TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, kami pun sampai di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat resepsi akan digelar. Kami disambut hangat oleh keluarga Pak Baskoro yang ada di luar masjid. Memang aku belum mengenal semua keluarga beliau. Hanya beberapa saja yang aku tahu. Karena Aarav pernah mengajakku. Pak Baskoro dan Aarav sendiri sudah menunggu di dalam beserta penghulu dan beberapa saksi. Pak RT, Bu RT, serta rombongan yang datang tidak lama setelah kami langsung menghampiri. Pun dengan Mbak Dira. Sedangkan perias langsung menuju tempat resepsi. Kami semua sama-sama masuk ke dalam masjid karena ijab qobul sebentar lagi dimulai. Doa serta salam tidak lupa kami ucapkan. Serentak semua orang yang ada di dalam masjid pun menjawab salam dari kami. Aku merasa semua tatapan mengarah padaku yang membuat jantung ini berdegup semakin cepat.Kini aku telah duduk di samping Aarav. Sedikitpun tidak berani menatapnya. Pandangan
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Menggandeng tangan Azizah sambil mencari tempat duduk yang kosong. Menatap bangku satu ke bangku lainnya, dari belakang sampai depan. Tapi aku tidak menemukan satu bangku pun yang tersisa. Berjalan menghampiri Bu RT yang duduk di belakang sopir bus. "Bu, maaf, saya tidak kebagian tempat duduk," terangku.Bu RT menatapku datar. "Lho, Mbak Siti 'kan memang tidak terdaftar di acara piknik RT. Wajar kalau tidak mendapatkan tempat duduk.""Kok begitu, Bu. Saya 'kan juga warga RT 01.""Tapi kamu 'kan tidak pernah ikut kumpulan RT. Jadi kami semua sepakat kalau kamu tidak didaftar," sambung Bu Rita–pemilik warung kelontong tak jauh dari rumahku."Meski saya selalu absen kumpulan RT, tapi saya tetap bayar kas, nabung dan bayar iuran lainnya, Bu."Karena keadaan'lah yang membuatku tidak bisa ikut berbagai kegiatan serta guyup rukun seperti warga lainnya. Waktuku habis untuk mencari rupiah dengan menjadi tukang buruh cuci di perumahan d
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Meletakkan tas di bangku bambu yang sudah usang. Duduk memangku Zizah sembari mengusap rambutnya.Sebenarnya uang yang selama ini aku titipkan sama Mbak Narti di kemanain? Kenapa bisa tidak dibayarkan. Bahkan dia tidak mengaku kalau aku menitipkan uang RT-nan padanya. Apa dia pakai uang tersebut? Tapi kenapa tidak bilang. Mbak Narti bukanlah orang lain, dia masih memiliki hubungan keluarga denganku. Rumah kami pun bersebelahan. Makanya aku percaya menitipkan uang RT-nan yang dibayar setiap bulannya.Terdengar getaran dari dalam tas yang mengalihkan pikiran. Aku segera mengambil ponsel berwarna hitam dengan karet gelang yang melingkar karena casing belakang memang sudah rusak. Dulu aku membelinya seharga tiga ratus ribu rupiah. Panggilan masuk dari Mbak Tiwi–kakak iparku yang tinggal di desa sebelah. "Assalamu'alaikum, Mbak. Ad ….""Jemput Simbok! Disuruh bantuin jaga cucunya malah sakit. Bikin repot," terang Mbak Tiwi memot
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Selepas bada' isya, ada yang mengetuk pintu belakang. Setelah ku'buka, ternyata Mbak Win. "Assalamu'alaikum, Sit. Ini ada sedikit oleh-oleh buat Zizah. Kamu yang sabar, ya. Maaf tadi tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu tahu 'kan satu kelompok itu. Ngga bisa dikalahkan." "Mbak Win kok malah repot beliin oleh-oleh segala. Tidak apa-apa, Mbak. Siti paham."RT 01 memang terkenal dengan warganya yang unik. Mereka selalu mengabaikan, bahkan enggan dekat dengan tetangga yang dianggap miskin. Saling berlomba memperlihatkan materi yang mereka miliki. Meski masih ada beberapa tetangga yang baik, tapi mereka tidak berani bersuara dan memilih diam. Karena tidak ingin ada keributan yang bisa ber'episode. Seperti halnya denganku. Lebih memilih diam."Tidak repot, Sit. Soal uang yang kamu titipkan sama Mbak Narti, harus kamu tanyakan lagi, Sit. Tuman kalau didiamkan saja. Besok lagi kalau mau nitip, bisa ke aku saja.""Iya, Mbak. Besok saya ak
