Dalam pantauan ketat itu, Darto muncul. Dengan sikap tenang, ia mendekat.
“Kenapa kalian berdiri di depan pintu?” tanyanya, suaranya seperti angin sejuk yang menusuk ketidakpastian.
Kami hanya mencari angin, Pak," jawab Ermono.
Darto menatap Ermono, seakan mencoba membaca setiap ekspresi yang terpantul di wajahnya. “Kalian hanya mencari angin?” ulang Darto, suaranya mengejek. “Saya di sini sudah puluhan tahun, jangan pikir kalian bisa menyembunyikan sesuatu dariku.”
Ermono dan Purwo saling berpandangan, menyadari bahwa Darto tidak mudah dikelabui. Meskipun suasana tegang memenuhi sel, Darto tidak kehilangan sikap tegasnya. Ia mendekati Ermono, memandanginya dengan penuh pengetahuan tentang tingkah laku para tahanan.
“Bocah itu tidak seperti yang lain, ya?” goda Darto, mencoba menggali informasi lebih lanjut. “Saya tahu ketika ada yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Jadi, apa yang sedang terjadi?”
Ermono terdiam, mencoba merumuskan jawaban yang tidak akan membocorkan terlalu banyak rahasia. Darto, bagaimanapun, bukanlah orang yang mudah ditemui oleh trik percakapan. Ia mengetahui di balik setiap kata yang diucapkan, ada kebenaran yang tengah disembunyikan.
“Kalian mungkin berpikir bahwa dengan merahasiakan sesuatu, kalian melindungi bocah itu,” ujar Darto . “Namun, percayalah, kadang-kadang kebenaran adalah satu-satunya hal yang bisa melindungi seseorang.”
Purwo dan Ermono, kendati merasa tertekan, merasakan ada kebijaksanaan di balik kata-kata Darto. Ia bukan sekadar penjaga penjara biasa. Darto seolah membawa beban pengetahuan dan pemahaman yang lebih di balik jeruji besi.
“Kalian mengkhawatirkan bocah itu, ya?” pertanyaannya menusuk tajam. Purwo dan Ermono hanya diam dan saling berpandangan. Terperangah oleh kecerdasan tajam Darto yang tak terduga.
Darto melanjutkan, “Kalian harus tahu bahwa bocah itu terlibat dalam masalah besar. Masalah yang tidak bisa dianggap enteng. Polisi dan otoritas lain ingin menggali informasi dari mulutnya.”
Suasana di koridor itu semakin tegang. Ermono dan Purwo merenung, mencerna informasi yang baru mereka dengar. Darto, seperti membaca ekspresi mereka, menambahkan. “Saya mengerti kekhawatiran kalian, tapi kalian harus tahu bahwa situasinya rumit. Apa yang terjadi padanya bisa menjadi kunci untuk sesuatu yang lebih besar.”
Purwo dan Ermono menyadari bahwa langkah mereka akan membawa masalah yang lebih besar. Pagi itu, Darto, penjaga penjara yang tampil dengan kedalaman dan ketegasan. Telah membuka pintu pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekhawatiran seorang teman.
Darto melirik ke lorong panjang, langkah-langkah keras penjaga penjara terdengar seperti gema ancaman. “Bocah itu mungkin dalam bahaya, dan kalian harus tahu cara melindunginya.”
Dalam ruang interogasi, seorang jenderal duduk di meja dengan tumpukan berkas di hadapannya. Sorot matanya tajam, meneliti setiap detail dalam berkas-berkas itu. Pintu ruangan diketuk dengan keras, dan seorang penjaga memasuki ruangan.
“Selamat pagi, Komandan. Izinkan saya masuk membawa tahanan untuk dihadapkan kepada Bapak,” kata penjaga dengan tegas.
“Silakan masuk,” jawab Komandan tanpa mengangkat mata dari berkas yang sedang dibacanya.
Beberapa penjaga masuk ke dalam ruangan, membawa seorang tahanan kecil yang terikat. Awan, begitu nama tahanan itu, terlihat kurus dan lemah. Dia memiliki tatapan mata yang kosong, seolah-olah dunianya telah hancur.
“Silahkan duduk,” perintah Komandan kepada Awan.
