Keesokannya, Vano dan Raffa tengah dalam perjalanan menuju bengkel, tempat di mana mobil Raffa di servis. Kondisi mobil yang lumayan parah memakan waktu yang juga agak lama untuk memperbaikinya. Dan, oleh karena itu Raffa harus merogoh kocek yang lumayan dalam agar bodi si Fortuner hitam kesayangannya kembali seperti semula."Ck! Gara-gara ulah itu orang mobil gue jadi dibawa ke sini. Udah bayarnya mahal lagi." Raffa berdecak nyaring hingga membuat Vano menoleh seraya menahan kesal."Sabar, Raf. Polisi juga lagi bertindak. Kita tinggal tunggu kabar dari mereka aja." Vano menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. Sudah hampir dua pekan kasus pengeroyokan itu dilaporkan. Namun, belum ada petunjuk dari pihak kepolisian mengenai perkembangan kasus tersebut. Seakan polisi sangat sulit untuk melacak keberadaan pelaku. "Huh! Kalo emang bener dalangnya si Bima, gue bakalan jeblosin dia ke penjara," ujar Raffa yang seketika ditanggapi Vano."Emang segampang itu?" Vano menautkan alisnya. "Bukannya
"Elu enggak ke diskotek?" tanya Raffa yang baru saja selesai mandi. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa di samping Vano yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Gue lagi males. Capek, Raf!" Vano menyahuti tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Entah apa yang membuatnya sibuk seperti itu. "Ck! Bisa capek juga lu. Gue pikir enggak bisa," celetuk Raffa menanggapi keluhan Vano. Bola mata Vano memutar ke atas. "Ya kali, Raf! Emang gue robot, yang enggak bisa capek. Aneh lu!" sungutnya. "Masa sih?" Raffa melipat bibirnya seraya menahan tawa. "Bikin enak orang juga butuh tenaga kali, Raf! Apalagi kalo tante-tantenya minta lagi." Vano berseloroh seakan dia merasa tidak terima jika Raffa meragukannya. "Tapi 'kan lu dapet bonus." "Bonus apaan! Pelanggan gue pelit-pelit, Raf! Kesel gue! Jadi males kerja begituan lagi." Raffa berdecak seraya menggeleng. "Entar enggak bisa jajanin cewek lu. Kalo lu enggak kerja," ejeknya. "Udah putus gue, sama dia."Menggeser posisi duduknya, Raffa
Satu Minggu kemudian....Hari ini Raffa yang berniat ingin pergi ke pusat perbelanjaan secara tidak sengaja bertemu dengan Tante Rika. Pertemuan itu sungguh di luar dugaan, biar bagaimana pun Raffa sudah tidak ingin berurusan lagi dengan masa lalunya. Namun, demi menjaga perasaan seseorang yang pernah baik kepadanya, Raffa pun memutuskan untuk menerima tawaran Tante Rika.Perempuan itu meminta Raffa menemaninya makan. Hitung-hitung melepas kangen katanya. Dan, di sinilah mereka berada sekarang. Di sebuah foodcurt yang ada di mall."Denger-denger kamu udah enggak lagi kerja di diskotek, ya? Kenapa Raf? Kenapa kamu keluar?" tanya tante Rika yang sangat menyayangkan jika kabar yang dia dengar ternyata benar adanya.Raffa mengangguk cepat lantas menjawab, "Aku cuma mau cari kerjaan yang lain aja, Tan. Enggak mungkin juga 'kan aku selamanya kerja begituan." Jawaban yang cukup membuat perempuan di hadapannya termenung."Iya, tante paham. Tapi 'kan kamu udah banyak pelanggan, Raf? Emang engg
Saat ini Raffa tengah dalam perjalanan menuju rumah lamanya. Rumah orang tuanya yang dia tinggalkan sejak tiga tahun lalu. Berkat dorongan dari tante Dini, pemuda itu pada akhirnya memutuskan untuk pulang dan meminta maaf kepada ayahnya. 'Kamu harus pulang Raffa. Ini semua demi kebaikan kamu dan Belinda. Bukankah kamu mau merebutnya dari Bima? Karena itu kamu harus punya kuasa atas itu. Bima bukan orang sembarangan. Dia punya nama besar. Kalau kamu kekeh mau menghadapinya sendirian itu enggak akan berhasil. Kamu mau jauh dari Belinda selamanya? Enggak 'kan?' Perkataan tante Dini beberapa waktu yang lalu, yang seketika membuat pikiran Raffa jadi terbuka.Ego dalam dirinya, dia buang jauh-jauh. Kini yang ada hanya kemantapan hati dan keinginan untuk segera membawa Belinda pergi dari rumah Bima."Apa pun akan gue lakuin demi Belinda. Sekali pun gue harus berdamai sama Ayah. Yah, demi kamu, Bel," gumam Raffa, lantas melirik hadiah yang dia bawa. "Semoga Ibu suka sama hadiahnya." Dia ter