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Hari ini aku akan disibukkan dengan rutinitas seperti biasanya. Setelah kemarin dua hari tidak kerja. Sebenarnya tidak tega meninggalkan simbok yang belum sembuh. Tapi namanya buruh ikut orang, tidak bisa sesuka hati. Hari ini Zizah memang tidak ikut. Dia aku suruh nungguin simbok. Dari semalam sudah aku wanti-wanti agar tidak bermain.Saat berangkat, berjalan melewati ibu-ibu yang sedang belanja. Mereka memandangku dengan tatapan aneh. Entah ada hal apa lagi. Tapi aku tetap berusaha menyapa mereka."Ibu-ibu … cepetan pulang! Nanti suaminya disamperin perempuan ngga bener lho." Tiba-tiba saja Rini muncul yang entah datangnya dari mana. Aku juga tidak tahu maksud dia bicara seperti itu. Ibu-ibu yang tadi berkerumun belanja, seketika bubar. "Cepetan, nanti suami kita digodain janda," celetuk salah satu seseibu–Bu Nur yang lewat di depanku. "Bu, tunggu!" panggilku, menyusul langkahnya.Dia menatapku sinis. "Ada apa?" tanya Bu
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Tidak perlu menunggu esok hari untuk memberi pelajaran pada Rini yang sudah sangat keterlaluan pada Zizah, meski tadi simbok berusaha melarangku."Rini … Rin, keluar!" teriakku. Kali ini tidak peduli mau dinilai seperti apa oleh warga RT 01. Lelah, sudah terlalu lama aku diam.Berkali-kali aku menggedor pintu sangat keras. "Astaga, janda g*t*l. Ngapain kamu teriak-teriak di rumahku?" ucap Rini setelah membuka pintu. Aku langsung menjambak rambutnya yang penuh dengan roll. "Sitiii … apa-apaan kamu. Sudah g*l*, ya," teriaknya berusaha melepaskan tanganku. Satu per satu tetangga dekat pun mulai keluar. "Kamu boleh menghinaku, Rin. Tapi sekali saja menyakiti anakku, bahkan berani menyentuhnya. Tidak akan aku biarkan begitu saja. Selama ini aku berusaha sabar. Tapi tidak untuk kali ini dan seterusnya, Rini Iswati …." Aku semakin kencang menarik rambutnya sampai roll'nya lepas."Semua, tolongin saya. Jangan cuma lihatin. Mas Agu
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)POV AgusRini melotot, dia menghempaskan tanganku. Marah. "Kamu itu ke mana saja, Mas? Ngelayap terus. Sampai-sampai aku jadi tontonan warga karena diamuk mantan istrimu," omelnya."Y-ya aku ngga tahu kalau akan ada kejadian seperti ini. Tadi aku cuma ngopi di warung Mak Nah.""Ngga tahu, ngga tahu. Kamu itu memang ngga pernah tahu apa-apa, Mas. Yang kamu tahu cuma enak-enakan doang. Ngerokok, ngopi, molor. Itu terus kerjaannya." Rini nerocos tanpa henti. Aku yang kena sasaran."Itu 'kan salah kamu, Sayang. Karena kemarin ….""Apa kamu bilang? Salah aku. Salahnya di mana, coba bilang? Aku cuma memperingatkan bocah itu biar ngga selalu panggil bapak setiap lihat kamu. Sebel dengernya." Rini memotong ucapanku. Zizah 'kan memang anakku. Wajar saja dia memanggilku dengan sebutan Bapak, ucapku dalam hati. Aku memang tidak pernah berani protes ataupun membantah Rini. Bisa-bisa ditendang dari rumahnya. Memilih Rini dan meninggalkan
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Mbok, ada apa? Kenapa Simbok menangis?" tanyaku khawatir ketika melihat simbok duduk di tepi tempat tidur dengan air mata bercucuran. Entah apa yang terjadi karena aku dan Zizah baru saja pulang. "Apa ada yang sakit, Mbok? Siti antar ke dokter, ya," tanyaku lagi.Simbok menggelengkan kepala. "Sit, tadi Rini …." Beliau menghentikan ucapan.Rini? Bikin ulah apa lagi dia? Kenapa Simbok sampai menangis?"Rini kenapa, Mbok?""Tadi dia ke sini bersama beberapa warga RT 01. Dia menunjukkan foto pada Simbok.""Foto? Foto apa, Mbok?""F-foto kamu bersama seorang bapak. Rini bilang sama Simbok, kalau kamu sudah mencoreng warga RT 01. Si-Simbok percaya sama kamu, Sit. Tidak mungkin kamu melakukan perbuatan seperti yang dikatakan Rini.""Memangnya Siti melakukan perbuatan apa?" "Katanya kamu menj*al d*ri." Tangis simbok semakin tergugu. "Rini bilang seperti itu, Mbok? Simbok percaya 'kan sama Siti? Siti tidak mungkin melakukan hal ters