Komen nyok! Komen!😑 Follow igeh aku azaahh klo gitu :')
Semilir angin malam Puncak tak membuat seorang pemuda yang kini berdiri di balik besi pembatas balkon Villa, tempatnya menginap bersama sang pujaan hati merasa kedinginan. Kegundahan hati yang mendera membuat Raffa tidak dapat tidur dengan nyenyak. Padahal biasanya setelah bercinta dia akan tertidur pulas.Memilih untuk menghisap rokok yang dimintanya dari pengurus Villa, Raffa seakan menyalurkan kegusarannya lewat kepulan asap barang bernikotin tersebut. Pikirannya menerawang jauh ke masa depan yang entah akan seperti apa. Raffa yang merasa harus merubah semuanya demi Belinda, mau tak mau akan meninggalkan profesinya sebagai lelaki penghibur. Tak mau kejadian tadi siang terulang lantaran tidak ingin menyakiti perasaan perempuan yang dia sayang.Mungkin sudah saatnya dia meninggalkan dunia kelamnya. Mencari pekerjaan yang lebih baik lagi dan berusaha memberikan sesuatu dengan cara halal."Astaga ..." Mendesah gusar, Raffa menekan puntung rokok pada asbak. Lalu kembali mengambil rokok
"Maaf ... maafin aku. Aku enggak bermaksud meragukan niat kamu. Aku tadi cuma kaget. Tiba-tiba kamu ngajakin nikah," jelas Belinda berharap itu semua dapat mengurangi rasa kecewa Raffa.Ajakan menikah Raffa telah membuktikan bahwa pemuda itu memang tidak main-main dengan hubungan mereka. Akan tetapi, Belinda tak bisa memberi jawaban yang pasti untuk saat ini sebab ikatannya dengan Bima belum berakhir. Suaminya itu memberinya waktu sebulan untuk Belinda menemukan pria yang tepat dan siap menikahinya.Lantas, kenapa kebimbangan masih menggelayuti Belinda? Bukankah ini kesempatan bagus baginya lepas dari Bima dengan mudah. Raffa sudah memberikan sinyal padanya. Mengajaknya menikah.Namun Belinda harus menjelaskan semuanya kepada pemuda ini. Dia tidak ingin Raffa mengambil keputusan dengan tergesa-gesa dan secara emosional. Tidak. Belinda belum siap jika suatu saat Raffa pergi meninggalkan dirinya.Raffa termangu, menunggu seorang perempuan di depannya kini memberikan jawaban. Dari sorot
Satu Minggu telah berlalu, Belinda dan Raffa tengah bersiap kembali menuju Jakarta. Selama sepekan menghabiskan waktu bersama membuat keduanya semakin mesra. Raffa tak lagi sungkan mencurahkan perhatian kepada kekasihnya itu. Sejak pagi dia membantu Belinda membereskan semua barang-barang yang mereka beli dadakan di Puncak. Mulai dari baju, dan perlengkapan lainnya. Jelas Belinda merasa begitu dicintai. Dia tidak pernah menyangka jika Raffa yang dulu dia pikir cuek dan dingin, kini berubah menjadi sangat hangat. Pemuda itu tak pernah sekali pun membuatnya merasa insekyur. Mengingat, bila usia mereka terpaut sangat jauh. Status mereka pun berbeda. Namun, Raffa seolah tak pernah bosan mengikis semua perbedaan antara mereka. Pemuda itu menepati janjinya—melimpahkan kasih sayang yang tiada habisnya. Tak lupa Raffa juga selalu mengungkapkan cinta ketika bangun tidur karena menurutnya itu semua bisa menambah keterikatan dalam menjalin hubungan. "Selesai," seru Raffa sesaat memasukkan bar
"Sialan, lu!" Raffa memukul lengan Vano sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. "Kampret! Sakit, Raf!" Vano mengusap-usap lengannya yang lumayan terasa panas. Bibirnya komat-kamit menggerutu. Terdengar decakan nyaring dari mulut Raffa. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa apabila Belinda sampai bertanya perihal Rania. "Lu kenapa enggak ngabarin gue kalo si Rania nunggu di sini!" sentak Raffa sambil sesekali celingukan ke ruang tamu. Beberapa saat yang lalu dia buru-buru menarik Vano, membawa sahabatnya itu ke pantry untuk dimintai penjelasan. Meninggalkan Rania dan Belinda di ruang tamu berdua saja. "Ck! Elu-nya aja yang keasyikan pacaran! Sampe telpon dari gue enggak diangkat." Lantas, Vano mengambil ponselnya dari saku celana. "Noh, liat! Udah berapa kali gue telpon elu. Gue juga chat elu, bego!" Menunjuk layar ponselnya ke depan hidung Raffa yang cuma berdecih. "Masa, sih?" Raffa yang masih belum percaya kemudian mengambil ponsel dari saku jaketnya. Menekan tombol on dan
