Meskipun bukan pertama kalinya bagi Lady Viscaria untuk mempertaruhkan keselamatan nyawanya, penyerangan yang diterimanya kali ini cukup mengguncang emosinya—tapi kenapa? Apa yang menyebabkan pelindung Brightcrown City, yang selalu bersikap tegas dan angkuh, itu merasa sentimental? Apakah ini ada hubungannya dengan sosok pemuda dalam lukisan itu? Siapa sebenarnya Zaylie dan masa lalu seperti apa yang disembunyikan oleh Lady Viscaria? NEXT CHAPTER: DESTINY ARC DIMULAI!!!
NARASI ZAYLIE Kamis, 18 Desember 1986/10:44 Malam Sembilan tahun yang lalu aku akan sedang berbaring di bawah jembatan lengkung tua yang tidak jauh dari rel kereta karatan tempat berakhirnya orang-orang yang hobi bunuh diri. Entah apa yang mereka rasakan ketika mengetahui kereta yang melalui rel karatan itu sudah tidak dioperasikan lagi. Biasanya, akan membutuhkan tiga hingga empat hari sampai ada petugas kebersihan dengan anjing yang terus menyalak untuk datang dan memungut seonggok daging busuk dari rel karatan itu. Saat berjalan pulang, sesekali petugas kebersihan itu akan melirikku untuk memastikan apakah aku masih hidup. Aku akan melambaikan tangan dan tertawa riang untuk memberikan jawaban dari pertanyaannya. Kemudian, si pemilik wajah yang sama dengan orang-orang dengan hobi aneh itu akan menunjukkan rasa tidak puas karena melihatku masih bernyawa. Sekarang, di sinilah aku berada. Tempat ini berbentuk persegi panjang dengan satu pintu di bagian selatan yang diapit dua jendel
NARASI ZAYLIE I Jumat, 19 Desember 1986/00:22 Rasanya sulit menjelaskan apa yang sedang terjadi padaku saat ini, tapi sepertinya aku telah kehilangan sesuatu yang, bisa dibilang, telah lama kupertahankan. Sesuatu yang tidak ingin kubiarkan pergi apapun yang terjadi, tapi sepertinya aku telah kehilangan sesuatu itu. Jika kuperhatikan baik-baik, saat ini aku seperti sedang berbaring di suatu tempat dengan lantai keras yang cukup hangat. Aku juga merasakan embusan angin dingin yang sedari tadi mengusikku dari beberapa arah. Angin yang berembus rasanya asin dan kering. Apakah itu penjelasan yang benar—bau dan angin yang terasa asin? Seseorang pastinya sedang mencari masalah dengan membiarkan bau ikan segarnya tercium di saat semua orang sedang berusaha untuk tidur! Oh benar. Ini tengah malam. Gadis kecilku pasti sedang tidur saat ini. Apakah dia dapat mencium bau asin ini? Apakah dia tidak terganggu? Haruskah aku melapisi jendela dengan kayu tambahan agar bau asin ini tidak masuk lag
NARASI ZAYLIE I April 1974/7 Tahun Sejauh yang bisa kuingat, aku tinggal di sebuah panti asuhan kecil di pinggiran desa. Tempat yang nggak seorangpun tau keberadaannya. Setiap paginya kami akan melakukan upacara bendera yang hanya dihadiri oleh lima orang dewasa dan empat belas anak-anak yang satu di antaranya hanya bisa menangis. Setelah itu, kami akan berbaris untuk mendapatkan makan pagi yang hanya berisi potongan kecil roti gandum dan segelas air keran. Merasa nggak puas, aku dan beberapa anak lainnya akan menyusup ke gudang penyimpanan setelah jam makan pagi selesai. Kami akan mencari apapun yang bisa di makan—meski itu berupa serangga. Kepala panti asuhan adalah seorang bibi yang mirip babi. Tubuhnya pendek, berlemak dan dia selalu terlihat sedang memakan sesuatu. Aku penasaran apakah jumlah anak yang setiap minggunya berkurang ini ada hubungannya dengan si babi subur itu. Mungkin dia dan para petugas panti mengoyak tubuh kurus anak-anak panti dan membakarnya di pemanggang d
NARASI ZAYLIE I Agustus 1977/10 tahun Selama dua tahun sejak Malam Pelarian Besar anak-anak panti, aku terus berpindah-pindah tempat agar tidak ditemukan. Tapi suatu ketika, aku menemukan sebuah komplotan pencopet cilik yang bekerja untuk seseorang yang memberi mereka tempat untuk pulang. Karena tertarik, aku meminta salah satu pencopet cilik itu untuk mengajakku ke tempat persembunyian mereka. Kini, sudah satu tahun aku tinggal bersama mereka. Setiap harinya, tempat bekerjaku selalu berpindah jika nggak mau tertangkap petugas yang selalu mondar-mandir di setiap sudut kota. Setiap jamnya, mereka akan berkeliling untuk memastikan nggak ada satupun sampah yang berkeliaran. Untungnya, ada beberapa petugas kotor yang menerima uang dan membiarkan kami, para sampah, pergi. Dengan begitu, kami bisa mencopet dengan bebas. “Hasil kerja hari ini sangat bagus! Alastor bakal kasih daging buat makan malam!” seru seorang teman di suatu sore yang hening. “Aku nggak yakin,” sanggahku. “Dengarka
