"Istirahat, Bel. Sini duduk. Itu biarin aja. Besok biar dibersihin sama tukang bersih-bersih yang biasa ke sini," ucap Raffa meminta Belinda untuk beristirahat dan membiarkan bekas pesta kecil-kecilan yang baru saja selesai itu.Acara dadakan yang diatur oleh teman-teman kantor Raffa. Merayakan kenaikan jabatan pemuda itu sekaligus ingin mengenal calon istri dari CEO mereka yang baru. Belinda menurut dan mengurungkan niat yang hendak membersihkan meja mini bar. Dia lalu berjalan menuju dapur dan mencuci tangannya yang sedikit lengket di wastafel. Perempuan berperut buncit itu awalnya sempat minder saat tahu jika Raffa ingin memperkenalkannya pada rekan-rekan kerjanya. Merasa tidak percaya diri lantaran kondisinya yang saat ini tengah berbadan dua. Dari segi usia pun Belinda berada di atas mereka-mereka. Ditambah dengan statusnya yang masih belum jelas. Hal tersebut tentu menjadi alasan kuat baginya untuk tidak ikut bergabung. Namun, Raffa telah mematahkan semua pemikiran negatif Bel
Belinda mematut sekali lagi penampilannya di depan cermin rias besar, yang berada di kamar. Dia tersenyum kala melihat pantulan dirinya sendiri di sana. "Ih... gemes!" Perutnya yang kian hari semakin membesar itu menjadi hiburan tersendiri bagi perempuan bermanik biru itu. Dia suka sekali mengajak bicara sang calon buah hati yang kini semakin aktif di dalam sana.Sudah hampir menginjak tujuh bulan kehamilannya. Dan, rencananya akan diadakan syukuran besok hari di rumah orang tua Raffa. Tak terasa, sebentar lagi dia akan benar-benar menjadi ibu yang sesungguhnya. "Semoga kamu lahir dengan selamat dan sehat, ya, Nak...." ucapnya seraya mengelus perut buncit yang terlapisi kain daster pemberian Marina—istri pertama Bima. tok!tok!"Boleh Mbak masuk?" tanya Marina seraya melongokkan kepala di depan pintu kamar Belinda yang kebetulan sedikit terbuka.Pandangan Belinda sontak terangkat menatap sosok yang belakangan ini selalu membantunya. "Masuk aja, Mbak...." serunya dengan seulas senyum
Segala sesuatu yang perlu dibeli untuk acara besok sudah terkumpul di troli belanjaan yang didorong oleh Marina. Sementara Bu Farah tengah sibuk melihat-lihat beberapa perlengkapan bayi yang terlihat lucu-lucu dan menggemaskan. Jiwa keibuannya pun seketika itu juga muncul. Ada keinginan untuk membeli semua barang-barang tersebut. Apabila mengingat jika jenis kelamin calon cucunya adalah perempuan, maka Bu Farah ingin sekali membeli satu set perlengkapan bayi dengan warna merah muda. Dari mulai baju untuk baby born sampai perintilannya. "Lucu." Bu Farah mengambil salah satunya. Manik tua itu berbinar saat membayangkan cucunya memakai baju imut tersebut. "Pasti keliatan cantik." Tanpa berpikir panjang, beliau lantas memasukkan barang pilihannya ke troli yang masih kosong. Sementara dari kejauhan Marina dan Belinda yang melihat itu semua hanya saling melempar pandang. Mereka tidak berani berkomentar apa pun, apalagi mendekat. Sikap Bu Farah yang dingin membuat Belinda merasa segan dan
Dini dan Belinda berjalan bersisian keluar Mall, tepat berada di belakang bu Farah yang berjalan sendiri. Sementara Marina sudah lebih dulu berada di luar, tepatnya di parkiran.Mobil masing-masing sudah menunggu mereka sejak setengah jam yang lalu. Rencananya, habis dari Mall, Belinda dan Marina ingin langsung pulang saja. Lagi pula, mereka juga merasa tidak enak karena bu Farah sama sekali tidak menawari mereka untuk mampir atau sekadar berbasa-basi.Mengajak ngobrol pun tidak. Bu Farah terlihat bersikap dingin dan datar. Benar-benar tidak menganggap keberadaan Belinda yang sudah susah payah menemaninya berbelanja."Itu beneran ibunya Raffa?" Dini belum bosan menanyakan pertanyaan itu. Bahkan hampir sepuluh kali dia bertanya demikian kepada Belinda. Wajar bila Dini tidak percaya jika perempuan yang sedang berjalan di depannya ini adalah ibu dari Raffa Anggara. Pemuda yang pernah menjadi penghangat ranjangnya beberapa tahun yang lalu. Belinda berdecak. "Aduh, Mbak... Mbak udah hamp