Dua hari sudah Raffa tidak dapat menghubungi Belinda. Lelaki itu merasa cemas bukan main. Ponsel kekasihnya sama sekali tidak aktif semenjak kepergiannya dari Apartemen. Entah apa yang terjadi dengan Belinda sampai -sampai dia mematikan ponselnya."Apa dia marah beneran, ya, sama gue? Ck!" Raffa bergegas bangkit dari tempat tidurnya untuk segera mencari tahu keadaan Belinda. Mungkin dia akan pergi ke rumah Belinda terlebih dahulu.Pada saat Raffa membuka pintu dan hendak melangkah keluar, tiba-tiba Vano sudah berdiri di depannya."Buset, Raf! Kenapa lu? Kayak orang kesetanan?" tanya Vano memindai raut wajah Raffa yang berantakan. Dua hari ini dia sama sekali tidak keluar dari unitnya itu lantaran masih kepikiran Belinda."Gue mau ke rumahnya Belinda." Raffa menjawab sambil hendak berlalu, namun Vano buru-buru mencegahnya."Emang si Tante Belinda kenapa?" Vano penasaran dan ikut merasa cemas.Menggeleng lantas menjawab, "Gue juga enggak tahu, Van. Hpnya mati dari kemaren malem. Gue jad
"Ini rumahnya Tante Belinda, Raf?" Vano bertanya tanpa berkedip sedikit pun. Mulutnya menganga lebar seolah dia belum pernah melihat rumah semewah ini. Beberapa saat yang lalu mereka tiba di depan pintu gerbang rumah Belinda yang menjulang sangat tinggi. "Iya. Ayo turun!" Raffa melepas sabuk pengaman lantas keluar dari mobil. Vano tersentak saat Raffa membanting pintu mobil."Eh, kampret! Tungguin!" Buru-buru dia melepas sabuk pengaman dari badannya dan langsung keluar dari mobil. Keduanya lantas mendekati pos sekuriti yang berjaga. Raffa dan Vano gugup setengah mati. Baru kali ini mereka mendatangi rumah pelanggan. ck!Memang benar kalau cinta itu bisa membuat orang hilang akal. Contohnya ya seperti Raffa ini. Mana ada orang yang berani datang ke rumah pelanggannya di siang bolong begini. Sukur-sukur suami Belinda sedang tidak ada di rumah. Bayangkan saja jika ada. Pasti akan terjadi perang dunia ke empat. "Permisi," sapa Raffa begitu mendekat di pos sekuriti, sedangkan Vano me
"Apa! Kamu mau mundur dari pekerjaan ini, Fa?" Mami Kumala tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sesaat Raffa berkata ingin mundur dari Diskotek—tempatnya mengais rezeki selama tiga tahun belakangan ini."Iya, Mi. Maaf." Raffa tertunduk lesu. Tak sanggup menatap mata sendu mami Kumala yang sama sekali tidak berkedip.Di mata itu ada banyak sekali harapan mami Kumala kepada Raffa. Berkat dialah, Raffa tidak sampai jadi gelandangan. Meski pemuda itu tahu jika pekerjaan yang ditawarkan mami Kumala merupakan pekerjaan tidak halal. Namun, kala itu Raffa tidak memedulikan profesinya. Asal perutnya terisi dan mempunyai hunian nyaman dan mewah. Terutama dia bisa berdiri di bawah kakinya sendiri tanpa mengandalkan uang sang ayah.Huh! Mengingat itu Raffa jadi mengingat cacian ayahnya dulu."Mami harus bilang apa ke pelanggan kamu? Mereka semua pasti nanyain kamu, Fa?" Mami Kumala bertanya demikian tak serta-merta dia memikirkan nasib Diskotek-nya yang pastinya akan kehilangan tambang emas.
Raffa pergi dari Diskotek hampir tengah malam. Sementara Vano pergi ke Hotel bersama Tante yang memakai jasanya. Meski kepalanya agak sedikit berdenyut, tetapi Raffa tetap memutuskan untuk pulang ke Apartemen. Nanti setibanya di sana, dia akan langsung tidur saja—pikirnya.Jalanan mulai terlihat sangat sepi, apalagi arah dari Diskotek menuju tempat tinggalnya terkenal rawan. Jarang sekali Raffa pulang di jam segini. Dia terbiasa pulang subuh atau pagi. Tidak ada yang perlu ditakuti. Akan tetapi, perasaannya sejak tadi tidak enak. Rasanya seperti ada orang yang tengah mengikuti mobilnya dari belakang.Raffa melirik sekilas dari kaca spion. Dan, benar saja. Dia melihat jika ada mobil sedan hitam melaju agak kencang tengah membuntutinya. Seperti hendak ingin mendahului. Namun, dengan sigap Raffa berhasil menghindar ketika sedan hitam itu berupaya menyerempet mobilnya."Brengsek!" umpat Raffa seraya semakin mempercepat laju mobilnya. "Mau nyari masalah sama gue kayaknya." Fortuner hitam m