Sekembalinya dari Butik, Raffa dan Belinda mampir ke sebuah Restoran untuk makan siang yang jamnya sudah terlewat. Hampir pukul dua mereka baru mengisi amunisi.
"Bel," panggil Raffa yang telah menyelesaikan makan siangnya terlebih dahulu. Sejak dari Butik pikirannya terus gusar.
Belinda meletakkan sendok di atas piringnya yang masih menyisakan makanan. Dia meraih gelas yang berisi jus jeruk lalu meminumnya. Kemudian meletakkannya lagi baru menyahut,
"Apa?" Sembari menyeka sudut bibirnya dengan selembar tisu.
Raffa menegakkan punggung, berdeham samar kemudian sedikit beringsut maju. Keadaan Restoran yang ramai mengharuskan dia berbicara lebih dekat dan agak keras.
"Entar malem sebaiknya kita enggak usah dateng ke villanya Tante Dini," ucapnya dengan raut muka serius.
Belinda mengernyit. "Kenapa? Kenapa enggak usah?" Kemudian memicingkan mata. "Jangan bilang ka
JAKARTA.Vano tengah memijit pelipisnya dengan kedua tangannya yang bertumpu di meja bar. Pemuda itu merasa pusing sekali sebab Rania terus saja mencecarnya dengan banyak pertanyaan perihal keberadaan Raffa.Gadis itu ingin sekali bertemu Raffa. Sejak kepulangannya dari Singapura, dia belum pernah bertemu secara langsung dengan pria yang disukainya itu. Tujuan utamanya pulang ke Indonesia adalah menemui Raffa, tetapi keinginannya tersebut belum juga terlaksana. Raffa seolah sangat sulit untuk ditemui.Menjengkelkan!"Panu!" Rania menarik-narik lengan Vano."Ck! Nama gue Vano, Rania! Bukan panu!" Vano kesal dengan panggilan absurd itu.Sang bartender yang tak sengaja mendengar malah tergelak.Vano melotot dengan tampang horor. "Kenapa lu ketawa! Anjim! Ada yang lucu emang? Sono lu!" Vano melempar bartender bernama Aska itu dengan kentang g
Tante Rika terus memagut bibir Raffa dengan santainya tanpa memedulikan tatapan horor dari dua manusia yang berdiri di berbeda tempat itu. Axel menelan ludahnya, sementara Belinda kini mengalihkan pandangannya ke lain arah.Tontonan tak senonoh yang secara sengaja diperlihatkan tante Rika membuat perut Belinda bergejolak. Rasanya seperti diaduk-aduk di dalam sana. Mual sekaligus eneg. Belinda berdecih kasar sembari mengeratkan rahang.'Janda gatel sialan! Dia sengaja nyium Raffa di depan aku. Liat aja nanti pembalasanku.' Belinda menggerutu dalam hati. Sesekali ekor matanya melirik tante Rika yang sudah melepas pagutannya.Sontak Raffa memicingkan mata. "Apa yang barusan Tante lakukan ini enggak bener, Tan. Ini salah. Aku enggak lagi di bawah kendali Tante. Harusnya Tante ngerti itu. Di sini yang berhak ngelakuin itu ke aku itu Belind
Setibanya di Villa, Raffa dan Belinda turun dari mobil lalu memutuskan untuk segera masuk ke dalam lantaran udara dingin yang semakin menusuk tulang. Namun, pada saat keduanya berjalan beriringan menuju pintu tiba-tiba saja Belinda merasa pusing dan hendak terjatuh. Beruntung Raffa sigap memapah tubuh Belinda dan menggendongnya. "Kamu sakit, Bel?" tanya Raffa yang cemas melihat kondisi Belinda yang agak pucat. Pemuda itu membaringkan tubuh kekasihnya perlahan di ranjang. "Enggak tahu. Kepalaku pusing banget, Raf," jawab Belinda sembari memegang pelipisnya yang terasa berdenyut. Entah mengapa tengkuknya terasa sangat berat. Raffa duduk di pinggiran ranjang, dia lantas menempelkan punggung tangannya ke dahi Belinda yang biasa-biasa saja. "Enggak panas," ucapnya. "apa mungkin efek minuman yang kamu minum tadi, Bel?" duganya kemudian, lalu menarik selimut menutupi se
"Sshhh ... Raf, eugh ...." Belinda mendesah kala jemari nakal Raffa malah semakin aktif menyusuri setiap lekuk tubuhnya yang polos di dalam selimut. Beberapa detik yang lalu Raffa merasakan sesuatu mendesak jiwa ke-lelakiannya. Efek minuman rupanya juga mulai beraksi di tubuhnya. Aliran darah Raffa berdesir, mengalir menjalari sekujur tubuhnya yang setengah telanjang. Kabut gairah telah menyelimuti kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Belinda menikmati setiap kecupan dan cumbuan bertubi-tubi yang dipersembahkan Raffa padanya. Jelas ini merupakan hal yang baru bagi Belinda. Bercinta dalam pengaruh alkohol. Seakan tubuhnya kian memanas dan menegang menerima perlakuan Raffa yang selalu berhasil membuatnya kepayang. "Sshhh ... ahh ... Raffa ...." Belinda bahkan sampai menggigit bibirnya sensual kala Raffa menyerukkan wajahnya di antara kedua pahanya. Pemuda itu begitu aktif memainkan lidah di milik Belinda yang masih tertutup kain segitiga berenda. "Raf ..." Meremat setiap
