Share

MERADANG

Lelaki muda itu, menyambut uluran tangan Beatrix dengan sedikit membungkuk.

"Dokter Aston Dariel."

"Seorang Dokter?" ulang Beatrix menggoda.

Dengan pandangan tertunduk, lelaki itu mengangguk. Sesekali Aston Dariel mencuri pandang ke arah Beatrix. Dia pun tahu jika Beatrix terus mengamati dirinya. Sampai pandangan mata  mereka saling berserobok. Saling beradu antara iris mata yang liar. Lalu keduanya saling melempar senyum. Sangat terlihat jelas, sang dokter terpikat oleh Beatrix yang menawan dan sangat menggairahkan.

"Silakan kalau mau ke atas, Dok!" Suara Beatrix cukup mengejutkan dokter muda itu.

"Tapi, anda tak ada yang terluka Nona?"

"Tak ada sama sekali," jawab Beatrix dengan wajah yang ramah.

Robert langsung mengajak dokter muda itu mengikutinya naik ke lantai dua. Menuju kamar Jill Anne.

"Hemmmm, sosok yang penuh kharisma. Apalagi dokter muda. Sayang, pesonamu masih kalah jauh dari William. William memang benar-benar penggoda wanita," ujar Beatrix berbisik.

Beatrix melanjutkan kembali langkahnya menuju taman samping. Yang penuh dengan bunga lily, berwarna warni. Membuat Beatrix memejamkan matanya sesaat. Lalu, menghirup udara segar yang berhembus. Seolah sedang menyambut dirinya.

"Kenapa Nyonya ada di sini?" tegur Ester.

Teguran Ester membuat Beatrix terkejut. Seketika dia menoleh. Ester sudah berdiri di sebelahnya.

"Apa aku tak boleh ke sini? Aku hanya ingin melihat bunga- bunga lily yang indah bermekaran, Ester."

"Sebaiknya Nyonya kembali ke atas. Di lantai dua, Nyonya bisa menemani Tuan di sana. Kalau Nyonya berada di sini, menunjukkan tak ada rasa empati Nyonya Floy pada Nyonya Jill!" tegas Ester.

"Harus seperti itu?"

"Begitulah etika yang harus dilakukan, Nyonya Floy," ucap Ester sedikit membungkuk.

"Baiklah, aku akan kembali ke atas. Hanya saja Ester, aku tak tahan melihat kemesraan mereka. Dada aku ini sakit rasanya. Kamu tahu kan, yang aku maksud Ester?"

"Nyonya cemburu?"

Beatrix mendekap tubuhnya sendiri. Mengusap kedua lengannya. Sampai terasa hangat. 

"Aku tak ingin menjawabnya Ester!"

"Itu masih belum seberapa, Nyonya. Bagaimana dengan perasaan Nyonya Jill Anne? Pernahkah Nyonya Floy, ikut merasakannya?"

Seketika tubuhnya bergetar. Seakan apa yang diucap Ester, sangat menyakitkan. Terlebih kemarahan dalam lubuk hatinya saat ini.

'William tak pernah bisa merasakan sakitnya hati ini. Andai aku bisa membuat kau cemburu?' 

"Naiklah ke atas Nyonya!"

"Oke, Ester. Aku akan naik ke atas."

Dengan perasaan dongkol. Beatrix kembali naik ke lantai dua. Dia hanya berdiri di ambang pintu. Sekilas Dokter muda itu melirik padanya.

"Bagaimana Dokter Aston?" William berdiri berhadapan dengan Aston Dariel.

"Kondisi Nyonya Jill, sudah membaik. Sangat benar sekali tadi langsung diberikan penghangat. Entah minuman atau sup hangat. Pasti sebentar lagi Nyonya akan siuman. Detak jantung dan nadinya semua normal. Kita tinggal menunggu dia sadar kembali."

"Terima kasih, Dok!" tegas William.

Dia ikut mengantar keluar kamar kepergian dokter muda itu.

"Floy, tolong kau jaga dia. Setelah ini aku akan kembali."

"A-aku menjaga dia, William?"

"Apa aku ada salah bicara?"

"Ta-tapi, William? Dia pergi karena marah sama aku. Bagaimana nanti kalau dia terbangun, terus melihat aku William?"

Lelaki tampan itu hanya mengibaskan tangan. Yang memberi artian, agar Beatrix tak banyak bicara.

"Uhhh, kesal kalau dia seperti ini. Sudah sok kuasa saja dia. Lama-lama menyebalkan, tapi aku terlanjur cinta," gerutu Beatrix.

Esmo yang mendengar. Hanya tersenyum masam.

"Biar saya saja yang menjaga Nyonya Jill," ucap Esmo.

Membuat Beatrix tersenyum lebar.

"Ta-tapi, nanti William akan marah sama aku. Haaahhhh ...!"

Akhirnya wanita cantik itu, duduk di pinggiran ranjang. Pandangan terus mengarah pada madunya yang masih saja pingsan.

Tak lama berselang. Tubuh Jill mulai menggeliat lemah. Buru-buru Esmo menghampiri. Lalu Jill mengerjap matanya hingga berkali-kali.

"A-aku di mana?" Suara Jill masih terdengar lemah.

"Nyonya sudah berada di rumah," sahut Esmo. Yang membuat Jill mengalihkan pandangannya. Namun kedua matanya,  seakan melotot lebar. Saat melihat Beatrix sudah berada di sampingnya.

"K-kau ...? Buat apa kau ke sini."

"A-aku di suruh sama 'suami' kita untuk menemani-mu."

Jill Anne terus menggeleng.

"Pergi ... pergi!" teriak Jill berusaha mengusir keberadaan Beatrix di dalam kamarnya.

"A-aku hanya mengikuti apa yang disuruh 'suami' kita," tukas Beatrix membela diri.

Mendengar kalimat wanita yang ada di hadapannya. Semakin membuat Jill meradang. Hatinya bagai terbakar api yang panas membara.

"Suami kau bilang?" Tatap matanya lekat mengarah pada Beatrix yang menahan kekesalan pada Jill Anne.

"Memang 'suami' aku. Apa salah aku menyebutnya begitu?"

"Yang benar kau ini hanya gundik!"

Beatrix tersentak dengan kalimat tajam Jill Anne yang kasar.

"Aku tak menyangka, perempuan berkelas sepertimu bermulut kasar dan jahat."

Bergegas Beatrix pergi meninggalkan kamar. Dia berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya sendiri.

"Akan ada saatnya, kau merasakan sakit ini! Lihat saja kau wanita sialan!" gerutu Jill Anne.

***

Follow Ig Raifiza_lina, F* Raifiza Lina

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status