Namun, Awan membisu, sepertinya tidak memperhatikan perintah tersebut. Sebuah gelombang emosi yang tidak terucap muncul di dadanya, tetapi dia tidak bergerak.
“Nak, duduklah!” perintah Komandan lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Awan masih tetap diam, seakan-akan dunianya sendiri telah runtuh. Salah satu penjaga yang sudah mulai kehilangan kesabaran mendekat. Dengan kasar mendorong Awan agar duduk menghadap Komandan.
Awan terhuyung, tetapi akhirnya duduk di depan Komandan. Dengan tatapan mata tanpa rasa takut atau penyesalan. Ruangan itu dipenuhi oleh keheningan tegang, memperkuat ketegangan yang sudah ada sejak awal.
Komandan tetap tersenyum, tetapi ekspresinya mulai berubah menjadi keheranan yang mendalam. Dia menatap Awan yang tetap diam, tanpa mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
“Ini sangat tidak mungkin,” ucap Komandan dengan nada heran. “Kenapa kamu harus melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kamu lakukan, Awan?”
Awan masih terdiam, tidak menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk menjawab pertanyaan Komandan. Sebuah ketidakpastian menggelayuti ruangan itu, menciptakan suasana yang semakin tegang.
Komandan meletakkan berkas yang sedang dibacanya dan menatap Awan dengan serius. “Kamu tahu bahwa tindakanmu akan memiliki konsekuensi, bukan? Kami tidak main-main di sini,” kata Komandan dengan suara yang tegas.
Namun, Awan tetap tidak bersuara. Tatapannya masih kosong, seolah-olah tidak terpengaruh oleh ancaman atau peringatan apapun. Keputusasaan terasa di udara, menciptakan aura misteri di sekitar Awan.
Wajah Komandan semakin dipenuhi kebingungan ketika mendengar jawaban Awan yang menyangkal keterlibatannya.
“Apa yang kamu maksud, Pak?” tanya Awan dengan suara yang tenang, namun ekspresinya tetap datar.
Komandan memicingkan matanya, mencoba memahami situasi. “Saya memiliki bukti yang menyatakan sebaliknya, Awan. Jangan berusaha untuk menyembunyikan kenyataan,” ucap Komandan dengan tegas, mencoba menguji reaksi Awan.
Awan tetap tenang. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan, Pak. Saya tidak melakukan apa-apa,” tandasnya dengan mantap.
Komandan kembali meninjau berkas-berkas di mejanya. Suasana ruangan terasa semakin tegang, diisi oleh ketidakpastian dan pertanyaan yang belum terjawab.
Komandan kembali meneliti berkas-berkas di mejanya, mencari informasi tentang latar belakang Awan. Matanya menyusuri setiap detail, mencoba mencari pemahaman. Mengapa seseorang dengan latar belakang seperti Awan dapat terlibat dalam situasi ini.
“Kamu memiliki latar belakang yang mulia dan penting di masa lalu, Awan,” ucap Komandan.
Awan hanya mengangguk singkat, tetapi wajahnya tetap datar. “Saya tidak mengerti maksud Bapak. Saya tidak terlibat dalam hal apa pun,” tambahnya.