NARASI ZAYLIE April 1974/7 Tahun “Dengan kembalinya si anak pemurung,” kata seorang teman sambil melirikku. “Kita akan lakukan rencana itu malam ini.” “Tapi gimana dengan perlengkapannya?” tanyaku penasaran. “Semua udah kami siapkan saat kau pergi tadi pagi,” jawab seorang teman. “Baiklah. Setelah makan malam, kita akan berpura-pura tidur. Dan saat hampir tengah malam, kita bakal menyusup keluar menuju barat,” jelas seorang teman yang bertindak sebagai pemimpin. “Gimana dengan anak-anak lainnya?” tanyaku lagi. “Oh, kami udah diam-diam memberitahu mereka sejak minggu lalu,” kata si pemimpin. Astaga, aku merasa dikucilkan karena nggak tau banyak hal. “Apa yang aku lewatkan?” “Sejak kami mendengar kalau kau akan di bawa pergi, kami nggak mau memberitahumu—karena kami pikir itu bakal sia-sia dan mungkin aja bakal membahayakan rencana ini.” “Jadi...?” tanyaku nggak sabar. “Kami menemukan bensin di ruang penyimpanan—secara nggak sengaja,” kata si pemimpin. “Jangan bilang kau aka
NARASI ZAYLIE Selasa, 19 Desember 1978/11 tahun Setahun yang lalu aku melarikan diri dari rumah si muka codet dan mulai tinggal di kolong jembatan. Nggak ada yang salah dengan rumah itu selain si muka codet dan si gadis jerawatan yang terus-terusan memukulku. Ada banyak hal yang bisa kupelajari di sana. Makanannya pun juga enak. Teman-teman yang baik dan saling mendukung. Semuanya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan kehidupanku saat masih di panti yang sekarang sudah nggak tersisa itu. Namun malam itu, saat beberapa anak membicarakan tentang panti asuhan yang terbakar, Alastor mengatakan sesuatu seperti, “Si nenek dari panti itu selamat dengan bekas terbakar di sebagian wajahnya. Itu sangat mengerikan. Dia benar-benar terlihat seperti nenek sihir yang telah lama merindukan daging anak-anak kecil! Dan saat ini dia berada di kota ini untuk memburu anak-anak yang melarikan diri itu. Pagi ini, jika kalian ingin tahu, dia datang meminta informasi dengan imbalan permen-permen itu.”
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Aku baru saja menyelesaikan kelas pagiku. Tuan Harmoni, bukan nama aslinya tapi dia selalu berbicara tentang harmoni dalam bermain piano, memaksaku untuk berlatih lebih keras daripada biasanya. Dia bilang kalau pemahamanku tentang tangga nada menurun dan itu membuatnya kesal. Aku tau kalau aku nggak suka berlatih piano, tapi mana ada anak yang bisa memahami semua hal merepotkan itu dalam waktu yang singkat. Kelas pertama di pagi ini sudah membuatku pusing—padahal sekarang baru pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Suasana hatiku akan sangat berantakan pasti, dan aku akan sering tidur di kelas-kelas selanjutnya. Kemudian, para pengajar itu akan mengadu pada paman. Malamnya, paman akan menceramahiku. Aku benar-benar sial hari ini, tapi tentu semua itu akan lewat begitu saja karena ada Freesia, pelayan wanita yang ditugaskan untuk menemani dan membantu segala urusanku. Dia pasti akan melakukan sesuatu untuk menghiburku—sama seperti saat
NARASI IRIS April 1974/8 Tahun Pagi itu aku sedang berjalan-jalan di pasar minggu untuk pertama kalinya. Aku nggak pernah menyukai ide untuk pergi ke sana. Tapi paman memaksaku untuk keluar kamar dan menikmati udara segar di desa. Ayah sedang melakukan pekerjaan di luar kota. Sedangkan Ibu sedang nggak sehat. Freesia sendiri nggak mungkin membantuku melawan paman. Jadi, dengan berat hati, aku menuruti perkataan paman. “Untuk apa kau membawa buku?” tanya paman selama di perjalanan menuju desa sebelah. “Aku nggak mau kehilangan nuansa rumah. Jadi aku membawanya,” jawabku sambil cemberut. “Apa lagi yang kau bicarakan. Aku benar-benar nggak ngerti,” keluh paman dengan wajah yang terlihat lelah meladeniku bicara. “Apakah masih lama?” tanyaku pada paman. “Aku ingin pulang.” “Astaga, Iris. Kita baru saja berangkat. Saat ini..” Paman membuka tirai yang terpasang di jendela mobil. “Kita masih harus mengitari bukit untuk bisa sampai di sana.” “Ha?! Bukankah itu sangat jauh? Kenapa juga