Share

Bab 9

[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.

Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.

[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.

Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda F*-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.

[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]

Sengaja ku-tag, karena tadi pun dia menandai akunku cuma tidak aku tambahkan ke linimasa. Memenuhi berandaku dengan perhiasan yang sudah seperti hendak di jual kembali. Gelang emas yang terlihat bertumpuk dipamerkan. 

[Sepertinya tidak dalam waktu dekat Bu @R. Serena Hartawan , saya masih sibuk mengurus bisnis juga di rumah. Maklum biar suami kerja, istri juga tetap ingin punya penghasilan.] Balasnya. 

Aku mengerutkan dahi, sejak kapan dia memiliki bisnis. Setiap hari kerjanya hanya belanja online barang-barang unfaedah. Mungkin mencari alasan yang bisa menarik simpatiku. Dia tidak tahu saja dengan siapa dia berbalas pesan. Aku tersenyum geli membayangkan wajahnya jika mengetahui siapa yang berbalas chat dengannya suatu hari nanti. 

[Oh, gitu ... memang sih level kita jauh beda, kalau saya sih, punya waktu kapan saja, uang sudah datang dengan sendirinya tidak perlu kerja keras, hanya tinggal ongkang-ongkang kaki, transferan masuk tanpa henti.] Ah, rupanya aku sudah pandai menyombongkan diri, maafkan aku Ya Allah. Semua hanya untuk menyadarkannya kalau kekayaan yang dimilikinya belum seberapa. 

Tring 

Aku kembali melihat W* group ibu-ibu kece cluster A. Rupanya dia masih memiliki celah ketika orang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia mengcapture chatku.

[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] R. Serena Hartawan. 

@Haminah 

[Begini nih, kalau jadi ibu-ibu sosialita level akut, langsung di chat pemilik perusahaan, diajakin hunting berlian bareng ... diamond ring ... wow ....] Sial, dia malah mengambil caputure berlian milikku untuk pamer di W* grup dan beserta capture status chat denganku.

Benar-benar manusia tidak punya malu. Padahal dia sudah mencari seribu alasan untuk menolak ajakanku hunting berlian. Tetapi permainan belum berakhir, akan ada masanya nanti kuajak dia besitatap jika memang dia tidak mau berubah meski sudah sadar hanya berada di mana levelnya.

*** 

Sudah beberapa minggu berlalu dari chat terakhirku dengannya. Sengaja aku memberi jarak agar wanita itu tidak merasa besar kepala. Kemarin terakhir dia memberitahu jika akan diadakan santunan anak yatim di komplek kami. Dia memberitahuku jika akan mengikutsertakan ratusan anak yatim yang ada di panti asuhan yang kudirikan. 

Aku sengaja tidak membalas chatnya karena khawatir hanya akan disebar luaskan. Aku sudah menghubungi ayah secara personal untuk meminta alokasi dana CSR untuk pembiayaan acara ini sepenuhnya. 

Panitia dari tim ibu-ibu komplek sendiri, sementara pemegang dana yaitu Bu RT yang kami anggap sebagai sesepuh di komplek ini. Seperti biasa berita jika Bu Minah menyumbang sudah sampai ke seantero komplek dan terpampang di beranda sosial medianya. Aku pun melihat berapa jumlah uang yang dia upload sebelum dia serahkan kepada panita. 

Uang satu juta rupiah memang paling besar di antara para tetangga lainnya yang mampu menyumbang hanya beberapa ratus ribu saja. Tetapi sedekah yang tersembunyi itu akan jauh lebih baik daripada sedekah yang di umbar dan terkesan riya. 

Tibalah waktu yang ditunggu. Kulihat semua anak yatim sudah dibimbing memasuki aula masjid dan duduk pada hamparan karpet yang sudah disediakan. Pak Dermawan terlihat begitu sibuk dan telaten mengayomi anak-anak yang sebagian masih berusia lima tahun. Terkadang takdir punya caranya sendiri ketika memasangkan dua orang dengan sifat yang sangat berlawanan. 