Bu Farah bergegas masuk ke mobil dan meminta sang sopir mengikuti ke mana mobil yang membawa Belinda pergi saat ini. Kemudian, beliau teringat akan sesuatu.Lantas, Bu Farah buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas. Berniat menghubungi sang suami secepatnya. Biar bagaimanapun, ayah harus segera mengetahui kabar ini. Lebih baik, beliau tidak menghubungi Raffa, karena putranya itu pasti akan merasa sangat syok, saat mendengar berita ini.Sambil meringis kecil, bu Farah mencari kontak ayah Anggara dengan tangan yang masih tremor. Kejadian beberapa saat yang lalu masih membekas di ingatan dan menyebabkan seluruh tubuhnya terasa sakit. Beruntung luka yang dialami tidak terlalu parah dan tidak separah yang dialami Belinda dan calon cucunya."Halo?" Ayah menyapa di ujung sana."Ha-halo?" Bu Farah tergagap, tenggorokannya tercekat dan sesak. "Yah..." Suara ibu bergetar menahan tangis."Ibu kenapa?" Ayah seakan tahu apa yang tengah dialami sang istri. "Ibu nangis?"Tangisan ibu pun pecah di d
Selama Raffa hidup, baru kali ini dia dihadapkan oleh situasi dan pilihan yang benar-benar rumit dan sulit. Bagaimana mungkin, dia memilih antara Belinda dan calon anaknya dalam keadaan yang mendesak seperti sekarang. Ibarat kata, nyawa kedua orang itu kini tengah berada di tangannya.Andai pun bisa, Raffa pasti akan memilih keduanya agar diselamatkan. Namun, kondisi kandungan Belinda yang masih berusia tujuh bulan, sangat tidak memungkinkan untuk bayinya lahir dengan selamat. Benturan keras yang dialami Belinda waktu kecelakaan, berakibat sangat fatal, dan mengakibatkan ketuban pecah."Kemungkinannya cuma tiga puluh persen. Dan, itu pun tidak bisa dipastikan," ucap sang dokter memecah lamunan Raffa yang detik ini tengah dilanda rasa cemas sekaligus takut.Marina pun sama, hanya diam sambil menahan tumpukan sesak yang menyelimuti dada. Dia sama sekali tidak dapat memberikan solusi untuk masalah ini. Inginnya pun pasti berharap Belinda dan bayinya bisa selamat. Akan tetapi, penjelasan
Sudah hampir tiga jam lebih, namun operasi yang dijalani Belinda belum juga selesai. Kecemasan dan kekhawatiran amat kentara sekali di wajah semua orang yang menunggu di sana. Apalagi Raffa yang sama sekali belum bisa merasa tenang bila dokter yang menangani belum keluar dari ruang operasi.Pemuda itu terlihat gusar, kuyu dan berantakan. Satu sisi pikirannya di isi oleh kondisi Belinda, di sisi lain dia memikirkan keselamatan bayinya. Seorang putri yang sudah lama dinantikan kehadirannya. Semoga, kedua orang yang paling dicintainya itu bisa keluar dari ruangan tersebut dengan kondisi yang sama. Yakni, sehat dan tanpa kekurangan suatu apa pun."Raf...." Dini menghampiri Raffa, dia sama sekali belum sempat bertegur sapa dengan mantan penghangat ranjangnya itu. Dini sempat pangling, dengan perubahan yang cukup siginifikan dalam diri Raffa.Penampilan pemuda yang dia ambil keperjakaannya, sungguh sangat berbeda. Semakin terlihat dewasa dan berwibawa. Ternyata, peran Belinda dalam kehidupa
Lelehan air mata berkali-kali luruh tanpa permisi di wajah yang tertutup oleh masker itu. Seandainya, tidak ada dokter dan perawat di ruangan tersebut, mungkin Raffa sudah menangis sejadi-jadinya sejak tadi. Meluapkan segala perasaan yang detik ini tengah menyelimuti. Haru, sedih, senang, gembira sekaligus masih tidak percaya, bila apa yang dilihatnya kini adalah nyata.Perwujudan antara dirinya dan wanita yang paling dicintainya benar-benar ada di depan matanya. Seorang bayi perempuan mungil, kecil dan sangat cantik itu kini sudah bisa dia lihat, kendati masih terhalang kaca inkubator.Ya, bayi yang diperkirakan oleh dokter tidak selamat, pada akhirnya lahir dengan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun. Hanya saja, usia kandungan yang masih terlalu dini untuk melahirkan, menyebabkan berat badan bayi Belinda masih di bawah syarat yang seharusnya.Bayi perempuan dengan bobot hanya 1,8 ons tersebut, harus mendapatkan penanganan ekstra dari medis. Dan, terpaksa harus di tempatkan di ruang