Refleks aku melepaskan nampan yang sedari tadi aku genggam. Alhasil, gelas yang berisikan air, jatuh dan pecah berantakan di lantai.
Buru-buru aku berjongkok, lalu memungut pecahan gelas yang berserakan.
"Kenapa Tari? Kamu kaget, karena aku tahu rencanamu?" ujar Alvin lagi terus memojokkanku.
Aku berdiri. Melihat tajam kepada adik ipar yang selalu berpikiran buruk padaku.
"Aku kaget, karena tidak percaya jika kamu akan menuduhku seperti itu, Al. Apa kamu punya bukti, atas ucapan kamu barusan?" ujarku menantangnya.
Alvin tersenyum mengejek. Ia melipat kedua tangannya di perut, menatapku dengan tajam.
"Haruskah aku membuka semuanya agar kamu mengakuinya, Tari? Kamu ingin aku memperlakukanmu, begitu?"
"Silahkan! Silahkan lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan padaku, Al. Buktikan jika apa yang tadi kamu katakan benar adanya. Tapi, jangan salahkan aku jika Arfan akan membencimu karena tuduhanmu itu. Jangan salahkan aku, jika hubungan persaudaraan kalian berantakan karena kecurigaannmu!" ujarku panjang lebar.
Dadaku naik turun, napasku terengah menahan emosi yang sudah di ubun-ubun. Begitu pun dengan Alvin. Kilatan amarah sangat jelas terlihat dari matanya. Ia mengepalkan tangan dengan kuat, hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.
"Ya Allah, Mbak. Ini kenapa bisa pecah?" Bi Siti datang dan langsung menghentikan Alvin yang sudah membuka mulut untuk berucap.
Bi Siti mengambil sapu serta plastik. Ia memungut pecahan beling di bawah kakiku, lalu memasukkannya ke dalam plastik.
Aku pun ikut berjongkok, membantu Bi Siti, setelah Alvin pergi dengan membawa amarahnya.
Sebelumnya, aku tidak pernah meninggikan suara di rumah ini. Namun, kata-kata Alvin mampu menyalakan amarah dalam diriku.
"Kenapa, Tar?" Mama datang dan langsung bertanya.
"Tidak apa-apa, Mah. Tadi, Tari sedikit kaget, jadinya nampan ini lepas dari tangan Tari. Maaf, ya Ma, gelasnya pecah," ucapku dengan wajah yang ditekuk.
"Hey, ini bukan tentang gelas, tapi kamu, Tar. Kakimu tidak apa-apa 'kan? Atau tangan Tari, ada yang luka?" tanya ibu mertuaku itu.
Mama mengambil kedua tanganku dan melihatnya dengan seksama. Ia pun melihat kedua kakiku bergantian.
Setelah memastikan aku baik-baik saja, Mama menuntunku untuk duduk. Diberikannya aku segelas air putih, agar aku kembali tenang.
Lihatlah, ibu mertuaku teramat baik. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika dia melihat putranya hancur akibat kebohonganku.
Mama dan Papa, pasti akan membenciku.
"Tari! Bi Siti, apa di sini ada Tari?" Mas Arfan, ia memanggil namaku dan mempertanyakan keberadaanku.
"Iya, Mas. Aku di sini," ucapku.
Dengan langkah kecil, ia menghampiriku setelah meraba kursi meja makan. Kemudian menyentuh pundakku, meraba kepalaku dan menciumnya sekilas.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya memegang kedua pipiku.
Aku melirik Mama yang tersenyum melihat putranya itu. Mama sangat bahagia saat mendengar Mas Arfan akan menikahiku. Hal yang ia tunggu setelah empat tahun lamanya.
Setelah kepergian istri pertamanya, Mas Arfan menjadi pria yang tertutup. Jangankan membicarakan tentang menikah lagi, bertemu dengan banyak orang pun dia tidak mau.
"Tidak akan ada wanita yang mau bersuamikan pria buta," tutur Mas sewaktu dulu.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aku terus meyakinkan dia bahwa kebutaan bukanlah sesuatu yang memalukan. Perlahan, kebekuan Mas Arfan mulai mencair dan akhirnya mau kembali berinteraksi dengan orang lain.
Tentu saja, itu adalah hal yang menggembirakan bagi semua keluarga suamiku. Arfan, putra pertama di rumah ini sudah kembali. Dia sudah bangkit dari keterpurukan. Dan kata Mama, itu semua berkat diriku. Campur tanganku yang terus memberikan semangat kepada Mas Arfan.
"Terima kasih, sudah mengembalikan putra Mama, Tari. Kamu, seperti sinar mentari dalam kedinginan Arfan," ujar Mama kala untuk pertama kali ia melihat putranya mau keluar dari kamar.
Aku hanya tersenyum lebar mendapatkan pujian itu. Karena sesungguhnya, rasa ibaku sudah mulai tumbuh jadi cinta pada saat itu.
"Aku baik-baik saja, Mas," ucapku membalas pegangan tangannya.
"Tadi aku mendengar ada ribut-ribut dan seperti ada barang yang jatuh. Makanya aku segera ke sini untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja," tuturnya lagi membuatku tersenyum.
Mas Arfan begitu sangat mengkhawatirkanku. Wajahnya terlihat sendu saat Mama menjelaskan jika aku yang menjatuhkan gelas hingga pecah berantakan.
Melihat Mas Arfan yang begitu menyayangiku, rasa sesal tiba-tiba datang dalam hati terdalamku. Betapa jahatnya aku telah membohongi pria sebaik Mas Arfan. Betapa teganya aku, telah membuat harapan tinggi, yang nantinya akan aku patahkan kembali.
