Hari ini menjadi hari terindah bagiku. Entahlah, meski aku dan dia sudah bukan suami istri, tapi semua tentang dia membuatku bahagia.“Ah ....” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang. Kupandangi langit-langit kamar seraya terus tersenyum kegirangan.Namun, kembali aku menekuk wajah saat mengingat percakapan kami di mobil tadi. Aku meminta dia untuk merujukku, tapi entah akan dia turuti atau tidak.Harapanku memang kita bersama, tapi jika dia tidak mau, aku bisa apa.Beberapa saat diam di dalam kamar, aku turun ke bawah saat mendengar suara Mama dan Papa tengah berbincang.“Mama dan Papa dari mana?” tanyaku.Aku duduk di sofa yang berada dengan kedua orang tuaku yang duduk bersisian.“Dari acara teman Papa. Kata Bibi, tadi kamu dari rumah sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?” Papa balik bertanya.“Baik,” jawabku singkat.Mama dan Papa menelisik memindai wajahku dengan lekat.“Kandunganmu?” Kini Mama yang bertanya.“Baik, Mah. Semuanya sehat. Aku dan anakku.” Aku menjawab dengan pas
“Tar, nanti kita akan tinggal dengan mama dan papa lagi, ya? Kamu tidak keberatan, “kan?“Memangnya, kenapa jika kita tinggal di rumah kamu, Mas?” tanyaku.Pria yang memakai kemeja warna putih itu mengalihkan pandangan pada bunga anggrek yang tumbuh subur di halaman rumah. Saat ini, aku dan Mas Arfan tengah menikmati udara segar di teras rumah.“Sebenarnya tidak apa-apa, jika aku sudah benar-benar sembuh dari trauma itu. Untuk saat ini, aku masih sering ... berubah-ubah. Mood-ku kadang baik, kadang buruk. Emosiku juga sering meledak dan ... aku tidak mau nantinya akan menyakiti kamu. Apalagi di rumah itu banyak sekali kenangan dia.”“Maaf,” ucapku setelah Mas Arfan menjelaskan.Mas Arfan hanya diam tidak merespon kata maafku. Mungkinkah sebenarnya dia memang belum bisa memaafkanku. Dan dia melakukan semua ini hanya untuk anak dalam kandunganku?Bisa saja.“Mas—“Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat Mas Arfan menyuruhku diam dengan memberikan isyarat lewat tangannya. Sedangkan tatapa
Dua gelas minuman serta satu piring red velvet terhidang di depan kami. Sesekali, tangan suamiku memberikan suapan ke dalam mulut ini. Tidak kuasa untuk menolak, aku menikmati setiap suapan yang dia berikan.“Manis?” tanyanya dengan senyum terindah.“Enggak,” jawabku.“Dasar pembohong. Kalau tidak manis, tidak mungkin kamu makan.”“Aku mau makan, bukan karena rasanya yang enak, tapi yang nyuapinnya teramat sangat manis. Hingga sampai ke sini,” ujarku seraya meraba dada.Tentu saja hal itu membuat Mas Arfan terkekeh seraya mengacak rambutku. Aku merengut karena rambut yang berantakan. Tapi, tidak marah karena aku memang sulit untuk marah padanya.Saat ini, akulah wanita paling bahagia. Bisa kembali kepada orang yang aku cinta, dan menghabisi waktu berdua.“Malam ini, kita nginap di sini. Besok pagi baru kita pulang,” ujarnya seraya kembali memberikan suapan untukku.“Tidak pulang juga tidak apa-apa. Aku lebih senang kita tinggal berdua.”“Tunggulah sebentar lagi, sampai aku benar-benar
"Sayang, seandainya aku bisa melihat, kamulah orang pertama yang ingin aku lihat."Aku tertegun. Lidahku kelu dengan tenggorokan yang tercekat. Perlahan, kusimpan sendok yang tadi sudah mengudara hampir menyentuh bibir. Tanganku beralih mengambil gelas dan meneguk airnya hingga habis.Sementara Mas Arfan, wajahnya terlihat semringah dengan kedua sudut bibir yang terangkat. Tatapan kosongnya terlihat berbinar.Bagaimana tidak bahagia, kemarin dokter mata yang selama ini menjadi dokter pribadi Mas Arfan, mengabarkan bahwa suamiku itu sudah mendapatkan donor mata. Dia ia akan segera melakukan operasi."Ah, aku jadi tidak sabar ingin segera melihat rupamu, Tari. Kamu ... pasti sangat cantik," ujarnya lagi membuat detak jantungku semakin berbisik. Menolak apa yang dikatakan suamiku i
"Ternyata apa?"Aku terperanjat saat mendengar suara Mas Arfan dari belakang. Ia berjalan mendekat dengan tongkat sebagai pemandu langkahnya."Kenapa diam, Alvin. Ada apa dengan istriku?" tanya Mas Arfan lagi kepada adiknya.Kulihat Alvin mengusap wajah dengan kasar. Matanya sedikit memerah dengan keringat yang mulai hadir menghiasi wajahnya.Setali tiga uang dengan Alvin. Aku pun merasakan suhu tubuhku sedikit panas. Hatiku tiba-tiba tidak tenang karena kedatangan Mas Arfan yang tiba-tiba.'Mungkinkah, dia mendengarkan semua pembicaraan Alvin?'"Hem ... selain cantik, istrimu juga ... manis, Mas," ujar Alvin seraya melirikku dengan tajam.Kata yang keluar dari bibirnya, tidak sama dengan isi hatinya. Aku bisa melihat dari mimik wajah Alvin.Mas Arfan mengangkat tongkat di
"Apa yang batal, Pah?" tanya Mama memandang wajah Papa dengan serius.Orang yang ditanya tidak menjawab. Papa mengusap wajahnya dengan kasar seraya mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia melihat ke arah Mas Arfan yang masih mendengarkan percakapan kami."Ali, dia ... membatalkan niat untuk mendonorkan kornea untuk Arfan."Kulirik wajah Mas Arfan yang langsung meredup. Pundaknya merosot dengan punggung yang disandarkan pada sofa.Aku mengambil tangan suamiku, menggenggam dan meletakkannya di pangkuan. Memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana yang mungkin tidak berarti apa-apa untuknya."Kok, bisa? Bukannya waktu kita jenguk dia, dia sudah yakin dengan keputusannya, Pah?" ujar Mama dengan suara yang meninggi.Aku tahu, ibu mertuaku itu tengah kecewa dan marah. Harapannya diputuskan tanpa alasan.
Refleks aku melepaskan nampan yang sedari tadi aku genggam. Alhasil, gelas yang berisikan air, jatuh dan pecah berantakan di lantai.Buru-buru aku berjongkok, lalu memungut pecahan gelas yang berserakan."Kenapa Tari? Kamu kaget, karena aku tahu rencanamu?" ujar Alvin lagi terus memojokkanku.Aku berdiri. Melihat tajam kepada adik ipar yang selalu berpikiran buruk padaku."Aku kaget, karena tidak percaya jika kamu akan menuduhku seperti itu, Al. Apa kamu punya bukti, atas ucapan kamu barusan?" ujarku menantangnya.Alvin tersenyum mengejek. Ia melipat kedua tangannya di perut, menatapku dengan tajam."Haruskah aku membuka semuanya agar kamu mengakuinya, Tari? Kamu ingin aku memperlakukanmu, begitu?""Silahkan! Silahkan lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan padaku, Al. Buktikan jika apa yang tad
"Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung.Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku.Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang."Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku.Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi."Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya."Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?""Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, d