Semilir angin malam Puncak tak membuat seorang pemuda yang kini berdiri di balik besi pembatas balkon Villa, tempatnya menginap bersama sang pujaan hati merasa kedinginan. Kegundahan hati yang mendera membuat Raffa tidak dapat tidur dengan nyenyak. Padahal biasanya setelah bercinta dia akan tertidur pulas.Memilih untuk menghisap rokok yang dimintanya dari pengurus Villa, Raffa seakan menyalurkan kegusarannya lewat kepulan asap barang bernikotin tersebut. Pikirannya menerawang jauh ke masa depan yang entah akan seperti apa. Raffa yang merasa harus merubah semuanya demi Belinda, mau tak mau akan meninggalkan profesinya sebagai lelaki penghibur. Tak mau kejadian tadi siang terulang lantaran tidak ingin menyakiti perasaan perempuan yang dia sayang.Mungkin sudah saatnya dia meninggalkan dunia kelamnya. Mencari pekerjaan yang lebih baik lagi dan berusaha memberikan sesuatu dengan cara halal."Astaga ..." Mendesah gusar, Raffa menekan puntung rokok pada asbak. Lalu kembali mengambil rokok
"Maaf ... maafin aku. Aku enggak bermaksud meragukan niat kamu. Aku tadi cuma kaget. Tiba-tiba kamu ngajakin nikah," jelas Belinda berharap itu semua dapat mengurangi rasa kecewa Raffa.Ajakan menikah Raffa telah membuktikan bahwa pemuda itu memang tidak main-main dengan hubungan mereka. Akan tetapi, Belinda tak bisa memberi jawaban yang pasti untuk saat ini sebab ikatannya dengan Bima belum berakhir. Suaminya itu memberinya waktu sebulan untuk Belinda menemukan pria yang tepat dan siap menikahinya.Lantas, kenapa kebimbangan masih menggelayuti Belinda? Bukankah ini kesempatan bagus baginya lepas dari Bima dengan mudah. Raffa sudah memberikan sinyal padanya. Mengajaknya menikah.Namun Belinda harus menjelaskan semuanya kepada pemuda ini. Dia tidak ingin Raffa mengambil keputusan dengan tergesa-gesa dan secara emosional. Tidak. Belinda belum siap jika suatu saat Raffa pergi meninggalkan dirinya.Raffa termangu, menunggu seorang perempuan di depannya kini memberikan jawaban. Dari sorot
Satu Minggu telah berlalu, Belinda dan Raffa tengah bersiap kembali menuju Jakarta. Selama sepekan menghabiskan waktu bersama membuat keduanya semakin mesra. Raffa tak lagi sungkan mencurahkan perhatian kepada kekasihnya itu. Sejak pagi dia membantu Belinda membereskan semua barang-barang yang mereka beli dadakan di Puncak. Mulai dari baju, dan perlengkapan lainnya. Jelas Belinda merasa begitu dicintai. Dia tidak pernah menyangka jika Raffa yang dulu dia pikir cuek dan dingin, kini berubah menjadi sangat hangat. Pemuda itu tak pernah sekali pun membuatnya merasa insekyur. Mengingat, bila usia mereka terpaut sangat jauh. Status mereka pun berbeda. Namun, Raffa seolah tak pernah bosan mengikis semua perbedaan antara mereka. Pemuda itu menepati janjinya—melimpahkan kasih sayang yang tiada habisnya. Tak lupa Raffa juga selalu mengungkapkan cinta ketika bangun tidur karena menurutnya itu semua bisa menambah keterikatan dalam menjalin hubungan. "Selesai," seru Raffa sesaat memasukkan bar
"Sialan, lu!" Raffa memukul lengan Vano sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. "Kampret! Sakit, Raf!" Vano mengusap-usap lengannya yang lumayan terasa panas. Bibirnya komat-kamit menggerutu. Terdengar decakan nyaring dari mulut Raffa. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa apabila Belinda sampai bertanya perihal Rania. "Lu kenapa enggak ngabarin gue kalo si Rania nunggu di sini!" sentak Raffa sambil sesekali celingukan ke ruang tamu. Beberapa saat yang lalu dia buru-buru menarik Vano, membawa sahabatnya itu ke pantry untuk dimintai penjelasan. Meninggalkan Rania dan Belinda di ruang tamu berdua saja. "Ck! Elu-nya aja yang keasyikan pacaran! Sampe telpon dari gue enggak diangkat." Lantas, Vano mengambil ponselnya dari saku celana. "Noh, liat! Udah berapa kali gue telpon elu. Gue juga chat elu, bego!" Menunjuk layar ponselnya ke depan hidung Raffa yang cuma berdecih. "Masa, sih?" Raffa yang masih belum percaya kemudian mengambil ponsel dari saku jaketnya. Menekan tombol on dan