Di sebuah kamar serba putih itu seorang pemuda dengan hampir seluruh bagian wajahnya diperban nampak mengerjap pelan. Jari-jarinya yang terdapat selang infus juga bergerak-gerak. Tentu saja hal tersebut membuat lelaki yang kini berada di sampingnya terperanjat kaget, terkejut sekaligus bahagia. "Raf ...," Vano refleks bangkit dari duduknya lalu menyentuh tangan sahabatnya yang kini membuka mata. "Elu udah sadar, Raf?" Vano bahkan hampir menangis, merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara Raffa nampaknya masih belum sepenuhnya sadar. Pemuda itu menyipitkan mata lantaran sinar lampu yang begitu terang terasa menyilaukan. Pemuda itu seperti orang linglung sebab kini bola matanya tengah memindai seisi ruangan serba putih dan berbau khas obat. "Van, gue ... lagi di mana? Kok, semuanya serba putih?" tanya Raffa meski suaranya masih terdengar sangat lemah. Dia menatap Vano seolah menunggu sahabatnya itu memberi jawaban. Vano yang ditanya demikian mendadak berubah kesal.
"Udah, Bu. Aku udah kenyang." Raffa memalingkan muka seraya mendorong pelan tangan sang ibu yang hendak menyuapinya lagi. Ibu tersenyum lantas menarik tangannya mundur dan meletakkan wadah makanan di atas nakas. Kemudian beliau mengambil gelas berisikan air putih, lalu menyodorkan kepada Raffa. "Minumlah." Beliau membantu Raffa minum setelah itu meletakkannya lagi di nakas. Sudut hati Raffa menghangat dengan perlakuan ibunya. Perhatian inilah yang sangat dia rindukan selama ini. Ibu selalu memperlakukannya seperti anak kecil dan tak pernah sekali pun memarahinya. Oleh karena itu Raffa tumbuh menjadi anak yang manja dan pembangkang. "Terima kasih, Bu," ujar Raffa tulus yang disambut senyuman oleh bu Farah. "Istirahatlah. Dokter tadi menyuruhmu untuk jangan banyak bergerak dulu." Bu Farah membantu putranya berbaring kembali. "Ibu akan menunggu di sini." Menarik kursi lalu mendaratkan bokongnya. Bu Farah duduk di sisi ranjang Raffa. Beberapa saat yang lalu dokter memeriksa kondisi R
Hari ini Raffa sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Hasil dari rongsen kemarin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Raffa tidak mengalami luka dalam yang cukup serius. Hanya saja dirinya harus banyak istirahat dan dilarang banyak bergerak. Perban di wajah juga sudah dibuka. Wajah tampan Raffa terlihat lebam dan ada beberapa bekas jahitan di pelipis kanan. "Ibu ikut anter Raffa pulang 'kan?" tanya Raffa kepada sang ibu yang sudah bersiap. Mereka menunggu kedatangan Vano. "Iya. Ibu ikut anter kamu pulang. Sekalian ibu juga pengen tahu tempat tinggal kamu," jawab bu Farah seperti biasa. Lembut dan penuh perhatian. Raffa tersenyum. "Makasih, Bu. Ibu udah rawat Raffa dua hari ini," ucapnya tulus. Bu Farah mengusap lengan Raffa kemudian berkata, "Ini semua udah jadi kewajiban ibu, Nak. Kamu 'kan anak ibu satu-satunya." Beliau memandang wajah Raffa dengan sangat lama. Ada banyak perubahan dari putranya ini. Terlihat sangat dewasa dan semakin tampan. Raffa yang dipanda
Tengah malam Raffa terbangun lantaran lagi-lagi merasakan sesak di dadanya. Dia bangkit dari tempat tidur lantas keluar dari kamar dan menuju pantry. Tenggorokannya terasa kering, dia ingin mengambil air minum di kulkas.Setelah mengambil air dari kulkas, Raffa duduk di stoolbar lalu meminum cairan bening tersebut. Rasa dingin menjalar ke seluruh tenggorokan dan sedikit mengurangi sesak yang sempat menderanya. Raffa meletakkan botol air mineral yang masih tersisa separuh itu di meja."Heuh ...." Helaan napas panjang berembus di hidungnya. Bibirnya meringis menahan rasa nyeri yang terkadang masih muncul di bekas lukanya.Sampai detik ini dia masih merasa penasaran dengan sosok yang ingin menghabisinya. Selama ini Raffa merasa tidak mempunyai musuh di luaran sana. Namun, kenapa tiba-tiba ada orang yang mengeroyoknya hingga babak belur."Siapa orang itu?" Pikiran Raffa menerawang, bayangan kejadian tempo hari kembali berkelebat di ingatan.Seingatnya, orang yang memukulinya mengatakan ji