Kulihat Bu Hanimah dengan pakaian gamis terbarunya dan perhiasan gelang yang hampir sampai ke siku. Berdiri wara-wiri tanpa mengerjakan apapun. Sesekali terdengar tawa kerasnya hingga ke sini. Hana menyenggol lenganku. Aku tahu dia akan mulai lagi membicarakannya.

“Ssst ....” Aku menempelkan telunjuk pada mulutku agar Hana berhenti mengumpat. 

“Kenapa?” tanyanya.

Aku melirik ke arah Mas Indra yang sejak tadi memperhatikan kami. Hana mengangguk sambil tersenyum. Dia sudah paham jika suamiku tipe orang seperti apa. 

“Katanya pendiri panti akan ke sini juga ya, Bu?” Kudengar suara Bu Mirna bertanya pada Bu Minah.

“Iya, kemarin saya biasa chat langsung sama Bu Serena, putrinya ... katanya sih, diusahakan akan datang, mungkin sebentar lagi.” Sebuah kebohongan Bu Hanimah yang kudengar hari ini membuat mataku membulat. 

“Oh, enak ya, kalau punya suami kepercayaan Bos, bisa komunikasi langsung sama keluarganya, wah aku iri sama Bu Minah, deh.” Bu Mirna ini salah satu jenis dari sekian banyak ibu-ibu bermuka dua yang senang mengambil hati Bu Minah untuk keuntungan pribadinya. 

“Iyalah nggak semua orang seberuntung saya, Bu Mirna datang sama siapa saja, sebentar ya, saya minta bungkusin juga untuk keluarga di rumah.” Akhirnya sang Nyonya Manager yang sudah luluh mulai beraksi. Dia membungkus beberapa nasi kotak dan diberikan pada Bu Mirna yang telah menyanjungnya. 

“Bu Min, nanti kalau pendiri panti datang, W* saya ya, nanti saya ke sini lagi.” Kulihat Bu Mirna pulang setelah misinya berhasil. Lima nasi kotak sudah dia tenteng. Bu Minah tersenyum-senyum sendiri menikmati perannya.

“Eh, Bu Min ... ini perhiasan terbaru, ya?” Seperti sengaja direncanakan, kali ini Bu Wati datang dan langsung memuji gelang yang dipakai sang Nyonya Manager. 

Kulihat senyuman dia semakin lebar. 

“Ah, Bu Wati bisa aja, iya, nih, hasil hunting kemarin ... bagus, ya?” senyuman itu benar-benar terlihat bahagia. 

“Eh, Bu Wati nggak ada dalam grup W* ya? Malah lho, saya itu diajak sama pemilik perusahaan tempat suami saya bekerja untuk nyari berlian bareng-bareng, cuma katanya dia masih sibuk belum ada waktu ... saya sih, siap kapan aja, biar koleksi perhiasan saya nambah,” ucapnya diakhiri tawa yang terlihat bangga sekali.

Kembali dia memberikan lima nasi kotak pada Bu Wati. Wanita itu kulihat segera meninggalkan tempat acara setelah menenteng lima kotak nasi cateringan. 

“Wah, Bu Min ini udah baik, cantik, kaya, dermawan lagi,” puji Bu Wati sebelum meninggalkan tempat. Aku hanya menggeleng kepala menyaksikan aksi sang Nyonya Manager yang luar biasa. 

“Perhatian-perhatian ... acara akan segera dimulai ... sebagai ucapan terima kasih pada para donatur kami mempersilakan untuk mengisi kursi yang telah di sediakan!” Terdengar pengumuman dari pembawa acara. 

“Adapun perlu Bapak dan Ibu ketahui, penyumbang dana terbesar untuk acara ini yaitu seorang ibu muda, cantik dan baik. Ibu Restika ....” 

Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk diumumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang disebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status