"Raffa!""I-ibu?" Raffa sempat terpaku sejenak, sebelum dia langsung meletakkan barang bawaannya begitu saja di lantai. "Bu." Dia memeluk erat sang ibu yang berdiri di depan pintu."Kamu pulang, Nak." Bu Farah mulai terisak di dekapan sang putra. "Kamu pulang," lirihnya, mengurai pelukan lantas menatap lekat Raffa. Meski baru satu Minggu yang lalu mereka bertemu dan sempat menghabiskan waktu bersama. Namun, kerinduan ibu yang semula terbayarkan kini hadir kembali.Sang anak yang kala itu menolak untuk diajak pulang kini ada di hadapannya. Bu Farah begitu bahagia, itu tandanya Raffa mulai mau melupakan masa lalu. Masalahnya dengan sang ayah yang bertahun-tahun telah mendarah daging mungkin akan segera selesai. Seperti harapannya sejak dulu. Suami dan putra satu-satunya ini berdamai dan menjadi rukun.Raffa mencium kening ibu, lalu mengusap jejak air mata di wajah perempuan yang telah melahirkannya itu. "Raffa pulang, Bu. Sesuai dengan apa yang Ibu mau. Ibu senang?" ucapnya sambil merai
Bukan tanpa alasan ayah berkata demikian sebab selama ini Raffa tak pernah lepas dari pantauannya. Membayar beberapa orang untuk mengawasi gerak-gerik sang anak selama hampir tiga tahun belakangan ini. Tak ada secuil rahasia pun yang tidak ayah ketahui. Begitu pun soal hubungan Raffa dengan Belinda.Yah, ayah tahu mengenai pekerjaan Raffa yang menjadi lelaki bayaran di sebuah diskotek ternama di ibu kota. Beliau pun tahu jika saat ini putranya itu sudah tak lagi menjalani profesinya. Turut senang lantaran anaknya mulai berpikiran dewasa dan menyadari jika pekerjaannya selama ini bukanlah pekerjaan yang halal.Namun, ayah merasa kecewa ketika tahu Raffa menjalin hubungan dengan pelanggannya bahkan sudah sangat melewati batas. Itu yang membuat ayah lagi-lagi kehilangan rasa percaya terhadap Raffa. Sewaktu beliau sedang berada di Puncak untuk bertemu dengan para kliennya di sebuah Restoran. Ayah secara tidak sengaja melihat Raffa dengan seorang perempuan.Lalu, ayah memerintahkan anak bu
Tubuh Raffa sontak menegang dan membeku, bahkan untuk sekedar menelan ludah saja dia tidak mampu. Sementara ibu dengan cepat langsung menatap Raffa yang nampak memucat. "Raffa? Kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu enggak mengelak ejekan ayahmu?" Tatapan ibu begitu lembut hingga Raffa tak berani menatap bola mata jernih itu. Ayah tersenyum smirks lantas berbalik badan. "Ada apa, Raffa? Kenapa kamu dari tadi cuma diam? Mau kamu yang ngomong atau ayah yang ngasih tahu ibu kamu," tanya ayah yang semakin membuat Raffa takut. Pemuda itu menghela panjang seraya memejamkan mata sejenak. 'Jika Ayah ngomong gitu, berarti selama ini dia tahu pekerjaan aku. Kalo enggak, enggak mungkin dia ngancem aku kayak gini.' Batinnya menduga-duga ancaman ayah barusan. Raffa tersentak kaget kala bahunya dipegang ibu. "Raffa, ibu nungguin kamu ngomong. Ibu juga lagi nunggu kamu buat bela diri kamu. Ngomong sama ibu, bilang kalo ayahmu udah salah menilai kamu. Ayo." Ibu berkata sambil melirik sinis kepada aya
Suasana di ruangan luas itu kian bertambah menegang saat ibu tahu perihal pekerjaan putra semata wayangnya selama ini.Lelaki bayaran? Di diskotek? Suatu hal yang tak pernah beliau bayangkan sebelumnya. Jika sang anak akan terjerumus dalam kelamnya dunia malam yang menyesatkan. Bukan itu saja, Raffa telah menodai kepercayaannya dan keyakinan ibu. Bayangkan, orang tua mana yang tidak akan syok dan merasa sedih ketika mengetahui pekerjaan anaknya. Entah itu anak perempuan atau pun anak laki-laki. Tetap saja, pekerjaan tersebut memiliki imej negatif di mata orang. Wanita penghibur, laki-laki penghibur. Keduanya sama-sama buruk dan tidak akan pernah diterima oleh masyarakat. Bu Farah menatap nanar Raffa yang menundukkan kepala, beliau berusaha untuk menahan emosi dan kemarahannya saat ini. Kendati keinginan untuk menampar, dan memukul Raffa terus mendorongnya. Namun, ibu tetaplah seorang ibu, bagaimana pun kesalahan yang dilakukan oleh sang anak itu semua tak luput dari peran orang tua.