"Ah, dasar pembohong."
Aku terkesiap saat Mas Arfan berkata seraya menarik tanganku.
Entahlah, aku tidak terlalu memperhatikan apa yang baru saja Mama dan Mas Arfan bicarakan. Hingga membuat pria itu berucap demikian.
"Siapa yang bohong?" tanyaku dengan melihat Mama dan Mas Arfan bergantian.
Gara-gara melamun dan menyesali kebodohanku, aku jadi tidak fokus pada percakapan mereka.
"Tadi, Arfan nanyain wajah kamu, Tar. Katanya, kamu selalu bilang kalau dirimu itu jelek. Makanya dia langsung nanya ke Mama. Ya, Mama jawab saja, kalau kamu itu cantik. Sangat cantik, malah," ujar Mama menjelaskan.
Aku mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Tiba-tiba tanganku terasa dingin membahas wajah ini.
"Mama terlalu memuji. Kenyataannya, aku tidak secantik yang Mama katakan, Mas." Aku menyanggah pujian dari ibu mertuaku.
"Dan aku tidak peduli lagi tentang rupamu, Tar. Jika wajahmu akan membuat aku tidak suka, aku harap aku tidak bisa melihat untuk selamanya. Karena aku, ingin selalu seperti ini. Bersamamu, menggenggam tanganmu," ucap Mas Arfan.
Hatiku berdenyut kembali. Itu adalah keinginanku, cita-citaku.
Biarkan kebutaan terus bersama suamiku, agar aku tetap bisa bersamanya. Di sampingnya, menjadi pendamping hidupnya.
Ketakutanku akan kehilangan Mas Arfan sedikit berkurang setelah mendapatkan kabar jika ia gagal operasi. Meskipun tidak tega melihat Mas Arfan bersedih, tapi aku yakin jika kami akan lebih bahagia seperti ini.
"Tapi, kamu harus tahu jika istrimu itu tidak sejelek yang dia katakan, Mas. Di cantik, dan dia mirip dengan aktris sinetron," celetuk Alvin yang tiba-tiba datang ikut nimbrung.
Lagi dan lagi dia selalu membuat detak jantungku tidak normal. Sepertinya, dia masih menyimpan amarah padaku.
"Aktris sinetron? Siapa? Coba kamu sebutkan ciri-cirinya agar aku bisa membayangkan wajah istriku," ujar Mas Arfan bersemangat.
Alvin memilih duduk di samping wanita yang saat ini tengah menikmati puding cokelat. Ia menarik napas, sebelum mengatakan hal yang tidak ingin aku dengarkan.
"Apaan, sih Al. Kamu suka berlebihan. Mana ada aku kayak artis. Ngeledek, kamu." Aku mencoba bernegosiasi dengan adik iparku itu lewat sebuah kata.
Aku harap, dia mengerti kalau aku keberatan jika dia mengatakan ciri-ciri wajah ini.
Namun, sepertinya Alvin sudah tidak peduli lagi. Dia kekeh dan tidak sama sekali melihat ke arahku. Pandangannya hanya fokus pada Mas Arfan.
"Istrimu, memiliki ...."
Bersambung
"Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung.Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku.Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang."Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku.Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi."Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya."Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?""Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, d
"Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam.Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi."Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?"Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya."Kamu membohongiku?" tanyanya."Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu.""Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi."Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini
"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku."Alhamdulillah baik, Bu.""Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil."Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini."Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan m
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku."Ah, biasa saja, Mas.""Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku."Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa."Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku."Sukalah,
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya."Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah."Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya."Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku."Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!""Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?""Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan."Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.
Senja mulai datang, langit mulai menggelap. Hariku sebentar lagi akan berakhir, berganti dengan malam di mana waktunya untuk menanamkan mimpi.Kuangkat kepala menghirup udara sebanyak mungkin, untuk menetralkan perasaan yang tidak menentu. Dua tangan menyusup memeluk pinggangku, setelah tadi kudengar hentakkan tongkat yang beradu dengan lantai."Kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau menutup jendela, tapi malah diam," bisik seorang pria yang membuatku selalu merasa takut.Takut kehilangannya."Aku sedang menikmati angin sore di sini. Rasanya ... sangat segar," ucapku seraya mengusap dan menggenggam tangannya yang melingkar indah di perutku."Sudah mau maghrib, tidak baik masih membuka pintu. Tutup, Sayang."Aku tidak lagi berucap. Kututup jendela dan gorden berwarna hitam itu. Warna kesukaan suamiku, setelah dia kehilangan penglihatannya.
"Berkhianat. Aku tidak akan memaafkan pengkhianatan apa pun alasannya."Ada sedikit rasa lega saat Mas Arfan mengucapkan kata khianat. Aku tidak melakukan itu, dan itu artinya Mas Arfan akan memaafkanku atas kebohongan ini.Aku punya kesempatan untuk tetap bersama dia, jika nantinya dia tahu tentangku yang sebenarnya.Ya, aku masih punya peluang untuk menerima maaf darinya."Kenapa, sih kamu bertanya hal itu? Apa kamu melakukan suatu kesalahan, Mentari?""A ... em, enggak, Mas. Aku hanya berpikir jika caraku melayani suami, menyiapkan keperluanmu, selalu merasa kurang. Jadi ... aku ingin meminta maaf soal itu," ucapku seraya menahan napas.Dadaku kembang kempis khawatir jika Mas Arfan akan mencurigaiku. Rasanya hidupku tidak tenang jika terus berdusta."Kamu selalu saja berkata seperti itu. Kamu harus t