Komandan merenung sejenak, mencoba menyusun potongan informasi yang ada di hadapannya. “Apakah ada alasan khusus yang membuat kamu terlibat dalam situasi ini? Ada tekanan dari pihak lain, atau mungkin ada motif tertentu?”Awan tetap tenang. “Tidak ada alasan atau tekanan, Pak. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya berada di sini. Dan saya tidak melakukan apa pun yang dapat merugikan siapa pun.”Keheranan di wajah Komandan semakin mendalam. Masih ada misteri yang perlu dipecahkan sebelum mereka dapat menemukan akar masalah ini. Komandan mengerutkan kening, wajahnya mencerminkan kebingungan.“Bukankah menurut berkas ini, keluarga Anda memiliki latar belakang penting di masa lalu?” tanya Komandan dengan suara yang penuh keraguan.Awan tersenyum pahit. “Maafkan saya, Pak, tapi itu tidak benar. Saya hanya seorang anak jalanan, tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang mulia.”Komandan menatap Awan dengan intensitas, mencoba memahami kebenaran di balik kata-kata tersebut. Dia kembali
Melihat Awan, beberapa tahanan mulai terprovokasi dan menghajar penjaga tersebut. Awan duduk santai, memperhatikan keributan yang terjadi di sel. Sementara itu, Purwo dan Ermono berusaha menghentikan kebrutalan para tahanan. “Berhenti, kalian!” teriak Purwo lantang, mencoba menghentikan kekerasan yang terjadi. “Jangan sampai penjaga ini tewas, atau nasib kalian akan berakhir tragis.” Namun, beberapa tahanan tidak menghiraukan peringatan Purwo dan terus menyerang. Situasi semakin kacau, penjaga lain yang mendengar segera datang untuk menyelamatkan rekan mereka. Awan yang awalnya santai langsung disergap oleh beberapa penjaga. Meskipun berusaha melawan, akhirnya ia dilumpuhkan. Awan yang telah berhasil dikendalikan oleh penjaga, kemudian dibawa ke sel bawah tanah. Di sana, Awan mengalami serangkaian penyiksaan yang sadis dan kejam. Tubuhnya yang telah lelah dan terluka membuatnya semakin rentan terhadap siksaan tersebut. Meskipun demikian, semangat perlawanan Awan tidak pernah padam
Darto, penjaga berkulit gelap dan bertubuh tambun, sosok yang menonjolkan kehumanisan. Meskipun pekerjaannya memerlukan ketegasan, Darto tetap mendekati para tahanan dengan sikap empatik. Usianya yang sudah mencapai lima puluhan tahun memberinya pengalaman dan kebijaksanaan. Pada pandangan pertama, orang mungkin menilai Darto dari penampilannya. Namun, di balik eksterior tersebut, Darto memiliki hati yang lembut. Ia sering memahami beban yang diemban oleh para tahanan dan berusaha memberikan dukungan. Sikap humanis Darto tercermin dalam tindakannya membawa makanan dan kepeduliannya terhadap para tahanan. Ia melihat Awan yang tidak mau makan, tahu bahwa anak ini dalam tekanan yang besar. Darto berusaha memberikan sedikit kemanusiaan dalam situasi yang sulit. Darto juga memiliki kebijaksanaan untuk memahami nuansa di antara para tahanan. Meskipun menjalankan tugasnya dengan tegas. Dirinya tidak segan untuk menunjukkan kepeduliannya dan mendengarkan mereka. Darto melihat Awan yang te
Kepala penjaga memberikan hormat dan bergerak cepat untuk mengurus Awan. Ruangan itu kembali ditinggalkan dalam keheningan, tetapi ketegangan tetap menggelayuti udara. Semuanya menunggu hasil dari interogasi cepat yang akan menentukan jalannya peristiwa mendatang.Kepala penjaga, setelah berbicara dengan Komandan, mendekati Awan dengan sikap yang lebih tenang. “Nak, kamu sebaiknya segera bekerja sama dengan kami. Dengan usia kamu yang masih sangat muda, kamu bisa mendapatkan keringanan hukuman. Jangan biarkan dirimu berakhir tragis karena melawan.”Awan, meskipun masih merasa marah dan tidak bersalah, merenung sejenak. Dia tahu bahwa situasinya sulit. Kata-kata kepala penjaga menyiratkan kemungkinan konsekuensi yang lebih buruk jika dia terus melawan.“Saya tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya tidak mau mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat,” jawab Awan dengan tegas.Kepala penjaga menggeleng. “Kamu mungkin tidak tahu seberapa besar tekanan yang sedang terjadi di sini, nak. Kami in
