungki
"Oke, Mi. Makasih." Raffa mengakhiri panggilan teleponnya dengan mami Kumala. Dia lantas menghampiri Belinda yang sedang sibuk berganti baju."Bel." Raffa berdiri di balik punggung Belinda yang nampak kesulitan menaikkan resleting gaunnya."Hem." Belinda menggapai-gapai resleting gaunnya tetapi tidak bisa."Butuh bantuan?" tawar Raffa yang kemudian mengambil alih resleting dari tangan Belinda. Menariknya perlahan-lahan ke atas tanpa berkedip. "Seksi." Raffa berbisik lalu merangkul pinggang Belinda dari belakang. Mengecup lekuk leher beraroma vanila yang telah menjadi candu baginya.Wajah Belinda seketika merona dengan hawa panas menjalar ke setiap aliran darahnya."Siapa yang telepon?" tanyanya yang kini menggeliat kegelian lantaran Raffa tak berhenti mengecupi lehernya.Sontak Raffa menghentikan kecupannya. Dia jadi teringat sesuatu. Lantas, membalik badan B
"Cemburu, ya?" goda Raffa seraya menarik pinggang Belinda hingga tubuh mereka semakin menempel satu sama lain.Bola mata Belinda berputar ke atas, merasa kesal dengan Raffa yang memasang raut muka penuh percaya diri di sampingnya.Sementara karyawan bernama Sita itu memasang raut muka penuh rasa iri, memandang lelaki yang menjadi incarannya tak memedulikannya sama sekali.Belinda melepas tangan Raffa yang melingkar di pinggangnya."Udah, ah! Aku mau ke sana aja. Yuk, antar saya liat-liat gaun malam yang tadi kamu bilang." Menarik tangan karyawan butik bernama Lira. Belinda pergi meninggalkan Raffa dan Sita berdua saja."Bel! Tunggu, Bel!" Raffa sedikit berteriak, hendak melangkahkan kakinya menyusul Belinda yang marah.Namun, t
Beberapa saat sebelumnya ~Belinda pergi meninggalkan Raffa dengan perasaan dongkol. Dia juga tidak tahu kenapa sikapnya sesensitif ini. Hatinya terasa panas melihat Raffa secara terang-terangan digoda oleh gadis yang usianya di bawah dirinya.Ditambah dengan Raffa yang menggodanya. Yang mengatakan jika dirinya merasa cemburu.'Pliss, Bel, lu bukan ABG lagi. Enggak lucu banget kalo lu cemburu sama cewek itu.' Bahkan sisi lain dalam diri Belinda seakan mencemooh sikapnya yang aneh.ck!Ya.. meskipun wajah cewek itu masih jauh dari kata cantik. Cantikkan juga dia. Usia boleh kepala tiga tetapi onderdil macam usia kepala dua. wkwk..."Coba tunjukkan gaun malam yang tadi kamu bilang." Belinda memerintah Lira yang sedari tadi membuntutinya di belakang.Gadis itu mengangguk. Kemudian dia berjalan lalu mengambil
Sekembalinya dari Butik, Raffa dan Belinda mampir ke sebuah Restoran untuk makan siang yang jamnya sudah terlewat. Hampir pukul dua mereka baru mengisi amunisi."Bel," panggil Raffa yang telah menyelesaikan makan siangnya terlebih dahulu. Sejak dari Butik pikirannya terus gusar.Belinda meletakkan sendok di atas piringnya yang masih menyisakan makanan. Dia meraih gelas yang berisi jus jeruk lalu meminumnya. Kemudian meletakkannya lagi baru menyahut,"Apa?" Sembari menyeka sudut bibirnya dengan selembar tisu.Raffa menegakkan punggung, berdeham samar kemudian sedikit beringsut maju. Keadaan Restoran yang ramai mengharuskan dia berbicara lebih dekat dan agak keras."Entar malem sebaiknya kita enggak usah dateng ke villanya Tante Dini," ucapnya dengan raut muka serius.Belinda mengernyit. "Kenapa? Kenapa enggak usah?" Kemudian memicingkan mata. "Jangan bilang ka
JAKARTA.Vano tengah memijit pelipisnya dengan kedua tangannya yang bertumpu di meja bar. Pemuda itu merasa pusing sekali sebab Rania terus saja mencecarnya dengan banyak pertanyaan perihal keberadaan Raffa.Gadis itu ingin sekali bertemu Raffa. Sejak kepulangannya dari Singapura, dia belum pernah bertemu secara langsung dengan pria yang disukainya itu. Tujuan utamanya pulang ke Indonesia adalah menemui Raffa, tetapi keinginannya tersebut belum juga terlaksana. Raffa seolah sangat sulit untuk ditemui.Menjengkelkan!"Panu!" Rania menarik-narik lengan Vano."Ck! Nama gue Vano, Rania! Bukan panu!" Vano kesal dengan panggilan absurd itu.Sang bartender yang tak sengaja mendengar malah tergelak.Vano melotot dengan tampang horor. "Kenapa lu ketawa! Anjim! Ada yang lucu emang? Sono lu!" Vano melempar bartender bernama Aska itu dengan kentang g