"Kenapa bisa begini, Raffa? Apa yang terjadi sama kamu? Mukamu kenapa banyak lebam dan luka-luka?" Belinda mencecar banyak sekali pertanyaan kepada Raffa yang saat ini berbaring di pangkuannya. Perempuan itu terkejut bukan main ketika melihat wajah kekasihnya yang tampan di bawah sinar lampu kamar miliknya. Bekas jahitan dan beberapa bekas luka bertebaran di seluruh wajah pemuda itu menjadi pusat perhatian Belinda. Dan, tanggapan Raffa justru membuat sang kekasih menjadi kesal bukan main. Dengan santainya dia malah menjawab, "Namanya juga anak muda, sekali-kali bandel dikit enggak apa-apa 'kan ya? Muka aku juga masih tetep keliatan ganteng 'kan?" Raffa mengerling nakal seraya mencium berulang tangan Belinda yang ada di kepalanya. Belinda menghela napas panjang, sambil memutar bola matanya ke atas. Dia heran, kekasihnya sangat percaya diri sekali. "Aku ini serius nanya, Raf. Kamu kenapa jawabnya kayak santai begitu," ujarnya sembari memindai wajah Raffa. "kamu itu malah tambah jel
Raffa mulai melumat dan memagut bibir tipis Belinda yang selama sepekan tidak dia sentuh. Bibir yang selalu terasa manis saat dia merasainya.Belinda melenguh kala tangan kokoh Raffa mulai menelusup di balik piyama tidurnya. Gesekan kulit tangan Raffa seperti sengatan aliran listrik yang membuat seluruh tubuhnya menegang."Raffa ...." Suara Belinda terdengar erotis di telinga Raffa yang sudah terbakar gairah sejak beberapa saat yang lalu.Pemuda itu mencium kening lalu turun ke kedua kelopak mata Belinda yang terpejam, lantas ganti mencium pipi putih itu."Kangen, Bel," bisiknya parau. Lantas, melumat bibir itu lagi dengan penuh nafsu. Ciuman itu turun ke leher jenjang Belinda, dan merambat ke tulang selangka, menggigitnya kecil hingga berbekas jejak keunguan."Eugh ...." Desahan kembali lolos dari bibir Belinda yang meremang dan semakin terbakar gairah.Tak berhenti di situ, pemuda yang saat ini tengah menikmati hangatnya kulit Belinda perlahan mengangkat tubuh langsing itu ke pangku
Sementara di Apartemen pemuda itu, ada dua orang yang sedang mencari keberadaan Raffa sejak tadi. Ibu Farah dan Vano kelimpungan lantaran tidak menemukan Raffa di manapun. "Vano, gimana ini? Raffa ke mana?" tanya bu Farah dengan cemas dan khawatir. Beliau tak henti berjalan mondar-mandir layaknya alat pelicin pakaian. "Hapenya pakek ditinggal lagi. Ibu jadi susah 'kan mau nelepon dia. Anak itu bener-bener." Bu Farah menggerutu kesal lantaran tak bisa mencari tahu di mana Raffa berada sekarang. Vano yang sedari tadi ikut-ikutan cemas juga turut merutuki sahabatnya itu. Dalam kondisi seperti itu, sebenarnya Raffa pergi ke mana. Hampir tiga jam dia dan bu Farah menunggu kepulangannya. "Raffa mungkin cari angin, Tante. Dia bawa mobilnya Vano," ujar Vano yang malah semakin menambah kecemasan bu Farah. Menatap terkejut sembari memijat pangkal hidungnya, bu Farah lantas berkata lagi. "Cari angin kok pakek mobil. Dia 'kan bisa di balkon kamar atau di sini." Mendesah gusar kemudian memici
Keesokannya, Vano dan Raffa tengah dalam perjalanan menuju bengkel, tempat di mana mobil Raffa di servis. Kondisi mobil yang lumayan parah memakan waktu yang juga agak lama untuk memperbaikinya. Dan, oleh karena itu Raffa harus merogoh kocek yang lumayan dalam agar bodi si Fortuner hitam kesayangannya kembali seperti semula."Ck! Gara-gara ulah itu orang mobil gue jadi dibawa ke sini. Udah bayarnya mahal lagi." Raffa berdecak nyaring hingga membuat Vano menoleh seraya menahan kesal."Sabar, Raf. Polisi juga lagi bertindak. Kita tinggal tunggu kabar dari mereka aja." Vano menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. Sudah hampir dua pekan kasus pengeroyokan itu dilaporkan. Namun, belum ada petunjuk dari pihak kepolisian mengenai perkembangan kasus tersebut. Seakan polisi sangat sulit untuk melacak keberadaan pelaku. "Huh! Kalo emang bener dalangnya si Bima, gue bakalan jeblosin dia ke penjara," ujar Raffa yang seketika ditanggapi Vano."Emang segampang itu?" Vano menautkan alisnya. "Bukannya