Sersan Jamal dan dua kopralnya berjalan ke arah Awan. Mereka mengepung Awan dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Hai, bocah,” kata Sersan Jamal. “Kamu takut?” Awan menatap Sersan Jamal dengan tatapan berani. “Aku tidak takut,” katanya. Sersan Jamal tersenyum sinis. “Oh, ya?” katanya. “Lalu mengapa kamu terlihat seperti pengecut?” Kopral Joko dan Kopral Bayu tertawa. Mereka kemudian menarik kaki Awan dan memaksanya duduk di kursi. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal. “Kamu tidak akan bisa lolos.” Awan menggelengkan kepala. “Aku tidak bersalah,” katanya. Sersan Jamal meninju perut Awan dengan keras. Awan meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal lagi. “Atau kamu akan merasakan sakit yang lebih parah lagi.” Kopral Joko menampar pipi Awan. Awan kembali meringis kesakitan, tetapi dia tetap diam. Sersan Jamal menarik kursinya dan duduk di atasnya. Dia meletakkan kakinya di atas jempol kaki Awan dan menekannya dengan keras. Awan berte
Suasana di dalam kantor terasa tegang ketika Jenderal Budi memasuki ruangan tersebut. Kapten Haris langsung memberi hormat kepada Jenderal yang berpengaruh besar tersebut. "Kapten, aku titipkan anak ini padamu."ucap Jenderal Budi dengan suara serius. Kapten Haris mengangguk tegas sebagai tanda penerimaan tugas baru ini. "Baik, Jenderal. Saya akan mengawasinya dengan ketat," jawab Kapten Haris, menyatakan kesiapannya. Jenderal Budi, yang tampak serius, memberikan instruksi lebih lanjut kepada Kapten Haris. Kapten, Awan masih terlalu muda. Jangan terlalu keras padanya, kata Jenderal Budi. Kapten Haris mengangkat alis, menunjukkan rasa penasaran dan ketidaksetujuan pada saat yang bersamaan. “Perlakuan apa yang dimaksud, Jenderal?” tanya Kapten Haris. Jenderal Budi, dengan ketenangan yang meyakinkan, menjelaskan lebih lanjut. "Dia sedang menghadapi masa-masa sulit. Saya tidak ingin perlakuan yang berlebihan terhadapnya. Biarkan dia berpikir dan memahami keadaannya," papar Jende
Purwo bersama Ermono sedang membersihkan ruang makan. Mereka berdua cukup disegani oleh tahanan lain. Mereka pemimpin tahanan politik terkemuka di Kota Bengawan. Saat keduanya sedang asyik membersihkan sambil bernyanyi dangdut, tampak Sersan Jamal berjalan mendekat. Purwo berbisik ke Ermono, "Tak biasanya iblis ini datang kemari." "Iya, Pak," jawab Ermono singkat. "Kedatangannya pasti membawa masalah. Kita harus bersiap," tambah Purwo. "Saya juga khawatir ada hubungannya dengan Awan," sahut Ermono. "Iya, Ermono. Mudah-mudahan anak itu selamat," jawab Purwo dengan keprihatinan. Namun, ketegangan terasa di udara seiring kedatangan Sersan Jamal. Mereka berdua tahu bahwa kedatangan penjaga sadis ini mungkin membawa masalah. "Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya Purwo dengan ramah saat Sersan Jamal semakin mendekat. Sersan Jamal terlihat serius. "Purwo, Ermono, kita butuh bantuan kalian terkait Awan." Ermono saling pandang dengan Purwo, menyadari bahwa pasti masalah sedang mener
Awan sudah sembuh dan kembali ke sel utama bersama Purwo dan Ermono. Dia tidak lagi mengalami penyiksaan, tetapi Sersan Jamal masih saja mengintimidasinya. Suatu hari, Sersan Jamal berjalan melewati sel Awan. Dia berhenti dan menatap Awan dengan penuh kebencian. "Kau pikir kau bisa lolos begitu saja?" kata Sersan Jamal. "Aku akan selalu mengawasimu." Awan menatap balik Sersan Jamal dengan berani. "Aku tidak takut padamu," katanya. "Aku akan terus berjuang untuk apa yang kuyakini." Sersan Jamal menggeram marah. Dia kemudian meninggalkan sel Awan dengan langkah yang berat. Purwo dan Ermono menghampiri Awan. Mereka bangga dengan keberanian Awan. "Kau adalah seorang pejuang sejati, Awan," kata Purwo. "Ya," kata Ermono. "Kau akan selalu menjadi inspirasi bagi kami." Awan tersenyum. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Dia memiliki teman-teman yang akan selalu mendukungnya. Awan dan Purwo sedang duduk di sel mereka. Mereka sedang berbincang-bincang tentang perjua